UNESCO Menegakkan Prinsip, Pemerintah Indonesia Ugal-ugalan: Mengapa Konsesi Bisnis di Taman Nasional Komodo Sangat Berbahaya dan Harus Dihentikan?

Langkah pemerintah yang terus memaksakan pembangunan pusat-pusat bisnis pariwisata milik sejumlah perusahaan di dalam habitat Komodo di tengah teguran UNESCO dan penolakan publik tidak saja berbahaya bagi kelangsungan konservasi, tetapi juga merusak potensi dan reputasi pariwisata berkelanjutan Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia

Oleh: Cypri Jehan Paju Dale 

Setelah sempat terhenti karena ditentang komunitas adat, masyarakat sipil dan pelaku wisata di Flores serta ditegur keras oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Pemerintah Indonesia kembali melanjutkan rencana pengembangan pusat-pusat bisnis pariwisata milik sejumlah perusahaan swasta di dalam kawasan Taman Nasional Komodo. 

Selain menggelontorkan izin kepada tiga perusahaan baru, pemerintah membuka jalan untuk beroperasinya perusahaan-perusahaan yang sudah diberi konsesi sejak 2014. Dua dari tiga perusahaan baru itu adalah PT Nusa Digital Creative (NDC) dan PT Pantar Liae Bersaudara (PLB) yang mendapat konsesi izin usaha penyedia jasa wisata alam (IUPJWA) pada 2024. Perusahaan lainnya adalah PT Palma Hijau Cemerlang (PHC) yang aktivitas dan izin usahanya masih sumir. Dalam Bahasa Kepala BTNK, Hendrikus Siga, perusahaan itu akan “mendukung konservasi”

Kini, pemerintah juga sedang memfasilitasi mulai beroperasinya PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) yang telah diberi konsesi bisnis di Pulau Padar dan Pulau Komodo. Sebuah pertemuan yang diklaim sebagai konsultasi publik berlangsung di Golo Mori, Labuan Bajo pada 23 Juli. Konsultasi publik itu adalah bagian dari proses menyusun Environmental Impact Assessment (EIA) atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk pusat bisnis pariwisata milik perusahaan itu di Pulau Padar. 

Sejumlah langkah ini terjadi setelah sebelumnya UNESCO, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menaungi urusan internasional terkait pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, meminta Pemerintah Indonesia menghentikan sementara setiap proyek pembangunan di dalam Situs Warisan Dunia itu sampai dokumen AMDAL dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) diajukan untuk ditinjau oleh Komite Warisan Dunia (World Heritage Committee, WHC).

Hal itu dilakukan sesuai dengan prinsip bahwa proyek-proyek pembangunan dan investasi tidak boleh mengancam Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value, OUV) Taman Nasional Komodo yaitu bentang alam dengan keanekaragaman hayati yang unik, tempat di mana satwa endemik Komodo bertahan hidup. OUV adalah istilah UNESCO untuk mengidentifikasi Situs Warisan Dunia, baik budaya maupun alam, yang memiliki signifikansi melampaui batas-batas negara dan kepentingan yang luar biasa bagi seluruh dunia.

Seperti apa upaya UNESCO menegakkan prinsip-prinsip penting dalam upaya menjaga Taman Nasional Komodo? Apa-apa saja bentuk siasat Pemerintah Indonesia berkelit dari tuntutan UNESCO demi memuluskan agenda perusahaan-perusahaan yang telah diberi izin? Bagaimana masyarakat adat, masyarakat sipil, dan pelaku konservasi dan pariwisata mesti menghadapi/menanggapi situasi ini?

Peran Krusial UNESCO

Langkah pemerintah memberikan konsesi baru dan memfasilitasi mulai beroperasinya perusahaan-perusahan yang sudah mendapat konsesi terjadi di tengah komunikasi yang ditandai ketegangan dengan UNESCO. Inti dari ketegangan itu adalah monitoring dan evaluasi tentang kondisi (status konservasi) Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia. 

