Judul buku: Merebut Ruang Aman: Kumpulan Pustaka Terpilih bagi Perempuan Pembela HAM; Penulis: Siti Maimunah, Indah Rahmasari dan Abdallah Naem; Jumlah halaman: xxvi + 78; Tahun terbit: 2024; Penerbit: Inteligensia Media
__________________________________________________
Perempuan yang berjuang di garis depan perlawanan acapkali “tak terlihat.” Tak banyak diberitakan.
Perlawanan mereka akhirnya tak dianggap sebagai perlawanan itu sendiri.
“The quiet encroachment of the ordinary,” demikian sosiolog Amerika-Iran, Asef Bayat menyebut kondisi itu, yang bermakna “gangguan senyap dari orang-orang biasa” bila dipadankan dalam konteks ketimpangan relasi kuasa.
Kesenyapan tersebut membuat para perempuan yang berperan dalam gerakan perlawanan tak dilihat sebagai pembela hak asasi manusia (HAM).
Akibatnya, mereka “semakin rentan mengalami kekerasan,” demikian ditulis dalam buku Merebut Ruang Aman: Kumpulan Pustaka Terpilih bagi Perempuan Pembela HAM karya Siti Maimunah, Indah Rahmasari dan Abdallah Naem.
Kekerasan tersebut bukan hanya berbentuk fisik dan seksual, melainkan juga akses untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Tiga tahun silam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan resolusi pengakuan terhadap hak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan sebagai HAM universal.
Resolusi tersebut menekankan pentingnya melindungi hak-hak kelompok rentan–termasuk perempuan dan masyarakat adat–yang seringkali menanggung beban tidak proporsional akibat kerusakan lingkungan.
PBB menyebut degradasi lingkungan “dapat memperburuk ketidaksetaraan gender” yang berdampak pada akses perempuan terhadap sumber daya, kesehatan dan keselamatan diri.
Selain berpedoman pada penekanan resolusi tersebut, para penulis buku yang terbit pada 2024 itu juga mencantumkan sejumlah laporan Komnas Perempuan. Salah satunya bertajuk “Perempuan Pembela HAM Berjuang dalam Tekanan” yang terbit pada 2007.
Dalam laporan itu, Komnas Perempuan mencatat perempuan pembela HAM “acapkali mengalami kekerasan berupa kriminalisasi.”
Kriminalisasi berdampak pada penanganan kasus yang tengah didampingi para perempuan pembela HAM dan, pada saat yang sama “menjadi tekanan baru bagi siapapun yang didampingi.”
Melalui buku setebal 78 halaman yang telah disebarluaskan ke komunitas-komunitas pembela HAM itu, Siti Maimunah et al.. turut menekankan bagaimana stigma terus-menerus direkatkan pada para perempuan pembela HAM.
Menyitir laporan Komnas Perempuan, para penulis mengungkap sembilan partisipan perempuan pembela HAM mengalami “pengecilan dan pengikisan kredibilitas yang diukur berdasarkan moralitas dan status pernikahan sebagai alat pembenaran.”
Dua di antaranya mengaku “dicap telah mencoreng nama baik keluarga dan tidak menghargai institusi pernikahan.” Oleh para tetangga, seorang di antaranya mengaku “dibilang pekerja seks lantaran kerap pulang pagi.”
Komnas Perempuan berpandangan stigma semakin “menjauhkan perempuan pembela HAM untuk mendapatkan kesetaraan substantif” yang berdampak pada “pencarian kebenaran dan upaya pemulihan bagi korban yang tengah didampingi.”
Siapapun Bisa Jadi Pembela HAM
Melalui laporan sejumlah lembaga internasional dan pemerhati perempuan, ketiga penulis buku itu berharap “perempuan dapat pertama-tama mengenali diri sebagai pembela HAM.”
Pengenalan diri sebagai pembela HAM mampu mendorong para perempuan “untuk berani melawan setiap bentuk kekerasan yang berpotensi menimpa mereka.”
Ketiga penulis merujuk pada dokumen PBB “Human Rights Defenders: Protecting the Right to Defend Human Rights, Fact Sheet No. 29” yang menegaskan “tidak ada kualifikasi yang diwajibkan terhadap seseorang untuk menjadi pembela HAM.”
“Kita semua dapat menjadi pembela HAM bila kita mau,” tulis PBB.
Sementara pada skala nasional, mereka mengacu pada dokumen Komnas HAM soal “Standar Norma dan Pengaturan Nomor 6 tentang Pembela Hak Asasi Manusia.”
Dalam dokumen itu, Komnas HAM mendefinisikan pembela HAM tak terkecuali orang-orang yang memerangi korupsi dan kejahatan terorganisir, pejuang hak atas tanah dan lingkungan, pekerja kemanusiaan, jurnalis, penyintas kekerasan berbasis gender dan perdagangan manusia.
Dengan merujuk pada definisi demikian, para pembela HAM, termasuk perempuan, ada di berbagai daerah di Indonesia, dalam beragam bentuk dan konteks. Mereka berjuang demi lingkungan, tanah, mempertahankan hak.
Di NTT, mereka berada di garis depan dalam perlawanan terhadap proyek geotermal, juga konflik berhadapan dengan korporasi milik lembaga-lembaga yang punya status quo.
Sejumlah di antaranya berjuang di Poco Leok, Mataloko, Nage, Sokoria,, Nangahale–yang kesemua berada di Pulau Flores–hingga Pulau Lembata.
Di Nangahale, masyarakat adat berjuang melawan PT Krisrama, perusahaan milik Keuskupan Maumere dalam konflik lahan.

Pada Maret, kedelapan warga adat divonis 10 bulan penjara sebelum bebas seusai mendapat status cuti bersyarat. Dua di antaranya perempuan. Mereka dipenjara usai didakwa merusak plang sertifikat lahan PT Krisrama.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur “yakin kedelapan warga adat itu merupakan pembela HAM.”
Sementara Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI], Satrio Kusma Manggala menyatakan “hakim menyidang para pembela HAM yang semestinya dilindungi negara.”
Pengalaman Stigma dan Diskriminasi
Tekanan terhadap para pembela HAM, yang cakupannya bisa terbuka bagi siapa saja-termasuk jurnalis, bisa muncul dalam beragam bentuk.
Sapariah Saturi, editor senior Mongabay Indonesia, media yang fokus pada isu lingkungan dan masyarakat adat, berkata, “stigma itu mulai saya rasakan, bahkan semenjak tahun pertama menjadi jurnalis.”
Arie-sapaannya- menjadi jurnalis sejak 1999. Semula ia meliput isu kriminal sebelum berfokus pada masalah lingkungan.
Pekerjaannya membuat ia kerap bepergian jauh dan pulang lewat jam 12 malam. Ia beberapa kali secara tak sengaja bertemu tetangga di jalan, yang tiba-tiba mengawali percakapan dengan kalimat seperti “kerja di mana sih? Kamu kan perempuan. Kok pulang pagi?”
Arie mengaku awalnya merasa “sangat terganggu” hingga akhirnya “bodo amat.” Semakin memikirkan pandangan miring orang-orang sekitar “hanya akan membuat kerja-kerja saya melemah.”

Ia juga menyoroti para jurnalis–tak hanya perempuan–yang “lebih dulu meminta izin ke pasangan mereka” sebelum bepergian meliput ke tempat-tempat jauh.
Menurutnya, “meminta izin menunjukkan ketidaksetaraan. Gantilah soal meminta izin itu dengan ‘berdiskusi.’”
Dengan berdiskusi, “jurnalis dapat, tak hanya memperdebatkan, melainkan juga mempertahankan nilai-nilai yang ia pegang terhadap kehidupan orang kecil.”
“Banyak warga yang tertindas dan sulit bersuara di pelbagai pelosok Indonesia,” kata Arie, “bila jurnalis perempuan tak kerap bepergian dan pulang pagi, siapa mau bantu suarakan mereka?”
Dini Pramita, Kepala Divisi Riset dan Database Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) punya pengalaman tersendiri.
Pekerjaan sebagai periset mengharuskannya kerap bepergian ke tempat-tempat jauh. Di kampung-kampung pelosok itu Dini bertemu dan bertukar cerita dengan perempuan adat setempat.
Ia terakhir bepergian jauh pada Mei. Sebulan berada di Flores, ia berkeliling ke sejumlah kampung di setidaknya tiga kabupaten di pulau itu.
Di salah satu kampung yang dekat dengan proyek geotermal, ia bertemu seorang perempuan.
Terpaut sekitar 300 meter dari lokasi proyek, “atap sengnya banyak yang bocor.” Ia hanya mendapat bantuan tujuh lembar seng dari pemerintah, jumlah yang jauh dari cukup untuk berlindung dari hujan.
Ladang jagungnya tumbuh kerdil. Tak lagi bertunas. Sementara alpukat, kakao dan labu yang ditanam di belakang rumahnya tak lagi berbuah.
Sejumlah orang bilang padanya: “Kalau mau hidupmu enak, ya ikut pemerintah. Nanti kalau ada apa-apa juga pemerintah yang bisa selamatkan.”
Perempuan itu tak menggubris ucapan mereka. Ia tetap menolak proyek geotermal berlanjut di dekat kampungnya “lantaran hidup sudah tak lagi damai.”
Dini “menaruh hormat pada keberanian” para perempuan di kampung-kampung lawatannya.
“Saya belajar banyak dari mereka,” kata Dini, alasan yang membuatnya ingin terus masuk-keluar kampung selagi mampu.
Kepada Dini, para perempuan adat bercerita soal alasan mereka mempertahankan tak cuma tanah leluhur, melainkan juga keutuhan alam sekitar.
“Tak satupun mencari panggung ketenaran. Saya merasakan mereka tulus berjuang di tengah segala kerentanan,” katanya.
Hakikat Ruang Aman
Ketiga penulis Merebut Ruang Aman: Kumpulan Pustaka Terpilih bagi Perempuan Pembela HAM berpendapat bahwa pemahaman diri sebagai perempuan pembela HAM pada akhirnya “sangat penting untuk meningkatkan rasa percaya diri demi bekerja menyelamatkan keselamatan rakyat dan lingkungan mereka dari proyek-proyek pembangunan yang merusak.”
Mereka pun mendorong perempuan pembela HAM kian meningkatkan kapasitas diri dengan membaca perdebatan tentang pembela HAM dan lingkungan, juga berbagi pengalaman serupa di tempat-tempat yang didatangi.
Perjumpaan dan pertukaran cerita dengan para perempuan adat pada akhirnya membuat Dini Pramita memikirkan kembali soal hakikat ruang aman bagi para perempuan pembela HAM.

Ia tiba pada kesimpulan: “ruang aman ialah tempat yang mendukungku menumbuhkan keberanian untuk berjuang dan melawan bersama para perempuan yang tertindas.”
Ruang aman bagi perempuan adalah “tempatku diterima secara utuh, didengarkan secara tulus tanpa penghakiman dan pergunjingan yang tak perlu.”
Editor: Ryan Dagur