Taman Nasional Komodo Terancam; Masyarakat Adat, Pelaku Wisata, DPRD dan Elemen Sipil Desak Pemerintah Batalkan Proyek Bisnis Pariwisata di Pulau Padar

Pemerintah sedang berupaya memfasilitasi proyek sarana pariwisata milik PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar, salah satu spot favorit wisatawan

Floresa.co – Masyarakat adat Ata Modo yang tinggal di dalam kawasan Taman Nasional Komodo satu suara dengan pelaku wisata, DPRD dan elemen sipil menentang langkah pemerintah memberi karpet merah bagi proyek infrastruktur wisata oleh perusahaan swasta di kawasan konservasi itu.

Mereka menilai pemerintah mengambil keputusan secara serampangan tanpa mempertimbangkan nasib kawasan yang menjadi habitat satwa langka komodo tersebut, termasuk warga yang bermukim di dalamnya.

Dalam diskusi bertajuk “TNK Kembali Diutak-atik Korporasi: Komodo, Masyarakat Setempat, dan Pelaku Wisata Jadi Tumbal?” yang digelar hybrid di Labuan Bajo pada 30 Juli, Ali Mudin, warga Ata Modo yang menjadi salah satu narasumber berkata, langkah pemerintah itu memicu kemarahan mereka.

“Perlu diingat bahwa luka seringkali melahirkan kemarahan. Agar orang itu tidak marah, jangan membawa luka untuk mereka” katanya.

Ali beralasan, Taman Nasional Komodo merupakan kawasan konservasi yang sebagian lahannya diambil dari tanah ulayat warga Ata Modo sejak 1980.

“Dengan alasan konservasi, kebun milik warga itu dijadikan destinasi wisata,” katanya dalam diskusi itu yang diinisiasi Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores.

“(Demi) alasan konservasi, ruang hidup warga dicaplok,” tambahnya.

Sayangnya, kata dia, kini pemerintah menyerahkan ribuan hektare kawasan itu kepada sejumlah korporasi. 

Diskusi itu merespons langkah pemerintah yang pada 23 Juli menggelar konsultasi publik untuk memfasilitasi beroperasinya PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE). 

PT KWE  adalah satu dari beberapa perusahaan yang telah mengantongi izin untuk membangun fasilitas pariwisata seperti resor, villa dan jetty di Pulau Padar, pulau terbesar ketiga di kawasan Taman Nasional Komodo. 

Selain menguasai 274,13 hektare di Pulau Padar, perusahaan itu juga diberi konsesi 151,94 hektare di Loh Liang, bekas tanah ulayat warga Ata Modo yang kini menjadi pintu masuk utama wisatawan ke Pulau Komodo.

Perusahaan lain yang memiliki izin serupa adalah PT Sagara Komodo Lestari dengan luas konsesi 22,1 hektare di Pulau Rinca dan PT Synergindo Niagatama seluas 6,490 hektare di Pulau Tatawa. 

Akbar Al Ayyubi, warga Ata Modo lainnya yang menjadi peserta diskusi menambahkan, pengambilalihan tanah ulayat untuk kawasan konservasi  berlangsung melalui “perampasan” dan “pendekatan kekerasan, tanaman warga dihancurkan, binatang peliharaan ditembaki.”

Akbar mengaku heran karena langkah pemerintah Orde Baru kala itu beralasan demi keselamatan komodo. 

Padahal, menurutnya, warga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan satwa langka itu, sebab legenda mereka meyakini Ata Modo dan komodo bersaudara kembar yang lahir dari rahim ibu yang sama.

“Dulu Ata Modo punya tradisi berburu rusa, bukan untuk dijual, tetapi untuk berbagi bersama saudara Komodo,” katanya.

Usai penetapan taman nasional, lanjutnya, pemerintah menuntut mereka mengikuti aturan konservasi demi menjaga keutuhan habitat komodo. 

“Dulu kami diberi pemahaman tentang konservasi, bahkan untuk merubah (memindahkan) batu ke tempat yang lain adalah pelanggaran,” katanya.

Ia juga berkata, warga dianggap melakukan tindak pidana hanya karena menebang pohon untuk kebutuhan hidup.

Namun, kata dia, kini “negara tanpa malu merampas tanah adat untuk diberikan kepada investor.” 