Pada 2020, segera setelah mendapat laporan dari komunitas adat, masyarakat sipil dan pegiat pariwisata dan konservasi tentang persoalan-persoalan yang ada di Taman Nasional Komodo, UNESCO melalui Komite Warisan Dunia dan International Union for Conservation of Nature (IUCN)-organisasi internasional yang berfokus pada pelestarian alam dan mendorong pembangunan berkelanjutan- mengambil tindakan tegas.

Selain meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia, lembaga itu mengirim Reactive Monitoring Mission pada Maret 2022. Dalam mekanisme UNESCO/WHC/IUCN, Reactive Monitoring Mission bukanlah pemantauan biasa; melainkan sebuah kunjungan lapangan yang dilakukan ketika ditemukan masalah serius yang mengancam Nilai Universal Luar Biasa pada sebuah Situs Warisan Dunia.

Dari hasil kunjungan itu, Komite Warisan Dunia UNESCO membuat keputusan dalam rapat tahunan pada 2023 yang memuat beberapa poin berikut.

Pertama, UNESCO meminta Pemerintah Indonesia mempertanggungjawabkan perubahan zonasi Taman Nasional Komodo pada 2012. Perubahan zonasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu merubah sebagian zona rimba menjadi zona pemanfaatan. Hal ini menjadi perhatian serius UNESCO sebab zona rimba yang dialihfungsikan itu kemudian menjadi konsesi bisnis perusahaan. 

Kedua, UNESCO mempermasalahkan tindakan Pemerintah Indonesia yang tidak melakukan kajian AMDAL untuk proyek-proyek pembangunan dan investasi di dalam Taman Nasional Komodo. Hal ini merujuk pada Surat Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Nomor S.576/KSDAE/KK/KSA.1/7/2020 perihal Pengecualian AMDAL terhadap Pembangunan Sarana Prasarana Wisata di Taman Nasional Komodo. 

Untuk itu, UNESCO meminta pemerintah melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan AMDAL sebelum menyetujui suatu proyek, termasuk untuk konsesi-konsesi bisnis perusahaan swasta. Tujuannya adalah memastikan bahwa “tidak ada konsesi atau proyek pembangunan yang disetujui tanpa asesmen yang tepat dan bahwa tidak ada proyek yang disetujui kalau akan memiliki dampak negatif atas Nilai Universal Luar Biasa Taman Nasional Komodo”. 

Selain itu, UNESCO juga meminta agar Pemerintah Indonesia “benar-benar mengevaluasi secara tepat setiap rencana proyek sebelum membuat keputusan yang akan sulit diperbaiki di kemudian hari.” Hal ini “termasuk mengadakan konsultasi-konsultasi dengan pemangku hak dan pemangku kepentingan yang terkait, sebelum memberi persetujuan dan sebelum proses pembangunan dari sebuah proyek.”

Dalam keputusan itu, UNESCO juga meminta Pemerintah Indonesia menyampaikan pertanggungjawaban atas status konservasi Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia paling lambat pada Desember 2024.

Siasat Pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia merespons sejumlah catatan UNESCO itu dalam laporan tentang Status Konservasi Taman Nasional Komodo versi pemerintah yang diserahkan pada November 2024. Laporan itu menarik untuk kita cermati.

Untuk poin pertama, pemerintah menghindar dari inti persoalan tentang perubahan zonasi pada 2012. Pemerintah hanya menjelaskan bahwa perubahan zonasi adalah sebatas intervensi teknis yang positif untuk Taman Nasional Komodo dalam kerangka Rencana Manajemen Pariwisata Terpadu (Integrated Tourism Management Plan). Pemerintah mengklaim “penataan zona diperlukan dan dilakukan setiap lima sampai sepuluh tahun demi mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, menanggapi kebutuhan masyarakat dan memperkuat usaha-usaha pengelolaan ekosistem.” 

Pemerintah juga secara klise menjanjikan bahwa pada waktunya akan ada tinjauan ulang terhadap perubahan zonasi dan menyakinkan Komite Warisan Dunia UNESCO bahwa penyesuaian zona pada saat ini dan di masa depan tidak akan memberi dampak buruk pada Nilai Universal Luar Biasa Taman Nasional Komodo.

