Judul kajian: Bride-Wealth: Is There Respect for Women in Manggarai, Eastern Indonesia?; Penulis: Yohanes Servatius Lon dan Fransiska Widyawati; Jumlah halaman: 8; Tahun terbit: 2018; Penerbit: Jurnal Penelitian Humaniora Vol. 30, No. 3, Oktober 2018
Ketika seorang bayi perempuan baru lahir, lumrahnya orang-orang di Manggarai akan berkata kepada orang tua si anak, “Kelak, keluargamu akan mendapat seekor kerbau.”
Begitu juga terhadap pasangan suami-istri yang memiliki lebih dari satu anak perempuan. Orang-orang biasa berkomentar, “Keluargamu akan mendapat banyak kerbau.”
Jika suatu waktu seorang gadis terluka, muncul komentar seperti ini: “Hati-hati, jangan sering-sering terluka. Nanti mengurangi jumlah kerbau yang diterima keluargamu.”
Selagi beberapa orang menganggap itu lelucon, tidak sedikit juga gadis yang menerima komentar tersebut sebagai beban serius dan terbawa hingga mereka tumbuh dewasa.
Menjelang hari pernikahan, mereka akan berusaha sedemikian rupa supaya calon suami dapat memenuhi kewajiban untuk menyediakan belis, termasuk kerbau. Tetapi bukan berarti setiap upaya berjalan mulus.
Perlambangan belis—yang secara komunal diyakini sebagai simbol untuk mengagungkan perempuan—nyatanya tak selalu sejalan dengan pengalaman individual mereka.
Tak sedikit yang akhirnya menganggap belis sebagai momok.
Tak Punya Suara
Belis merupakan bagian tak terpisahkan dari tata cara pernikahan dalam budaya Manggarai. Wujudnya bisa berupa hewan [kerbau dan kuda] atau uang.
Persiapan pengadaan belis menuntut keterlibatan aktif anggota keluarga dan orang-orang yang dianggap terhormat di sebuah kampung.
Partisipasi mereka dianggap hakiki dalam menimbang belis atau mahar.
Pada saat yang sama, menurut Yohanes Servatius Lon dan Fransiska Widyawati dalam kajian mereka, “telah sejak lama pernikahan di Manggarai diperkenalkan sebagai pendorong kebanggaan dua keluarga.”
Semakin mahal belis, kian bangga pula keluarga kedua calon mempelai.
Belis juga melambangkan semangat gotong-royong, berbagi—melalui pemberian upah bagi semua yang membantu persiapannya—serta keabsahan dan kestabilan pernikahan.
Guna memperkaya perspektif akan peran belis, Yohanes dan Fransiska, keduanya pengajar di Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng turut melakukan tinjauan literatur terhadap empat kajian relevan sebelumnya.
Dalam keempat kajian itu, para perisetnya menggambarkan belis sebagai “simbol penghormatan [‘hiang’, dalam bahasa Manggarai] bagi mempelai perempuan.”
“Penghormatan” itu pada akhirnya turut ditentukan oleh kedudukan sosial keluarga calon mempelai perempuan serta seberapa tinggi pendidikannya.
Dua keluarga dapat menyepakati belis bernilai lebih tinggi bila, misalnya, calon mempelai perempuan baru saja menyelesaikan pendidikan S2 ketimbang S1.
Kendati begitu, tulis Yohanes dan Fransiska, “perempuan Manggarai tak memiliki otonomi dan suara dalam proses perundingan mahar.”
Mahar disepakati dalam perundingan di sela-sela acara pertunangan. Perundingan melibatkan dua keluarga tanpa kehadiran calon mempelai perempuan, yang biasanya menunggu di dalam kamar.
Bagi mereka, pertunangan merupakan saat yang paling tak pasti dari semua rangkaian acara menjelang pernikahan. Beberapa responden yang mereka wawancarai untuk kajian ini mengaku “hanya mengandalkan doa untuk menenangkan diri.”
Mereka akan keluar dari kamar ketika belis sudah tersepakati. Mau tak mau menerima hasil kesepakatan, walaupun timbul reaksi yang terjebak dalam diri.
Alih-alih “dimuliakan” dan dapat menentukan nasib sendiri, mereka sebaliknya merasa kurang dihormati, menderita kecemasan, terkungkung perasaan tidak aman serta frustasi.
Memicu Pertentangan
Di Manggarai, “perempuan acapkali dianggap sebagai ‘orang luar’, yang menggambarkan kurangnya kepedulian akan hak-hak mereka.”
Perempuan “kerap tak mempunyai hak atas diri mereka lantaran diyakini sebagai milik orang tua dan suami.” Pandangan itu kental berasosiasi dengan pembubuhan nilai akan hak-hak perempuan dewasa berdasarkan belis.
Bahkan jauh sebelum menikah, menurut kedua penulis dalam kajian “Bride-Wealth: Is There Respect for Women in Manggarai, Eastern Indonesia?”, gagasan mengenai belis sebagai ukuran penghormatan “selalu ditegaskan dan ditanamkan dalam diri perempuan, sekalipun sedang menghadapi kenyataan yang tak mengenakkan.”
