Floresa.co – Usai aksi unjuk rasa ratusan warga Poco Leok di Ruteng pekan lalu, beberapa media siber secara massif menyebarkan berita yang menyebut warga diprovokasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media lokal dan lembaga Gereja Katolik.
Selain memprovokasi, media dan lembaga-lembaga itu – yang namanya tidak disebut eksplisit – juga dituding mengkoordinasi aksi serta memainkan narasi “untuk membuat perseteruan yang panjang” antara warga dan Pemerintah Daerah.
Berita lainnya juga menyebut warga meminta maaf terkait pernyataan dalam orasi yang memicu kemarahan Bupati Herybertus GL Nabit, hingga membuatnya mengerahkan massa tandingan mengadang warga.
Tudingan tersebut, misalnya diberitakan media Pijarflores.com dengan judul “LSM dan Media Lokal Ingin Perseteruan Panjang Warga Poco Leok dan Pemda, Padahal Tedi Sukardin CS Sudah Minta Maaf.”
Media lainnya, Infopertama.com menulis berita berjudul “Orasi Warga Poco Leok Hina Bupati dan Masyarakat Manggarai, Ngaku Diperintah Simon”.
Dalam paragraf pertama berita yang dimuat pada 9 Juni itu, Pijarflores.com menulis, warga Poco Leok “disuruh untuk berkata-kata kasar agar perseteruan semakin panjang antara mereka dengan pihak Pemerintah Daerah Manggarai.”
Paragraf itu diikuti penjelasan terkait Tadeus “Tedi” Sukardin, warga Kampung Lungar yang berorasi menyebut geotermal menyebabkan polusi udara, lalu setelahnya “langsung mengisap rokok.”
Media itu juga menyebut “Tedi CS” membuang bingkisan berisi “garam, lilin, batu, halia (jahe), dan kertas sepotong” di depan kantor bupati.
Sementara Infopertama.com menulis, Wilhelmus – merujuk Wilhelmus Jehau, warga Kampung Mucu – mengaku orasinya yang menyebut Bupati Nabit sebagai “sampah” diperintah oleh “Pater Simon.”
Media tersebut mengklaim mewawancarai Wilhelmus saat ia tengah menumpangi mobil ketika hendak pulang ke Poco Leok usai aksi.
“Sayangnya, Wihelmus enggan menjawab ketika dikonfirmasi lebih lanjut apakah Pater Simon yang dimaksud adalah Simon Suban Tukan dari JPIC SVD,” tulis media itu.
Sementara itu, selain diberitakan kedua media tersebut, informasi terkait permintaan maaf warga kepada Nabit juga dilayangkan Swarantt.net dengan judul “Usai Demo Tolak Geothermal, Pengunjuk Rasa Minta Maaf dengan Bupati Hery Nabit”.
Berita itu disertai foto Nabit bersama beberapa warga di samping salah satu mobil yang dipakai warga saat aksi.
Klarifikasi Warga Poco Leok
Floresa mewawancarai warga Poco Leok yang disebut dalam berita-berita tersebut di Ruteng pada 9 Juni.
Tadeus Sukardin berkata, “kalau modal karang-karang fakta saja, kami juga bisa menulis.”
“Semua informasi dalam media-media tersebut adalah fitnah,” katanya.
Ia berkata, tudingan aksi warga diprovokasi LSM, lembaga Gereja dan media “secara logika tidak benar” karena “kami sendiri sedang berusaha mempertahankan tanah.”
“LSM dan media tidak punya tanah di sana, yang pertahankan tanah itu kami yang punya tanah,” katanya.
Hal senada disampaikan Wilhelmus Jehau, yang menyebut media-media tersebut menyebarkan kebohongan.
“Kami menghadapi orang luar yang sedang merampas hak-hak kami, lalu untuk apa ada orang lain lagi yang memprovokasi kami untuk mempertahankan hak milik kami?”
Ia berkata, berita media-media tersebut “di luar otak sehat” dan “tidak berdasar.”
Kejahatan Informasi
Sementara Yudi Onggal, pemuda asal Kampung Lungar yang juga menjadi orator aksi berkata, penyebaran berita-berita tersebut “adalah bagian dari kejahatan informasi yang sengaja dilakukan untuk membohongi publik.”
“Bagi orang yang belum tahu konteks perlawanan kami, berita seperti itu membentuk pemahaman yang keliru. Apalagi untuk pendukung Bupati Nabit, itu menambah kebencian pada kami yang sebetulnya sedang bersusah payah melawan perampasan dan pengrusakan ruang hidup,” katanya.
Unjuk rasa, kata Yudi, lahir dari kesadaran dan inisiatif warga sendiri “berdasarkan pengetahuan dan pengalaman.”
“Orang Poco Leok berjuang tidak pernah berpatokan pada siapapun, karena ini persoalan kami sendiri,” katanya.
“Aksi yang sudah berjalan sejauh ini, 27 kali di Poco Leok dan tiga kali di Ruteng, dirancang bersama-sama oleh warga sendiri dan sudah direncanakan jauh-jauh hari,” lanjutnya.
Yudi juga menegaskan bahwa warga “tidak akan berhenti di sini.”
“Akan ada banyak aksi ke depannya sejauh Nabit tidak mencabut SK Penetapan Lokasi geotermal di ruang hidup kami, dan ini adalah komitmen kami,” katanya.