Pelaku Wisata: “Bukan Hanya Komodo yang akan Punah”

Getrudis Naus, narasumber lainnya dalam diskusi tersebut yang merupakan Sekretaris Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia atau ASITA Labuan Bajo berkata, langkah terbaru pemerintah tidak hanya berdampak pada komodo tetapi juga warga dan pelaku wisata.

Hal itu terjadi karena kerusakan pada habitat komodo juga berdampak pada penurunan kualitas alamiah kawasan itu.

“Melihat korporasi-korporasi yang masuk ke kawasan untuk mengelola dan membangun akomodasi di kawasan Taman Nasional Komodo, saya tidak tahu lagi seperti apa kedepannya,” katanya.

Getrudis berkata, kendati pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat regulasi terkait pengelolaan kawasan Taman Nasional Komodo, hal itu “harus mengutamakan sustainable tourism (pariwisata berkelanjutan)”.

Pembangunan sarana wisata yang akan merusak habitat, “tidak selaras dengan kampanye konservasi,” katanya.

Rencana pembangunan fasilitas di kawasan konservasi itu, kata dia, merupakan upaya “orang yang tidak menghargai kita sebagai tuan rumah” sehingga mengobrak-abrik situs yang memberi dampak ekonomi bagi warga dan pelaku wisata.

“Untuk apa kita membangun hotel berbintang yang ada di Labuan Bajo ini begitu banyak kalau beri akses ke korporasi-korporasi itu untuk membangun hotel di dalam kawasan yang menjadi ikon pariwisata kita, maka selesailah pariwisata kita,” katanya.

“Ini mengancam semua makhluk yang menghuni kawasan Taman Nasional Komodo. Bukan hanya komodo yang punah, tetapi juga orang yang mendiami Pulau Komodo,” tambahnya.

Selain itu, kata Getrudis, isu terkait kerusakan di taman nasional itu berdampak besar pada ekonomi pariwisata yang merupakan sektor jasa.

Hal itu yang membuat para pelaku wisata bertahun-tahun bersikeras menolak kehadiran perusahaan, sejak era The Nature Conservancy (TNC), perusahaan yang masuk pada 1995.

Hal serupa, kata dia, juga tampak dalam penolakan terhadap BUMD Provinsi NTT, PT Flobamor pada 2022 bersama dengan kebijakan kontroversialnya, seperti menaikkan tarif masuk kawasan secara drastis.

“Apalagi kehadiran korporasi yang bisa merusak kawasan,” katanya.

Karena itu, “sebagai pelaku pariwisata menolak keras kehadiran korporasi-korporasi tersebut.” 

“Entah dalam zona pemanfaatan atau zona apapun itu, kami tidak setuju,” katanya.

DPRD: “Komodo Seolah Lebih Berharga dari Ata Modo”

Narasumber lainnya dari DPRD Kabupaten Manggarai Barat, Ali Sehidun berkata, berbagai langkah pemerintah di kawasan itu menyiratkan perlakuan yang tidak seimbang, di mana komodo lebih bernilai daripada warga.

Hal itu kata dia, misalnya tampak saat warga Ata Modo hendak direlokasi dari Pulau Komodo beberapa tahun lalu demi alasan konservasi.

“Warga yang ada di Pulau Komodo saat ini belum tidur nyenyak karena masih menunggu kepastian hukum, jadi isu (relokasi) itu belum selesai, muncul lagi investor ini,” katanya.

Selain itu, “komodo lebih berharga daripada Ata Modo” karena hampir 2.000 warga hanya diberikan lahan pemukiman seluas 17 hektare di pulau tersebut, sementara setiap perusahaan mendapatkan konsesi hingga ratusan hektare.

Sehidun juga menyoroti kebijakan zonasi di Taman Nasional Komodo yang “selalu berubah-ubah” untuk kepentingan investasi, misalnya “semulanya zona rimba sekarang jadi (zona) pemanfaatan.”

“Kecemasan saya, pada saatnya nanti akan ada airport di dalam kawasan. Yang terjadi besok tidak bisa kita pastikan hari ini,” katanya.

Hal lainnya yang disoroti politisi Partai Bulan Bintang itu adalah konsultasi publik PT KWE pada 23 Juli yang tidak melibatkan DPRD, padahal ini “era demokrasi yang transparan.”

“Kesimpulan saya, konsultasi publik itu sembunyi- sembunyi. Tidak ada transparansi dalam hal ini,” katanya.

Bagaimana Respons Balai Taman Nasional Komodo?