Berusaha menjawab dalil itu, keduanya mewawancarai 40 responden, yang ditandai dengan inisial satu huruf kapital untuk menjaga anonimitas. Semua responden berkesempatan menempuh pendidikan tinggi dan bekerja di kota-kota besar.
Kepada kedua periset, M menceritakan pengalaman traumatis tumbuh dalam keluarga yang ia sebut “ketat.” Ketika saudarinya hendak menikah, sang ayah meminta belis yang baginya mahal.
Tak hanya itu, sang ayah juga melemparkan pertanyaan-pertanyaan intimidatif kepada tunangan saudarinya terkait kesanggupan memenuhi tuntutan belis.
Saudarinya baru lulus pendidikan S1, dan sang tunangan akhirnya gagal memenuhi belis tuntutan keluarganya.
Ayah M marah bukan kepalang. Kemarahannya memperdalam kecemasan M yang tengah melanjutkan studi S2 dan berencana menikah. Artinya tuntutan belis akan lebih mahal ketimbang saudarinya.
Ia didera kekhawatiran berkepanjangan. Sampai-sampai sempat berpikir untuk menyetop pendidikan, ketimbang harus berpisah dengan pasangan lantaran tak sanggup memenuhi belis.
Belum lagi soal tamu undangan.
Suatu pernikahan adat Manggarai lazimnya mengundang 500-1.000 tamu. Biaya turut dibebankan kepada keluarga mempelai laki-laki.
Anggaran bertumpuk tak jarang membuat calon mempelai laki-laki pulang dengan lunglai dari rumah bakal istrinya. Terancam gagal memenuhi kebutuhan belis dan resepsi membuat kecil hati dan, bukan tak mungkin, justru mereka lah yang membatalkan rencana pernikahan.
Dua pertiga dari keseluruhan responden menyatakan “berhasil mencapai hari pernikahan.” Namun, pada hari yang ditunggu-tunggu itu konflik malah sering terjadi antarkeluarga.
Pernikahan, yang seharusnya menjadi hari bahagia, justru bikin frustasi dan memercikkan perdebatan panjang dengan laki-laki yang baru saja berstatus suami mereka.
Seorang responden mengaku harus membatalkan pernikahan lantaran calon suaminya datang dengan hanya separuh belis. Padahal ia sudah berdandan rapi, bersiap menuju gereja yang menjadi tempat pemberkatan pernikahan.
Alih-alih mengucap janji pernikahan, ia justru dikunci di dalam kamar hingga keluarga calon suaminya pulang.
Hingga berpekan-pekan kemudian ia menolak semua kunjungan dari siapa pun. Ia juga sempat menjauhi teman-temannya karena malu dan nyaris depresi.
Untuk memadatkan hipotesis, kedua periset turut menampilkan kembali kasus yang pernah dikaji peneliti lain.
Peter Hagul, seorang peneliti kependudukan yang hasil kajiannya turut disitir kedua periset, pada 2011 mencatat kasus seorang perempuan bunuh diri sesudah kesepakatan belisnya gagal.
Tiga tahun kemudian kasus serupa kembali terjadi.
Kematian keduanya “menjadi bukti mahar yang mahal tak hanya menghancurkan cinta, melainkan juga kehidupan.”
Tempat yang Lebih Layak
Kedua periset menyatakan “para responden sepakat bahwa belis pada akhirnya hanyalah citra sosial.” Sebaliknya, kesepakatan belis justru kerap “mengabaikan perasaan kedua calon mempelai.”
Para responden berharap keluarga tak lagi memandang mereka sebagai objek melainkan subjek. Artinya, keputusan akhir soal belis ada di tangan mereka, bukan di tangan para tetua laki-laki.
Mendengar jawaban-jawaban lugas selama wawancara, keduanya menilai “para responden mewakili perubahan cara pandang perempuan terhadap dirinya dalam komunitas patriarki.”
Sebagai perempuan Manggarai, mereka menyadari tengah hidup dalam dualitas identitas: sebagai individu yang bebas sekaligus bagian dari komunitas.
Dualitas identitas itu menuntut mereka berhati-hati ketika hendak mengatur kehidupannya sendiri. Di lain sisi, mereka juga berkehendak kuat untuk hidup mandiri tanpa melupakan adat-istiadat.
Studi kedua periset juga menunjukkan pendidikan memungkinkan perempuan lebih mengenali diri, menjaga tubuh dan kehidupan, serta menyadari kesetaraan mereka dengan laki-laki dalam suatu hubungan.
Mengacu pada pengalaman pribadi para responden, kedua periset turut merekomendasikan perjanjian belis hendaknya sesuai dengan kemampuan calon mempelai laki-laki. Selain itu belis selayaknya diserahkan ke kedua mempelai—yang baru akan memulai pengarungan bersama—ketimbang keluarga besar.
Tak ingin mengarahkan pembaca untuk serta-merta sepakat pada rekomendasi mereka, kedua periset memungkasi kajiannya dengan suatu pertanyaan: “Namun, mungkinkah [rekomendasi] ini terlalu berlebihan?”
Di tengah-tengah komunitas patriarki seperti Manggarai, tulis keduanya, “sulit membayangkan perubahan ini akan terjadi dalam waktu dekat. Meski begitu, kita harus tetap berharap perempuan akan mendapat tempat yang lebih terhormat dalam masyarakat Manggarai.”