Floresa.co – Para tetua sedang mendampingi delapan warga adat yang disidang di Pengadilan Negeri Sikka ketika ekskavator menggusur rumah dan tanaman milik Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai di Kabupaten Sikka, NTT.
Bersamaan pembacaan eksepsi oleh Antonius Johanes Bala pada 22 Januari, alat berat itu meluluhlantakan sekitar 120 rumah.
“Tetua dan tokoh-tokoh kunci adat selalu hadir dalam sidang,” kata John, sapaannya.
Kehadiran para tetua adat di pengadilan membuat “hari itu nyaris tidak ada pemimpin di sekitar hunian kedua suku.”
John merupakan kuasa hukum delapan warga adat yang ditahan sejak Oktober. Dua di antaranya merupakan perempuan.
Magdalena Marta, 65 tahun, ditahan di Rutan sejak Oktober. Maria Magdalena Leny, 43 tahun, menjadi tahanan rumah karena memiliki seorang anak balita.
Mereka disidang atas dakwaan merusak barang milik orang lain di muka umum.
Oleh penyidik, “barang milik orang lain” itu diidentifikasi sebagai papan nama PT Kristus Raja Maumere, korporasi milik Keuskupan Maumere yang juga dikenal sebagai PT Krisrama.
Rentetan peristiwa sejak Oktober hingga 22 Januari, kata John, menunjukkan “pelanggaran HAM tak henti-hentinya terhadap kedua suku.”
Ia mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] “segera datang, investigasi dan terbitkan pernyataan sikap.”
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur, mengingatkan hal serupa.
“Saya kecewa karena Komnas HAM masih ‘diam.’ Komnas HAM harus lekas turun tangan,” katanya.
Apa Kata Komnas HAM?
Floresa menghubungi Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Anis Hidayah pada 25 Januari.
Terkait persidangan terhadap kedelapan warga adat, Anis “mendorong tidak ada kriminalisasi melainkan keadilan restoratif bagi para pembela HAM yang disidang di Sikka.”
Ia juga mendesak aparat penegak hukum menerapkan kebijakan yang melindungi pembela HAM dari gugatan hukum tak adil yang dikenal dengan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation [anti-SLAPP].
Isnur merespons pernyataan Anis, menyatakan “pertama-tama kita mesti lebih dulu mendefinisikan pembela HAM.”
Bagaimanapun, “saya yakin kedelapan warga adat itu merupakan pembela HAM.”
“Pertanyaan saya sekarang,” kata Isnur, “bagaimana kelanjutan standar norma prosedur untuk pembela HAM?
Standar Norma dan Pengaturan tentang Pembela HAM merupakan pedoman yang diterbitkan Komnas HAM pada 2021.
Pedoman itu mengatur sejumlah hal terkait keberadaan pembela HAM, termasuk kedudukan di mata hukum.
“Wewenang aturan itu berada di Komnas HAM. Maka turun tangan-lah,” kata Isnur.
“Segera Keluarkan Putusan Sela”
Persidangan terhadap delapan warga adat serta penggusuran di Sikka turut menjadi perhatian Manajer Kajian Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI], Satrio Kusma Manggala.
“Sedari awal, posisi warga dan perusahaan telah tak seimbang,” kata Satrio pada 25 Januari.
Perusahaan “datang ke wilayah itu berbekal alas hak. Artinya mereka pegang bukti tertulis.”
Sementara warga adat “hanya bisa secara lisan menegaskan wilayah itu adalah lahan komunal mereka.”
Alas hak tanah merupakan bukti kepemilikan seseorang atau badan hukum tertentu atas sebidang tanah.
Bukti kepemilikan diatur melalui Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Terdapat beberapa jenis alas hak tanah, termasuk Hak Guna Usaha [HGU] yang turut memicu konflik di Nangahale.
Satrio menilai ketimpangan posisi warga dan perusahaan “memunculkan sifat-sifat konflik yang berlarat-larat.”
Satrio menilai konflik lebih kompleks ketimbang sengketa.
“Apa yang kamu akui sebagai milikmu, belum tentu milikmu. Begitu juga soal papan nama yang berdiri di Nangahale dan diduga dirusak warga,” katanya.
Itulah mengapa “kasus pengrusakan, bila terbukti benar, tak bisa diselesaikan secara pidana.”
Ia mendesak kasus diselesaikan sesuai asas prejudicieel geschil yang pada intinya mengatur penyelesaian masalah secara perdata.
Terlebih lagi “hakim menyidang para pembela HAM yang semestinya dilindungi negara.”
Berangkat dari analisis tersebut, Satrio mendesak hakim “segera mengeluarkan putusan sela” yang pada intinya “memutuskan untuk tak melanjutkan kasusnya.”
Editor: Ryan Dagur