Tidak sulit untuk membaca mengapa pemerintah menghindar dari pembahasan tentang zonasi ini. Perubahan zonasi pada tahun 2012 itu adalah siasat dan langkah kunci untuk mengalih fungsi kawasan kawasan konservasi menjadi kawasan bisnis. Zona rimba dijadikan zona pemanfaatan untuk kemudian diberikan kepada pihak swasta sebagai lokasi bisnis. 

Sebagaimana yang selama ini disuarakan oleh masyarakat sipil, intervensi ini lebih tepat disebut sebagai siasat utak-atik untuk membentang karpet merah bagi konsesi perusahaan-perusahaan swasta yang sebenarnya dimiliki oleh sekumpulan elit yang berada di lingkaran kekuasaan.

Masalah perubahan zonasi pada 2012 itu memang merupakan satu titik paling lemah pemerintah, yang jika terus dipersoalkan lebih lanjut oleh UNESCO dan masyarakat peduli Taman Nasional Komodo dapat membuyarkan seluruh skema yang sudah dirancang rapi dengan para kroni pengusaha-penguasa, termasuk kasus PT KWE di Pulau Padar.

Untuk poin kedua, pemerintah tampaknya patuh kepada prinsip yang ditegaskan oleh UNESCO. Dokumen Strategic Environmental Assessment (SEA) atau Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) disusun pada 2023 dan disampaikan kepada UNESCO. Selain itu, pemerintah juga sedang menyusun Environmental Impact Assessment (EIA) atau AMDAL atas masing-masing proyek sebagaimana dituntut Komite Warisan Dunia UNESCO, seperti yang terjadi pada bulan ini untuk proyek PT KWE di Pulau Padar. 

Namun secara prosedural dan substansi, KLHS dan AMDAL ini bermasalah serius. KLHS tahun 2023 itu dibuat hampir satu dekade setelah proyek-proyek pembangunan di dalam Taman Nasional Komodo dirancang dan perizinan konsesi-konsesi bisnis digelontorkan. Jadi, perizinan konsesinya dikeluarkan jauh lebih dahulu, baru analisis lingkungannya dibuat. Proses AMDAL yang dilakukan pemerintah saat ini juga hanya terbatas untuk gedung-gedung fisik yang hendak dibangun oleh perusahaan, bukan analisis lingkungan untuk menilai apakah keberadaan perusahaan-perusahaan itu mengancam Nilai Universal Luar Biasa Taman Nasional Komodo atau tidak.

Dengan kata lain, pemerintah melakukan siasat fetakompli (fait accompli), yaitu bahwa keadaan atau keputusan sudah terjadi atau ditetapkan, dan karenanya harus diterima oleh pihak UNESCO dan masyarakat umum, meskipun mungkin tidak disetujui atau diinginkan. Dalam siasat fetakompli ini, AMDAL diajukan hanya sebagai syarat formal, sekadar memenuhi dokumen yang diminta.

Ketegangan Berlanjut

Menanggapi siasat dan dokumen pertanggungjawaban Pemerintah Indonesia, UNESCO baru saja mengeluarkan sebuah keputusan baru pada bulan Juli tahun ini. 

Pertama, memakai dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia, UNESCO menunjukkan bahwa “Rencana Pengembangan Pariwisata Terpadu memang bisa berdampak negatif terhadap Nilai Universal Luar Biasa Taman Nasional Komodo.” UNESCO secara khusus menyebut pemicu dampak negatif itu oleh “layanan jasa dan infrastruktur pariwisata yang direncanakan, termasuk lima izin usaha yang sudah diberikan di dalam Taman Nasional Komodo.”

Untuk itu UNESCO meminta Pemerintah Indonesia untuk menggunakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang sudah dibuat ini untuk “membuat keputusan yang menjamin pendekatan pariwisata yang berkelanjutan—baik di Taman Nasional Komodo maupun di kawasan sekitarnya—dengan tujuan melindungi Nilai Universal Luar Biasa.” Selain itu UNESCO menegaskan “tidak boleh ada proyek pengembangan yang disetujui jika proyek tersebut bisa merusak Nilai Universal Luar Biasa.”