Pencabutan SK itu merupakan inti desakan mereka saat berunjuk rasa di depan kantor bupati.
Mayo Dintal, pemuda lainnya yang ikut dalam aksi itu berkata, “ini bukan pesanan seperti berita yang ditulis media-media itu.”
“Logikanya, bagaimana mungkin orang dibayar oleh orang lain lagi untuk mempertahankan keselamatan dirinya sendiri?” katanya.
Wilhelmus: “Tidak Ada Wartawan yang Wawancarai Saya”
Terkait tudingan yang menyebut dirinya mengaku disuruh Pater Simon, Wilhelmus berkata “tidak ada satupun wartawan yang mewawancarai saya saat aksi itu.”
Ia menjelaskan, usai berorasi pada siang itu, “ada orang berjaket merah yang terus menerus memantau dan mengikuti pergerakan saya di tengah massa aksi.”
Saat hendak naik ke mobil, katanya, orang itu menarik kaki dan kain songke yang dipakainya, bahkan “ikut naik lewat samping mobil untuk mengancam saya.”
“Seorang lainnya ikut memukul kaki saya saat itu. Orang itu juga yang menarik syal songke saya dari arah belakang mobil hingga leher saya tercekik,” katanya.
Wilhelmus berkata, dua orang itu tidak mewawancarainya, juga tidak ada satupun pertanyaan terkait “siapa yang menyuruh kami melakukan aksi unjuk rasa.”
“Mereka hanya terus-menerus menyuruh saya turun dari mobil sambil bilang; ‘kau harus klarifikasi dulu kepada polisi supaya masalahnya cepat selesai’,” katanya.
Aksi keduanya, kata Wilhelmus, baru berhenti setelah didesak beberapa warga lainnya dan ditegur oleh beberapa polisi.
“Nabit yang Minta Maaf pada Kami”
Sementara itu, terkait informasi yang menyebut warga meminta maaf kepada Nabit di kantor Polres Manggarai, Tadeus berkata “justru bupati yang meminta maaf kepada kami.”
“Dia (Nabit) keluar lewat halaman belakang kantor polisi menuju warga yang sedang di atas mobil, lalu dalam Bahasa Manggarai menyampaikan permohonan maaf,” katanya.
Nabit juga memberi tahu mereka bahwa dirinya marah karena warga menyebutnya “sampah” saat berorasi.
“Kami memang berjabatan tangan dengannya di halaman belakang Polres, tetapi saya tidak mengucapkan kata-kata permintaan maaf,” lanjutnya.
Ia berkata, seseorang yang tak dikenal sempat mendekati warga yang tengah diamankan polisi dari amukan massa yang dipimpin Nabit saat itu.
“Dia meminta kami menyampaikan permohonan maaf kepada Nabit,” katanya.
Hal itu ditolak warga, kata Tadeus, karena “kami harus berdiskusi dahulu dengan semua orang Poco Leok sebelum mengeluarkan pernyataan.”
Selain itu, katanya, Nabit juga menyampaikan rencananya mengunjungi keluarganya di Kampung Mucu, salah satu kampung adat di Poco Leok “minggu depan”.
Aksi unjuk rasa warga Poco Leok pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni, berakhir sebelum waktunya karena Nabit memimpin massa tandingan mengadang mereka.
Pengadangan itu membuat mayoritas warga langsung kembali ke kampung mereka dengan pengawalan aparat, sementara yang lainnya sempat diamankan di dalam kantor polisi setelah dikejar oleh massa Nabit yang mencapai puluhan orang.
Mereka baru kembali ke Poco Leok pada pukul 17.00 Wita dengan pengawalan polisi.
Serangan Melalui Media
Bukan baru kali ini media-media tersebut menyebarkan disinformasi terkait polemik perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu Unit 5-6 di Poco Leok.
Disinformasi adalah informasi keliru yang sengaja disebarluaskan, meski orang yang menyebarkannya tahu bahwa isinya salah.
Laporan Floresa pada Februari tahun lalu mengungkapkan bahwa Pijarflores.com menyebarkan disinformasi terkait klaim PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah melakukan sosialisasi FPIC [Free, Prior, and Informed Consent], salah satu tahap dalam proyek itu.
Berdasarkan penelusuran fakta di Dusun Lengkong, 300 meter sebelah timur dari lokasi PLTP Ulumbu pada 28 Februari 2024, warga berkata “tidak ada pembicaraan tentang rencana perluasan geotermal Poco Leok dan dampaknya bagi masyarakat” dalam sosialisasi itu.
Disinformasi lainnya dilakukan media-media yang sama, termasuk Fokusntt.com, Koranntt.com, Kundurnews.co.id dan Kabarpesisirnews.com pada November 2024, menyebut Floresa memprovokasi warga menolak proyek tersebut.
Pada 7 Desember 2024, Rikardus G. Huwa dan media yang dipimpinnya, Pijarflores.com, menerbitkan hak jawab dan menyatakan permintaan maaf “dari hati yang paling dalam” kepada Floresa setelah diputuskan bersalah oleh Dewan Pers.
Media-media tersebut juga beberapa kali melancarkan serangan terhadap Pater Simon Suban Tukan, SVD dari JPIC SVD Ruteng.
Editor: Ryan Dagur