Seekor Burung Kecil Biru di Naha: Reportase dan Refleksi Pascakonflik di Timur Indonesia

Di tengah keterbatasan akses bagi jurnalis perempuan di wilayah konflik, Linda Christanty memilih tetap pergi, menemukan cerita-cerita ketidakadilan pemerintah yang menyulut pertikaian

Judul buku: Seekor Burung Kecil Biru di Naha: Konflik, Tragedi, Rekonsiliasi; Penulis: Linda Christanty; Jumlah halaman: xi + 134; Tahun terbit: Februari 2015 [Cetakan pertama]; Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia [KPG]

_______

Linda Christanty sedang menunggu kedatangan peserta kelas menulis pada suatu Juni yang basah di Pulau Ternate.

Juni menandai bulan sarat hari-hari turun hujan di pulau kecil itu yang tercakup dalam provinsi kepulauan Maluku Utara.

Kelas menulis yang dimentori Linda berlangsung di lereng sebuah tebing. 

“Kemarin sore saya meminta mereka mewawancarai orang-orang di kota, pasar dan pelabuhan,” tulis Linda dalam Seekor Burung Kecil Biru di Naha: Konflik Tragedi, Rekonsiliasi.

Ia meminta mereka menuliskan hasil peliputan untuk dibahas bersama pada esok paginya.

Peserta kelas menulis yang dimentori Linda merupakan jurnalis muda berusia 20-an tahun. Selain tinggal di Ternate, beberapa lainnya berasal dari pulau-pulau sekitar, seperti Tidore, Bacan dan Halmahera.

Mereka menuju Ternate menaiki perahu motor, transportasi utama di Maluku Utara.

Pagi itu, dari ketinggian Linda melihat sejumlah peserta perempuan berlari-lari kecil menaiki tebing sebelum buru-buru menghampirinya. 

Ada yang mengabarkan tulisan mereka belum selesai, separuh selesai dan sama sekali belum menulis, “lengkap dengan alasan masing-masing.”

Selagi memberi waktu bagi mereka mengatur napas sehabis mendaki tebing, Linda memandang Pulau Halmahera di kejauhan.

Halmahera belum bernama dalam The Malay Archipelago karangan naturalis berkebangsaan Inggris, Alfred Russel Wallace.

Dalam buku catatan penjelajahan ilmiah yang terbit pada 1869 itu, Halmahera hanya disebut “pulau tanah air.”

Satu setengah abad kemudian, Halmahera “justru melahirkan banyak kisah tanah yang membuatnya sulit dilupakan.”

Konflik di Jalur Rempah

Pada masa lalu, Halmahera–juga pulau-pulau lain di Maluku Utara–dikenal sebagai perlintasan “Jalur Rempah.”

Para penjelajah Eropa berlomba-lomba menemukan bunga cengkih [Eugenia aromatica], fuli dan biji pala [Myristica fragrans] di Halmahera yang berujung pada konflik tanah serta, akhirnya, penjajahan.

Namun, konflik tanah tak berhenti hingga pendudukan bangsa Eropa berakhir.

Di sela-sela waktu istirahat dalam kelas menulis yang dimentori Linda, beberapa peserta bercerita soal konflik batas wilayah antara orang Kao dan Makian. Konflik pecah di tengah-tengah rencana pemekaran provinsi.

Orang Kao tinggal di Halmahera, sebagian besar memeluk keyakinan Kristen Protestan. Sementara semua orang Makian merupakan pemeluk ajaran Islam.

Dulu, pulau-pulau di bagian utara–termasuk Ternate, Tidore dan Halmahera–tercakup dalam Provinsi Maluku. Gugusan pulau itu lalu bergabung dalam Provinsi Maluku Utara yang terbentuk pada 1999. 

Semula orang-orang Makian bermukim di Pulau Makian. Pulau kecil itu, seperti juga Ternate dan Tidore, berada di sebelah barat Pulau Halmahera. 

Pada 1975 pemerintah memprediksi Kie Besi, gunung berapi di tengah-tengah Pulau Makian, akan erupsi hebat. Hal itu mendorong mereka memindahkan orang-orang Makian ke Halmahera. 

Namun, tahun itu Kie Besi tak mencatatkan erupsi besar. Merasa tak betah di Halmahera, orang-orang Makian kembali ke pulau asal mereka. 

Erupsi besar baru terjadi pada November 1988. Orang-orang Makian kembali ke Halmahera, membangun desa-desa di tanah adat orang Kao. Kelak, tempat itu dinamai Malifut.

Pada 1999, orang-orang Makian meminta pemerintah menetapkan Malifut sebagai suatu kecamatan. Orang-orang Kao tidak terima. 

Tak lama sesudah kabar itu, memecah ketegangan yang berujung pada konflik antarpemeluk agama. 