Merespons protes warga, pelaku wisata dan DPRD, Urbanus Sius, Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) yang juga hadir sebagai narasumber diskusi mengklaim kondisi taman nasional tersebut telah memenuhi dua kriteria yang ditetapkan UNESCO atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang pada 1991 menetapkan statusnya sebagai Situs Warisan Dunia.

Kriteria yang dimaksud adalah memiliki lanskap yang alami dan binatang komodo.

Urbanus mengklaim, tim ahli sudah mematuhi kaidah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL sebelum konsultasi publik PT KWE digelar.

“Ada PT KWE, PT Padar Heritage Conservation (atau PT Palma Hijau Cemerlang milik Tomy Winata), sudah sesuai ketentuan kami,” katanya, “kalau tidak sesuai, ya keluar.”

Ia juga berkata pembangunan pariwisata di Labuan Bajo masih membutuhkan kawasan pengembangan, termasuk di dalam taman nasional.

“Saat ini kami hanya membutuhkan partisipasi dari semua pihak (untuk) bantu kami,” katanya. 

BTNK, klaimnya, berupaya mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan semua pihak.

“Kawasan (taman nasional) sudah eksis sampai sekarang, dari siapa itu, kita tidak hanya bersuara tapi kita berbuat. Kita sudah berbuat apa sih, kurangnya di mana, ayo kita bantu, itu poinnya,” kata Urbanus.

“Sangat tidak rasional apabila pemerintah dalam hal ini Balai Taman Nasional Komodo merencanakan konservasi di dalam kawasan, sementara di satu sisi, pemerintah meloloskan korporasi-korporasi mencaplok kawasan,” kata Try Dedi, aktivis Komite Nasional Pemuda Indonesia atau KNPI pada sesi diskusi usai pemaparan narasumber.

Langkah pemerintah, kata Dedi, mengherankan, karena “mau konservasi tetapi habitat komodo dan makhluk lainnya dipersempit.”

“Perlu diingat bahwa, di dalam kawasan ada home range atau daerah jelajah bagi beberapa spesies binatang,” katanya.

Ketika daerah jelajah babi hutan, rusa dan monyet dipakai untuk bangun hotel, katanya, pasokan makanan bagi komodo akan berkurang.

“Lama lama Komodo juga akan punah. Apa yang mau dikonservasi bila binatang-binatang di dalam kawasan punah,” katanya.

Sementara itu Cypri Jehan Paju Dale, narasumber dari Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat yang hadir secara daring berkata, rencana proyek infrastruktur di kawasan itu dapat merusak reputasi pariwisata berkelanjutan yang berbasis kelestarian alam, budaya dan distribusi keadilan ekonomi masyarakat Flores.

“Pariwisata adalah bisnis yang rentan dengan reputasi,” katanya, sebab “turis bukan hanya sekelompok manusia hedon yang datang untuk bersenang-senang, tetapi memiliki rangkaian nilai ekologis, sosial dan budaya.”

Ia khawatir reputasi sebagai pariwisata berkelanjutan akan segera diganti oleh pariwisata yang berbasis resor mewah dan dibangun di atas praktik pengrusakan alam dan korupsi sistemik.

“Tergerusnya habitat komodo, pelanggaran hak masyarakat setempat, monopoli bisnis dan praktik korupsi kebijakan dalam pemberian izin-izin konsesi adalah racikan yang mematikan bagi reputasi pariwisata,” kata Cypri yang selama lebih dari satu dekade terakhir aktif melakukan riset dan advokasi kebijakan terkait pariwisata dan konservasi di Flores.

Dalam paparan saal pertemuan pada 23 Juli, PT KWE berencana mendirikan pusat bisnis pariwisata dengan  619 bangunan di Pulau Padar. 

Ratusan bangunan itu mencakup 448 villa, 13 restaurant, 7 lounge, 7 gym center, 7 spa center, 67 kolam renang, sebuah bar raksasa seluas 1.200 m2, sebuah Hilltop Chateau (bangunan kastel/istana bergaya Perancis), dan sebuah wedding chapel (gereja yang dipakai untuk acara pernikahan). 

Sejumlah sarana akan didirikan di atas lokasi seluas 274,13 hektare di sepanjang pesisir utara Pulau Padar, tempat di mana Pink Beach dan Long Beach yang merupakan salah satu ikon utama Taman Nasional Komodo berada.

Rencana perusahaan itu memantik protes dari publik, dengan tagar #SavePulauPadar yang mulai ramai di media sosial.

Editor: Anno Susabun dan Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA