Judul buku: Saksi Mata; Penulis: Seno Gumira Ajidarma; Jumlah halaman: viii + 168; Tahun terbit: 2016 (Cetakan ulang dengan pemutakhiran tiga bab penutup) ; Penerbit: Bentang Pustaka
Judul buku: Jazz, Parfum dan Insiden; Penulis: Seno Gumira Ajidarma; Jumlah halaman: vii + 200 ; Tahun terbit: 1996; Penerbit: Bentang Budaya
Judul buku: Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara; Penulis: Seno Gumira Ajidarma; Jumlah halaman: 120; Tahun terbit: 1997; Penerbit: Bentang Budaya
_______________________________
Berlembar-lembar kertas berserakan di atas meja berlampu remang.
Kertas-kertas itu bertuliskan laporan jurnalistik dari empat reporter yang sebulan sebelumnya meliput ke Dili.
Seno Gumira Ajidarma terus membaca kertas-kertas itu selagi orang-orang berlibur Natal dan Tahun Baru.
“Saat itu akhir 1991,” kata Seno, “saya harus mempersiapkan laporan jurnalistik yang akan terbit untuk tiga edisi majalah Jakarta Jakarta.”
Jakarta Jakarta merupakan majalah mingguan yang menghadirkan berita hiburan dan laporan jurnalistik. Perusahaan media itu tutup pada 1999.
“Majalah bermata dua,” kata Seno, “yang pada masa Orde Baru dibutuhkan guna menyamarkan kerja-kerja jurnalistik.”
Serial laporan jurnalistik yang diolah dan difinalkan Seno itu akhirnya terbit.
“Penerbitannya membuat murka tentara dan penguasa,” kata Seno pada 17 April.
Manajemen Jakarta Jakarta lalu melepaskan Seno dari jabatan redaktur pelaksana–satu tingkat di bawah pemimpin redaksi.
Perlakuan serupa menimpa dua editor yang turut menyunting naskah dari Dili.
“Saya tetap bekerja di Jakarta Jakarta, tetapi kehadiran saya tidak lagi dilihat oleh mereka. Saya seperti ‘tidak ada,’” katanya.
Ia merasa “diinjak-injak kedunguan” yang lalu mendorongnya untuk melawan.
“Cacing diinjak-injak saja menggeliat, apalagi manusia,” katanya.

Penembakan Massal di Pekuburan
34 tahun silam Dili berstatus ibu kota Timor Timur. Wilayah bagian timur Pulau Timor itu berganti nama Timor Leste setelah merdeka dari Indonesia pada 20 Mei 2002.
Desakan memerdekakan diri dari Indonesia mulai memuncak pada Oktober 1991.
“Tak banyak wartawan nasional yang meliput selagi jurnalis asing berdatangan ke Pulau Timor,” alasan yang mendorong Seno mengirim keempat reporter ke Dili.
Mula-mula ia mengirim dua reporter, laki-laki dan perempuan.
Setelah Seno membaca laporan keduanya dari lapangan, “saya merasa hasilnya kurang mendalam. Banyak yang ‘bolong.’”
“Bolong” yang disebutkannya mengacu pada ketiadaan pernyataan narasumber kunci di Dili.
Ia lalu mengutus dua reporter lain. Keduanya perempuan.
Kedua reporter yang pergi belakangan dipilih Seno lantaran “memiliki daya tembus narasumber yang baik.”
Pada 12 November 1991 pecah insiden di Dili yang lalu dikenal sebagai “Tragedi Santa Cruz.”
Peristiwa itu menandai serentetan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk penembakan massal terhadap demonstran pro-kemerdekaan Timor Leste.
Penembakan terjadi usai prosesi pemakaman aktivis pro-kemerdekaan, Sebastiao Gomes di pekuburan Santa Cruz.
Ia ditembak mati personel tentara Indonesia yang kala itu bernama ABRI.
Selain hendak menabur bunga, ribuan warga pro-kemerdekaan turut berdemonstrasi di pekuburan Santa Cruz.
Ketika demonstran beramai-ramai memasuki pekuburan, personel ABRI yang bersiaga di sekitar permakaman tiba-tiba menembaki mereka.
Kedua reporter Jakarta Jakarta berada di sana. Mereka menuliskan segala yang terjadi di pekuburan itu dan hal-hal selepasnya.
Dari Jakarta, Seno mengarahkan mereka turut mewawancarai tim investigasi independen.
Dalam wawancara, kedua reporter menemukan korban meninggal dalam penembakan massal itu berjumlah lebih dari 200 orang.
Jumlah tersebut jauh melampaui klaim pemerintah Orde Baru yang menyatakan 19 korban meninggal di pekuburan Santa Cruz.
Seno memfinalkan tulisan sesuai hasil wawancara kedua reporternya dengan tim investigasi independen, menerbitkan cerita itu dan akhirnya membuat ia merasa tak lagi ada.
Menyamarkan Tulisan Jurnalistik
Seno tak sekalipun membagikan laporan jurnalistik dari Dili kepada siapapun hingga akhirnya terbit.
“Tak perlu semua orang mengetahui seluk-beluk kehidupan kita hari ini. Itulah kearifan yang diajarkan pekerjaan ini padaku,” tulis Seno dalam Jazz, Parfum dan Insiden.
Buku setebal 200 halaman itu merupakan seri kedua Trilogi Insiden yang ditulisnya usai pelepasan status di Jakarta Jakarta.
Jazz, Parfum dan Insiden dibagi menjadi 25 bab yang ditutup epilog berupa tujuh halaman surat.
Trilogi Insiden dibuka dengan Saksi Mata dan dipungkas lewat Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara.

Dalam trilogi itu, Seno tak pernah secara gamblang menyebut “Timor Timur.”
Meski begitu, ia memberi petunjuk lewat penamaan tempat dan tokoh yang khas Portugis. Misalnya Domingo, Fernando, Salvador dan Evangelista.
Bangsa Portugis menduduki Timor Timur selama lebih dari 300 tahun. Timor Timur merdeka dari Portugis pada 1975, sebelum setahun kemudian diinvasi oleh Indonesia.
Seno juga berkali-kali menempatkan pekuburan dan November sebagai titik cerita dalam triloginya, yang mengantarkan pembaca pada insiden Santa Cruz.
“Pada jam pelajaran sejarah, Guru Alfonso membawa murid-murid kelas VI ke tempat itu. Angin November bertiup kencang, menggugurkan dedaunan yang melayang-layang turun ke pekuburan,” tulisnya pada halaman 65 Saksi Mata.
Di sana sejumlah murid mengajukan pertanyaan beranak pinak yang membuat Guru Alfonso sampai menghela napas.
“Semua itu ialah pertanyaan yang jujur. Tapi betapa menyulitkannya menjawab pertanyaan secara jujur,” kata Seno melalui Guru Alfonso.
Seno mengaku tak ingin melekatkan fiksi atau fakta pada triloginya. Seperti ia tulis pada sampul belakang Jazz, Parfum dan Insiden: “Mau disebut fiksi, boleh. Mau dianggap fakta, terserah.”
Yang pasti “saya menulis itu guna meloloskan cerita jurnalistik pada suatu masa yang kelam.”
Penyensoran media marak terjadi dalam rezim Orde Baru. Selain pembredelan terhadap kantor media, polisi dan tentara juga mencari-cari jurnalis yang dianggap kritis.
Seno berusaha menyamarkan peristiwa, nama dan tempat melalui tulisan bergaya sastra.
“Saya tahu tentara tak baca sastra,” katanya, “sehingga saya merasa sedikit lebih aman.”
Menggugah Empati
Seno bukannya tiba-tiba memutuskan melawan lewat tulisan.
Ia lebih dulu membaca ulang karya sejumlah penulis yang menurutnya “turut menyamarkan kisah-kisah insiden.”
Rujukannya jatuh pada beberapa karya Karl May, penulis Jerman yang melahirkan serangkaian buku kisah penjelajahan.
Karl May banyak bercerita soal para pemukim pertama Amerika. Mereka yang kerap keliru disebut suku-suku Indian itu menghadapi tragedi kepunahan karena beberapa alasan, termasuk kekuatan senjata serta desakan pendatang dari Benua Eropa.
“Kebudayaan para pemukim pertama itu terhapus,” tulis Seno, “dan para pembaca yang paling sabar pun tak bisa menutupi kemarahan akan penindasan yang mereka hadapi.”
Catatan itu dibacakan Seno dalam acara “Penghormatan kepada Karl May” di Goethe Institut Jakarta pada 5 April 2003.
Kegiatan di pusat kebudayaan Jerman itu digelar sebagai bagian dari penerbitan Winnetou I: Kepala Suku Apache. Buku tersebut merupakan versi bahasa Indonesia dari Winnetou I, karya Karl May yang terbit pada 1892.
Seno mengirimkan enam halaman naskah itu kepada saya pada 18 April, lengkap dengan catatan kaki.
Sebagai pembaca karya Seno maupun Karl May, kiriman catatan itu tentu terasa istimewa untuk saya.
Apalagi semenjak sekitar 15 tahun silam, saya kerap bertanya-tanya siapa atau apa yang meneguhkan Seno menulis Trilogi Insiden.
Membaca dan menelusuri catatan kaki naskah itu sempat membuat saya tertegun.
Bayangkan, ia berkemauan meriset, lalu menuliskan kutipan dan sumber relevan sebagai catatan kaki selagi naskah itu barangkali hanya dibagikan ke peserta diskusi terbatas.
Setiap kali menulis, katanya, “saya selalu berusaha melakukan pendalaman.”
“Saya tak ingin menghadirkan tulisan yang dangkal, seberapa sedikit atau banyak pembacanya,” kata Seno yang lahir dan tumbuh di Boston, negara bagian Massachusetts, Amerika Serikat.
Dalam karya Karl May, Amerika dikisahkan sebagai tanah kelahiran Winnetou–seorang Indian Apache yang senang membaca buku puisi.
Di tengah-tengah upaya pemusnahan tanah leluhurnya, Winnetou bersahabat dengan orang kulit putih bernama Old Shatterhand.
Meski fiktif, Winnetou mampu memikat banyak pembaca lantaran kecerdasan dan cara hidupnya.
Melalui Winnetou, kata Seno, “Karl May ingin menunjukkan bahwa perjuangan tak harus berlangsung dengan cara yang dikehendaki banyak orang.”
Ia meruntuhkan arogansi peradaban yang mengancam para pemukim pertama dengan berani membicarakan luka kaumnya.
“Jasa penting Karl May, saya kira, adalah menggugah empati kepada golongan tertindas yang akan membuat pembaca Indonesia berempati kepada golongan tertindas manapun, terutama (mudah-mudahan) di Indonesia sendiri,” tulisnya kemudian.
Trilogi Pergulatan Hidup
Trilogi Insiden merupakan bentuk perlawanan Seno terhadap ketidakadilan terhadap dirinya sebagai jurnalis.
“Setiap kalimat di dalamnya ialah pergulatan hidup saya,” kata lelaki 66 tahun itu.
Seno pertama kali ke Timor Timur pada 1994. Seperempat abad kemudian ia kembali ke sana.
Ia menolak anggapan orang-orang yang menyebut perlawanannya “heroik.”
Sebaliknya, “ini soal naluri alamiah.”
“Peristiwa yang saya alami, tanpa merujuk lembaga apapun, saya anggap merupakan keangkuhan kekuasaan, yang begitu tidak rela terusik meski melakukan kesalahan,” tulis Seno dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara.
Ia mengingatkan tragedi Santa Cruz “tidak bisa dilupakan. Ia sama pentingnya dengan berita sepenting apapun pada hari ini.”
Kita mungkin bisa kehilangan lidah. Mungkin kehilangan penglihatan. Mungkin kehilangan nyawa ketika yang lain sedang menggugat ketidakadilan.
“Itulah yang terjadi di sekitar pekuburan Santa Cruz,” kata Seno yang menyelesaikan studi doktoral di Universitas Indonesia.
Bila mengutip Karl May, “orang-orang asing itu datang dengan senyum manis di wajah, tetapi menyelipkan pisau tajam di pinggang serta senjata api yang siap ditembakkan. Mereka menjanjikan cinta kasih dan perdamaian, tetapi menebar kebencian dan pertumpahan darah.”
Jurnalisme yang Berkabut
Membaca Trilogi Insiden sungguh mengusik hati sekaligus menguras energi.
Ketiganya turut menyadarkan saya bahwa dunia ini tidak baik-baik. Diam sebaiknya tak menjadi pilihan.
Seno berusaha menjembataninya dengan kisah-kisah soal jazz dan parfum yang bagi saya jeda untuk menarik napas.
Salah satunya ia ceritakan lewat seorang jurnalis yang telah berhari-hari membaca laporan wawancara dengan para saksi mata.
Jurnalis itu kelelahan. Ia lalu menghubungi temannya, seorang perempuan, yang selama ini menjadi tempatnya bisa berdebat sekaligus mencurahkan kegelisahan.
Mereka bertemu di sebuah kafe kesukaan keduanya. Kafe itu bukan tempat yang ingar-bingar. Musiknya terlantun dari seorang perempuan yang bernyanyi sembari memainkan piano di sudut kafe.
Secarik kertas dan sebuah bolpoin berada di atas setiap meja pengunjung, yang salah satunya mereka tempati.
“Kamu mau lagu apa? Biar kutuliskan,” kata jurnalis itu.
“Misty,” teman perempuannya menjawab.
Pada 1954, pianis Erroll Garner merekam Misty secara instrumental. Beberapa tahun kemudian Johnny Burke melengkapinya dengan lirik. Hingga hari ini Misty dinyanyikan sejumlah musisi jazz dunia.
Iramanya bergema hingga kafe-kafe pinggir kota, termasuk yang didatangi jurnalis dan teman perempuannya itu.
Seiring lantunan Misty, jurnalis itu mulai mengeluarkan unek-uneknya.
“Belakangan ini jurnalisme ibarat prairi yang di atasnya tumbuh tanaman berbunga, tetapi ditutupi rumput liar,” tulis Seno.
Fakta-fakta telah dimanipulasi menjadi berita “manis” yang bisa dijual.
“Namanya insiden, ya, insiden. Bahwa itu kejam, mengerikan dan menghilangkan nyawa, memang. Mengapa pemberitaannya mesti diperhalus?,” kata Seno.
Menurutnya jurnalisme telah kehilangan makna ketika tak berpihak pada mereka yang tertindas dan menderita.
“Ia menjadi ruang kosong ketika tak mengusahakan harkat dan martabat manusia,” katanya.
Jurnalisme yang berkabut.
Editor: Ryan Dagur