Kerusuhan 1999 merembet ke pulau-pulau kecil di sekitar Halmahera. Pertumpahan darah tak terhindarkan.

Tak ada data pasti terkait korban jiwa dalam kerusuhan tersebut. Sejumlah artikel lama yang dapat diakses secara daring rata-rata menyebutkan jumlah korban meninggal melampaui 2.000 orang. Sementara lebih dari 20 ribu rumah terbakar dan tak kurang dari 20 ribu orang mengungsi.

Linda Christanty. (Dokumentasi pribadi)

Keterbatasan Akses

Cerita sejumlah peserta kelas menulis membuat Linda memutuskan tinggal lebih lama di Ternate. Ia pergi meliput ke tempat-tempat yang disebutkan dalam cerita mereka dan berbicara dengan warga.

Pada 5 April, saya berkesempatan berdiskusi dengan Linda soal apa yang menggerakkan langkahnya.

“Manusia kerap hidup dengan memercayai berita bohong yang membuat mereka saling curiga,” katanya mengawali cerita.

Kondisi tersebut diperburuk ketidakjelasan akar masalah yang dalam konteks Maluku Utara pada 1999 memicu konflik perenggut ribuan nyawa. 

Sementara “media-media arus utama di Pulau Jawa saat itu memang memiliki akses ke Maluku Utara, tetapi tidak secara mendalam mengungkap penyebab konflik di sana.”

Linda berpandangan peliputan yang tak mendalam saat itu dipicu keterbatasan akses maupun praktik pembelokan narasi berita dan bias media.

Pandangannya sejalan dengan Chistopher R. Duncan, antropolog yang mengkaji akar masalah konflik Maluku Utara.

“Berbeda dengan media-media di Ambon yang berkembang dengan baik, media di Maluku Utara kurang berkembang,” tulis Duncan dalam “The Other Maluku: Chronologies of Conflict in North Maluku, Eastern Indonesia.”

Pulau Ambon yang terhubung langsung dengan Laut Banda merupakan pusat pemerintahan Provinsi Maluku. 

Sebagian besar media lokal, tulis Duncan dalam kajian yang terbit pada 2005 itu, “bermarkas di Ternate. Mereka memiliki akses yang terbatas dan dalam beberapa kasus memegang informasi minim dari kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam konflik.”

Akibatnya, “banyak laporan media dari periode tersebut, baik sengaja atau tidak, kurang akurat, atau sepenuhnya salah.”

Linda, yang bekerja sebagai jurnalis lepas mengakui “liputan saya kurang mendalam lantaran tak mewawancarai lebih banyak saksi di lingkar pertama peristiwa.”

Namun, “beberapa teman dan editor menyarankan diterbitkan saja karena ceritanya dianggap cukup mewakili antarkelompok yang berkepentingan.”

Meski akhirnya diterbitkan, Linda merasa ceritanya tak bisa berhenti di situ. 

“Ada bagian-bagian yang belum terjawab,” kata peraih dua kali penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa itu, “yang membuat saya kembali ke Maluku Utara.”

Linda memperluas jangkauan narasumber saksi peristiwa dari pelbagai etnis dan agama pada rentang 2016-2019. 

Dari keterangan para saksi, Linda menemukan bahwa “mereka selalu hidup berdampingan dengan baik dan saling bantu.”

Temuan itu mendorong Linda pada kesimpulan: “konflik berakar pada ketidakpedulian pemerintah akan hak-hak masyarakat adat.”

“Pembangunan, kemajuan dan demokrasi” selalu menjadi alasan yang menurut Linda membuat “pemerintah tak mengakomodasi suara warga di luar Pulau Jawa, khususnya timur Indonesia.” 

Kondisi tersebut diperparah dengan “lobi kelompok tertentu yang duduk dalam hierarki pemerintah daerah.”

Alih-alih meredam ketegangan, “politikus malah ‘memainkan isu’ etnis dan agama” yang memperburuk konflik.

Melibatkan Gereja

Konflik Maluku Utara pecah sekitar setahun selepas kejatuhan Suharto. 

Lengsernya pemimpin yang 32 tahun berkuasa di Indonesia itu menyebabkan sejumlah perubahan dalam struktur politik Maluku Utara. 

Presiden RI saat itu, Habibie, mengeluarkan Undang-Undang [UU] Nomor 22 Tahun 1999  tentang Otonomi Daerah. UU turut mengalihkan sejumlah besar tanggung jawab fiskal dan politik kepada pemerintah daerah. 

Pengalihan kewenangan dan kendali atas pendapatan “meningkatkan prestise dan keuntungan politik lokal,” menurut Christopher R. Duncan dalam kajiannya.

Meski menyebutkan akar masalah konflik Maluku Utara mesti “lebih lanjut diperiksa,” ia tak menampik kendali yang demikian mendorong lebih banyak investor datang ke Maluku Utara, termasuk Halmahera.

