Fenomena Romo Patris Allegro: Antara Kebebasan dan Bijak Bicara Ajaran Agama Lain di Ruang Publik

Imam Katolik di Keuskupan Agung Kupang itu rutin menggunakan media sosialnya untuk melancarkan kritik terbuka pada ajaran Protestan

Floresa.co – Romo Patris Allegro populer karena rutin menggunakan platform media sosial untuk bicara soal perbedaan ajaran Katolik dan Protestan.

Imam Katolik bernama asli Patris Neonnub itu mengunggah pernyataan-pernyataannya dalam bentuk teks dan video di Facebook, TikTok, Instagram maupun kanal YouTube pribadinya.

Pada awal bulan lalu, ia dilaporkan oleh sekelompok orang yang menamakan diri Forum Ormas NTT Bersatu. Laporan ke Direktorat Siber Polda NTT itu terkait dugaan penistaan agama.

Namun, imam itu tak gentar, membela aksinya sembari terus rutin mengunggah pernyataan dan video lainnya. 

Dalam sebuah unggahan di Facebook pada 4 Agustus, beberapa hari usai pelaporan itu, ia menolak tudingan pelapor. Ia malah mempertanyakan standar ganda dalam menanggapi kritik antariman.

“Pernyataan seperti ‘Protestan adalah versi busuk dari Katolik’ memang tidak nyaman didengar,” tulisnya, “tapi tidak semua yang tidak nyaman adalah kebencian.” 

Ia membandingkan gaya retorisnya dengan Martin Luther, tokoh reformasi Protestan yang dalam sejarah kerap melontarkan kritik tajam terhadap Gereja Katolik, termasuk menyebut paus sebagai antikristus.

“Ketika Protestan mengkritik Katolik, itu dianggap kebebasan profetis. Tapi ketika Katolik membalas dengan gaya bahasa yang serupa—langsung dikemas sebagai ‘penistaan.’ Hebat, bukan? Kritik Protestan jadi nabi, kritik Katolik jadi tersangka,” lanjutnya.

Pada salah satu unggahan lainnya di Facebook pada 5 Agustus, ia juga merespons pertanyaan warganet soal kapasitasnya mengkritisi ajaran Protestan.

Patris merespons dengan menyebut pertanyaan tersebut muncul bukan dari rasa ingin tahu yang tulus, melainkan dari nada meragukan dan cenderung meremehkan.

Dalam unggahan lainnya, ia juga merespons para pendeta Protestan yang mengkritiknya lewat khotbah di gereja. Salah satunya adalah khotbah pendeta bernama Decky, yang menyebut bahwa devosi umat Katolik kepada Maria hanyalah bentuk “pemujaan berlebihan” dan tidak sesuai ajaran Alkitab. 

Dalam video berjudul “Romo Patris Allegro Bongkar Kesalahan Pendeta Decky…, ia menekankan bahwa penghormatan kepada Maria dalam Katolik bukanlah pemujaan, melainkan pengakuan atas perannya sebagai Bunda Allah.

Bentuk Kebebasan, Bukan Pelanggaran Hukum

Patris Allegro adalah imam Katolik di Keuskupan Agung Kupang yang berbasis di Pulau Timor. Keuskupan itu mencakup wilayah administratif Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan dan Alor.

Ia juga dosen filsafat di Seminari Tinggi Santo Mikael Kupang dan pernah menjadi Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Agung Kupang.

Floresa meminta komentar pegiat isu hak asasi manusia atau HAM dan kebebasan beragama soal fenomena aksi imam itu, yang dengan alasan apologetik membicarakan ajaran agama lain di ruang publik.

Andreas Harsono, peneliti dari Human Rights Watch, lembaga advokasi HAM berbasis di New York menyebut aksi Patris dan perdebatannya dengan kelompok Protestan adalah sah-sah saja.

“Kalau mau berdebat soal agama, ya debat saja,” kata Andreas.

Ia menyebut, perdebatan Katolik dan Protestan sudah ratusan tahun dan tidak pernah selesai. 

“Jadi tidak ada yang bisa final,” katanya.

Hal yang menurutnya membuat imam itu agak keliru ketika muncul tendensi klaim bahwa agamanya yang paling benar dan yang lain salah. 

“Namun, selama dia tidak membunuh orang, tidak menyulut kekerasan, tidak membubarkan persekutuan agama, itu bukan masalah hukum,” ujar Andreas.

Baginya, persoalan utamanya justru terletak pada kultur pelaporan berbasis kriminalisasi, sebagaimana yang dilakukan Forum Pemuda NTT Bersatu menanggapi diskursus soal agama.

“Kalau aparat terus menanggapi laporan seperti ini, justru ruang demokrasi kita makin menyempit. Polisi sebaiknya tidak menggubris laporan-laporan semacam itu,” katanya.

Ia menyatakan, pelaporan terhadap Patris memperlihatkan “problem lama dalam hukum Indonesia yang belum pernah tuntas diatasi.”