Kedua, UNESCO juga mengangkat kembali skandal keputusan KLHK pada tahun 2020 yang meniadakan kewajiban AMDAL dan meminta Pemerintah Indonesia agar benar-benar melakukannya untuk setiap proyek apapun di dalam Taman Nasional Komodo.

Secara khusus, UNESCO menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia harus “memastikan bahwa semua rencana pembangunan, termasuk yang terkait dengan lima izin usaha yang sudah diterbitkan, dinilai dengan baik untuk melihat potensi dampaknya terhadap Nilai Universal Luar Biasa, sesuai dengan panduan Warisan Dunia.” 

UNESCO juga menegaskan kembali agar pemerintah melakukan “konsultasi dengan pihak-pihak yang memiliki hak dan para pemangku kepentingan terkait sebelum sebuah proyek disetujui dan dibangun”.

Ketiga, lagi-lagi seperti peringatan sebelumnya pada 2023, UNESCO meminta agar “tidak ada konsesi atau proyek pembangunan yang disetujui tanpa penilaian yang tepat dan tidak ada persetujuan dikeluarkan untuk proyek-proyek yang akan berdampak negatif terhadap Nilai Universal Luar Biasa.”

Peran Masyarakat Adat, Masyarakat Sipil dan Pelaku Pariwisata

Apa yang dapat kita pelajari dari keseluruhan dinamika hubungan Pemerintah Indonesia dan UNESCO ini? 

Pertama, UNESCO sampai sejauh ini tampak menegakkan prinsip pengelolaan Taman Nasional Komodo sebagai Situs Warisan Dunia, sementara Pemerintah Indonesia bertindak ugal-ugalan. Dalam situasi ini, UNESCO menjadi semacam kerikil dalam sepatu yang mengganggu langkah Pemerintah Indonesia dan kelompok oligarki pengusaha-penguasa yang sudah mengantongi konsesi untuk segera memulai bisnis mereka.

Kedua, proses AMDAL dan konsultasi publik untuk bangunan PT KWE di Pulau Padar yang dilakukan saat ini adalah bagian dari siasat untuk menyakinkan UNESCO agar memberikan restu bagi perusahaan-perusahaan yang sudah memegang konsesi sehingga bisa mulai mendirikan bangunan-bangunan bisnis mereka. Persis pada titik ini, integritas dan komitmen UNESCO sedang diuji. Mata dunia tertuju kepada lembaga ini untuk melihat apakah akan teguh menegakkan prinsip atau dengan mudah mengikuti siasat para pejabat Pemerintah Indonesia bersama dengan kroni pengusaha-penguasa pemegang konsesi.

Ketiga, dalam situasi ini masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Flores, memiliki peran kunci untuk mencegah pengrusakan secara sistemik Taman Nasional Komodo oleh pemerintah yang seharusnya melindunginya. Masyarakat adat di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo, masyarakat sipil serta pelaku pariwisata dapat mencegah langkah ugal-ugalan pemerintah dan menekan UNESCO untuk tetap konsisten. UNESCO sudah membuka jalan untuk itu dengan mendesak Pemerintah Indonesia “mengadakan konsultasi-konsultasi dengan pemangku hak dan pemangku kepentingan yang terkait sebelum memberi persetujuan dan sebelum proses pembangunan dari sebuah proyek” di dalam Taman Nasional Komodo. 

Sinergi antara UNESCO yang memegang mandat mengawasi Situs Warisan Dunia dan masyarakat Indonesia sebagai pewaris dan penjaga Komodo dan alam habitatnya, mencegah bencana yang sedang dirancang pemerintah untuk Taman Nasional Komodo.

Cypri Jehan Paju Dale adalah warga adat Flores

Editor: Ryan Dagur

Artikel ini adalah bagian pertama dari dua seri tulisan yang menyoroti bahaya ekspansi korporasi swasta di Taman Nasional Komodo. Artikel kedua fokus pada ancaman serius dalam rencana bisnis PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar dan analisis tentang lima alasan mengapa konsesi bisnis di dalam habitat Komodo harus dibatalkan. Simak artikelnya dengan klik di sini

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING