Floresa.co – Maria Magdalena Leny belum bisa pulang ke kampungnya di Nangahale, Sikka.
Ia sementara tinggal di rumah seorang paman di Maumere, khawatir “dituding melakukan tindakan anarkis bila ekskavator itu datang lagi.”
Nangahale dan Maumere, ibu kota Sikka terpaut sekitar 60 kilometer. Lumrahnya ditempuh sekitar 1 jam 45 menit bersepeda motor.
“Saya bisa saja pulang,” kata perempuan 43 tahun itu.
Namun, “pendamping menyarankan ‘sebaiknya jangan, menghindari terjerat kasus hukum untuk kedua kalinya’.”
Leny belum pulang sejak 22 Januari. Hari itu ia menghadiri sidang eksepsi di Pengadilan Negeri Sikka. Hari itu pula terjadi penggusuran sekitar 120 rumah warga adat di kampungnya.
Sejak 15 Januari ia menjalani persidangan, bersama tujuh warga adat lain dari Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai.
Jaksa mendakwa kedelapan warga adat merusak barang milik orang lain di muka umum.
Dalam persidangan, “barang milik orang lain” teridentifikasi sebagai papan yang memuat nomor sertifikat Hak Guna Usaha [HGU] PT Kristus Raja Maumere.
Korporasi milik Keuskupan Maumere itu juga dikenal sebagai PT Krisrama.
Berbicara dari rumah pamannya pada 26 Januari, Leny membenarkan “terjadi pencabutan plang” lantaran “warga marah pada PT Krisrama yang tebang pohon pisang dan mete milik Ricky.”
Ricky merupakan sapaan Fernandes Ricyanto. Ia adalah tokoh muda dari komunitas adat Soge Natarmage.
Dari polisi, kedelapan warga adat mengetahui “kami dilaporkan berdasarkan rekaman video yang diambil Romo Yan.”
“Bukan untuk Penjarakan Umat”
Romo Robertus Yan Faroka melayani umat di Stasi Santa Theresia Nangahale sejak Mei 2024.
“Benar, saya yang memvideokan mereka dari jarak dekat,” kata Yan tentang peristiwa 29 Juli 2024 yang berujung persidangan delapan umatnya.
Selain melayani sebagai pastor stasi, Yan juga menjabat direktur operasional Krisrama sekaligus direktur PT Langit Laut Biru, perusahaan penyedia mesin pertanian.
Hari itu ia berada di Nangahale “untuk memimpin penanaman empat dari sepuluh plang.”
Satu plang, katanya, mewakili satu sertifikat HGU Krisrama pada bagian wilayah itu yang seluas 325 hektare.
HGU memicu konflik berlarat-larat di Nangahale. Peristiwa terakhir berupa penggusuran pada 22 Januari.
Ia mengaku “sudah berulang kali mengingatkan umat untuk beri tahu bila menolak penanaman plang. Nanti kita duduk bersama.”
Pada 29 Juli 2024, “umat saya turut menghilangkan satu plang sertifikat. Satu lainnya dibakar.”
Ditanya alasannya melaporkan umat ke polisi alih-alih mengajak mereka duduk bersama, ia menjawab: “Saya tahu persis umat yang saya layani tidak punya potensi melawan hukum dan membela diri. Tetapi saya tahu pasti tindakan mereka itu diprovokasi oleh aktor intelektual LSM selama belasan tahun. Hanya dengan cara itu saya bisa mengendalikan LSM tersebut.”
Ia menolak menyebutkan nama Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM] dan aktor intelektual yang dimaksud.
“Perlu dicatat,” kata Yan dalam percakapan telepon dengan Floresa pada 26 Januari, “tujuan saya bukan untuk penjarakan umat.”
Namun, “melalui mereka dalam persidangan, akan terungkap siapa aktor intelektual di balik ini semua.”
“Target saya adalah otak intelektual,” katanya.
Sekali Lagi: “Bukan untuk Penjarakan Umat”
Kedelapan warga adat dijerat Pasal 170 ayat [1] dan Pasal 406 ayat [1] juncto Pasal 55 ayat [1] KUHP. Pasal pertama mengatur ancaman hukuman maksimal 5 tahun 6 bulan penjara. Pasal kedua mengatur pidana maksimal 2 tahun 8 bulan dan denda Rp4,5 juta.
Seorang perempuan lain, Magdalena Marta, turut disidang.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB] tentang Hak Warga Adat atau United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples [UNDRIP] menyatakan perempuan adat “sangat rentan terhadap kriminalisasi dan kekerasan.”
Melalui deklarasi tersebut, PBB menyerukan dorongan bersama agar para pemangku kepentingan dapat menjamin hak para perempuan adat, termasuk bebas dari kriminalisasi.
Ditanya apakah Yan turut mempertimbangkan itu ketika memolisikan dua umat perempuannya, ia menjawab: “Sudah saya jelaskan bahwa saya tak bermaksud memenjarakan umat.”
“Bila polisi menyatakan keduanya untuk dibebaskan, akan saya bebaskan mereka,” katanya.
Ia juga mengaku sempat bertemu suami Leny sebelum ia mulai ditahan pada 25 Oktober.
Kepada Floresa, Leny mengatakan suaminya merantau bekerja di Pulau Kalimantan. Ia terikat kontrak kerja selama tiga tahun.
“Baru Natal lalu ia pulang,” kata Lenny, “sesudah lebih dari setahun merantau.”
Suaminya kembali ke Kalimantan sebelum Tahun Baru.
Harus Titipkan Anak, Kebun Tak Terurus
“Nama saya Leny dengan akhiran ‘y’ seperti tercantum pada KTP, bukan ‘i’ seperti tertulis dalam surat pemanggilan polisi,” kata Maria Magdalena Leny.
Selain itu, “di sekitar rumah saya ada beberapa orang bernama ‘Leni.’”
Jadi, ‘Leni’ mana yang Polres Sikka panggil?”
Perkara huruf itu membuat Leny tak memenuhi pemanggilan pertama pada 14 Agustus 2024.
Floresa memeriksa surat pemanggilan itu pada 27 Januari. Nama yang tercantum pada surat itu hanya “Leni.”
Kedelapan warga adat baru memenuhi pemanggilan pada 25 Oktober 2024.
Leny mengajak serta anak bungsunya yang masih balita.
Mereka didampingi tim kuasa hukum Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara yang dipimpin Antonius Yohanes “John” Bala.
Pemeriksaan semenjak pukul 09.00 Wita itu berakhir sekitar pukul 18.00 Wita. Leny bersama tujuh warga adat lainnya langsung ditahan.
Polisi memisahkan Leny dan anaknya yang bersahut tangisan panjang si bungsu.
Oleh polisi, anak laki-laki itu lalu dibawa ke kantor Truk-F, lembaga advokasi kemanusiaan berbasis di Maumere.
“Anak saya lahir prematur,” kata Leny, kondisi yang membuat ketahanan tubuhnya “sering bermasalah.”
“Ia sering pingsan ketika terlalu lama menangis,” kata perempuan 43 tahun itu.
Begitu juga yang terjadi ketika si bungsu berada di kantor Truk-F.
“Anak saya pingsan, sehingga tengah malam polisi bawa kembali ke saya,” katanya.
Sejak tengah malam itu ia menjadi tahanan rumah.
Selagi si bungsu tinggal bersamanya, anak sulung dan tengah “saya titipkan ke keluarga di kampung lain.”
Leny memiliki sepetak kebun yang tak lagi mampu ia urus.
Selama menjalani persidangan, “warga adat setempat bahu-membahu mengurus kebun saya.”
Komnas HAM Segera Cek
Persidangan terhadap delapan warga adat turut menjadi perhatian Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI], Satrio Kusma Manggala.
Ia sebelumnya mengingatkan hakim untuk mengeluarkan putusan sela yang pada intinya “memutuskan untuk tak melanjutkan persidangan.”
Desakan akan putusan sela berangkat dari analisis Satrio akan lokasi peristiwa yang masih dalam konflik kepemilikan.
Selain itu, “kasusnya melibatkan warga adat, termasuk perempuan, sebagai pembela HAM.”
Definisi pembela HAM tercakup dalam sejumlah beleid global dan nasional, termasuk deklarasi PBB tentang hak warga adat, peraturan Mahkamah Agung dan pedoman Jaksa Agung.
Satrio menegaskan kedelapan warga adat merupakan pembela HAM lantaran “memperjuangkan hak komunitas, bukan kebendaan pribadi.”
Satrio juga mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] “segera cek mereka dan menginvestigasi kasusnya.”
Wewenang itu sejalan Pasal 76 ayat [1] juncto Pasal 89 ayat [1], [2], [3] dan [4] Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Rangkaian pasal tersebut menyatakan Komnas HAM memiliki fungsi dan wewenang melakukan pengkajian, penyuluhan, pemantauan, penyelidikan dan mediasi.
Editor: Ryan Dagur