Husen Alting, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate dalam penelitiannya menemukan konflik lahan di Maluku Utara umumnya merupakan akibat dari penguasaan tanah untuk kepentingan investasi tak berkeadilan.

“Pola konflik tanah seperti ini nyaris terjadi hampir di semua wilayah di Maluku Utara. Penyebabnya tak lain ialah tidak tercapainya kesepakatan nilai ganti rugi tanah yang dianggap terlalu rendah, serta rendahnya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat,” kata Husen seperti disitir dari laporan mendalam Barta1.com

Peliputan artikel bertajuk “Bara Konflik di Selatan Halmahera” yang terbit pada 2022 itu didukung Rainforest Journalism Fund, organisasi penopang kerja-kerja jurnalistik di kawasan hutan tropis dunia, termasuk Indonesia.

“Konflik tanah itu rumit,” kata Linda pada 5 April, “ia tak kenal wilayah dan berlangsung dari masa ke masa.”

Pernyataan Linda membuat saya memikirkan kembali konflik berkepanjangan di Nangahale, Sikka. 

PT Kristus Raja Maumere, korporasi milik Keuskupan Maumere, menggusur lebih dari 100 rumah warga adat pada Januari. 

Penggusuran terjadi di tengah-tengah persidangan delapan umat mereka–dua di antaranya perempuan–yang akhirnya dibui 10 bulan karena merusak plang perusahaan.

Dalam “Percik Api di Timur,” tajuk bab yang berkisah tentang konflik Maluku Utara, Linda menemukan ketegangan turut menyeret gereja setempat. 

“Tiba-tiba muncul surat edaran berisi rencana menggusur orang Makian dari Halmahera dan membiarkan orang Kristen berkuasa,” tulis Linda pada halaman 101 bukunya.

Gereja membantah telah mengeluarkan surat edaran semacam itu, “tetapi tidak ada yang peduli.”

Perbantahan berujung pada pembunuhan terhadap seorang pendeta Protestan di Tidore di depan polisi yang “tak mampu berbuat apa-apa.”

Suatu petang di Pulau Halmahera, Maluku Utara. (Anastasia Ika)

Cerita tentang Manusia

Saya pertama kali membaca Seekor Burung Kecil Biru di Naha pada 2015, tahun penerbitan cetakan pertama buku itu.

Sepuluh tahun berlalu, buku ini tetap berkesan untuk saya yang sehari-hari terlibat dalam kerja-kerja jurnalistik. 

Lewat bukunya, Linda yang telah lebih dari 20 tahun menjadi jurnalis, telah secara tak langsung mengingatkan saya untuk selalu mengedepankan pandangan dan perasaan korban, bahkan dalam isu yang sebegitu kompleksnya. 

Bertahun-tahun meliput isu konflik di pelbagai wilayah Indonesia, Linda tak menampik hari-hari bersama korban membuatnya semakin dekat dengan mereka. 

Kondisi tersebut dapat mengaburkan fakta-fakta dalam penulisan jurnalistik “bila kita tak bisa meramunya dengan baik.”

“Tentu saya marah mendengar penderitaan korban,” katanya. Namun, dalam penulisan jurnalistik, “yang terpenting ialah menulis emosi mereka, entah sedih, kesal atau marah, bukannya menulis kemarahan atau kekesalan kita.”

Ia juga menyoroti minimnya jurnalis perempuan yang meliput ke daerah konflik.

Terdapat sejumlah alasan, katanya, “mulai dari tidak adanya kemauan diri hingga penghambatan akses bagi mereka.”

“Acapkali yang tampak pada permukaan ialah orang-orang menyerukan komitmen untuk ‘melindungi dan memajukan jurnalis perempuan.’ Di lapangan, jurnalis perempuan justru terhambat untuk maju,” katanya. 

Bagi saya, tulisan-tulisan Linda selalu apa adanya, yang karenanya membuat pembaca mudah memahami cerita.

Ia menghadirkan cerita-cerita konflik dan pascakonflik–yang untuk sebagian orang merupakan momok–dengan kalimat-kalimat percakapan yang sederhana, membuat pembaca cepat tergambarkan situasi di tempat tersebut.

Ia juga tak sungkan mengakui kekurangan peliputan pertamanya di Maluku Utara, yang sembilan tahun kemudian ia coba benahi. 

Saya sempat bertanya soal harapannya kembali meliput ke Maluku Utara. 

Ia menjawab: “Saya ingin mendengar cerita-cerita pemulihan di sana serta kelak orang-orang bisa melihat manusia di kanan dan kirinya dengan lebih baik lagi.”

Harapan, pemulihan, perdamaian dan umur panjang seumpama orang-orang Jepang memaknai origami berbentuk seekor burung kecil biru.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, Anda bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL LITERASI LAINNYA

TERKINI

BANYAK DIBACA