Ia menjelaskan, dasar hukum yang dipakai dalam kasus dugaan penodaan agama adalah Pasal 156A KUHP yang lahir dari Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 yang diteken Soekarno. 

Aturan itu awalnya ditujukan untuk meredam ketegangan antaragama pada masa Demokrasi Terpimpin, namun kemudian dimasukkan ke dalam KUHP. 

Pasal itu berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, diancam pidana.”

Menurut Andreas, formulasi pasal ini sejak awal bermasalah karena sangat terbuka untuk ditafsirkan sewenang-wenang. 

“Bagaimana kita bisa mengukur apakah Tuhan merasa ternodai atau tidak dan siapa yang berhak mewakili Tuhan untuk menilainya?” katanya.

Ia menambahkan, pasal ini hampir tidak digunakan pada masa Orde Baru karena rezim Soeharto lebih mengandalkan kontrol politik dan represif secara langsung. Setelah reformasi, terutama di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), penggunaannya melonjak. 

“Di zaman SBY, ada 128 orang dipenjara karena pasal penodaan agama, dan di era Jokowi jumlahnya bahkan lebih banyak,” katanya kepada Floresa pada 27 Agustus.

Andreas mengingatkan, sudah ada tiga kali upaya mencabut pasal itu, termasuk melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi pada 2010. 

Kala itu, sejumlah tokoh masyarakat sipil, termasuk yang dekat dengan Presiden Abdurrahman Wahid, menilai pasal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama. Namun, MK menolak dengan alasan menjaga harmoni sosial. 

Padahal, kata Andreas, “menurut standar internasional, negara yang betul-betul menjamin kebebasan beragama tidak memiliki pasal penodaan agama.”

Ia mengklaim di banyak negara demokratis perdebatan antariman dianggap bagian wajar dari dinamika kebebasan berekspresi. 

Dalam konteks kasus Patris, kata dia, yang semestinya ditonjolkan bukanlah kriminalisasi, melainkan ruang untuk saling menguji argumen. 

“Media sosial adalah ruang yang sah bagi siapapun untuk menyampaikan pandangan, termasuk soal agama. Banyak orang di Indonesia bicara soal agama di ruang publik. Masa Patris Allegro tidak boleh?” katanya.

Tantowi ‘Thowik’ Anwari, Manajer Advokasi di Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) menyatakan, pandangan keagamaan, termasuk tafsir, dogma, maupun keyakinan personal, dijamin oleh konstitusi. 

“Jadi seharusnya, itu sah-sah saja, begitu pula dalam kaitannya dengan (penggunaan) media sosial,” katanya kepada Floresa pada 27 Agustus.

Ia menyatakan, reaksi keras dan pelaporan pidana dalam kasus ini justru memperlihatkan rendahnya kedewasaan dalam memahami konsep kebebasan beragama.

“Seharusnya disikapi lebih dewasa, bukan dengan kriminalisasi,” katanya.

Thowik juga menyoroti kecenderungan melabeli pernyataan Patris sebagai hate speech, istilah yang “kerap digunakan secara longgar di Indonesia.”

“Padahal, hate speech itu kan praktik yang secara sengaja memprovokasi untuk melakukan kekerasan fisik atau menyerang langsung kelompok tertentu. Itu berbeda dengan sekadar menyatakan pandangan iman,” jelasnya.

Tantangannya, kata dia, justru ada pada kedewasaan masyarakat dalam menerima kritik dan perbedaan. 

Bijak Bicara di Ruang Publik

Kendati tidak mempersoalkan ekspresi Patris, Thowik juga menekankan soal bijak dalam menyampaikan sesuatu di ruang publik.

Ia menekankan bahwa ketika seorang imam atau tokoh agama menyampaikan khotbah atau ceramah yang dapat diakses publik, idealnya dilakukan dengan cara yang lebih inklusif, yang menghargai pihak lain.

“Kalau itu di dalam gereja, bersifat internal, tidak dibagikan ke publik, maka sah saja sebagai bagian dari penguatan iman,” katanya.

Namun, “kalau ke ruang publik, sebaiknya membangun penghormatan atas satu dengan yang lain, menghormati perbedaan-perbedaan dan tidak memaksakan apa yang diyakini untuk diyakini orang lain.”

Ia berkata, idealnya, “dibarengi kesadaran bahwa pernyataan itu bisa menjadi pintu dialog, bukan klaim kebenaran mutlak.”

Bonar Tigor Naipospos, peneliti yang pernah menjadi Wakil Ketua Setara Institute for Democracy and Peace menilai tindakan imam itu penting ditempatkan dalam konteks memahami kebebasan beragama secara utuh. 

Ia berkata, kebebasan itu mencakup dua ranah: forum internum dan forum externum.  

Sementara forum internum mencakup hal-hal yang bersifat batiniah dan melekat pada keyakinan atau ajaran yang dianut seseorang, forum externum meliputi praktik lahiriah seperti membangun rumah ibadah, berkumpul dan menjalankan ritual bersama. 

Menurutnya, persoalan sering muncul ketika ranah forum externum—yang berada di ruang publik—bersinggungan dengan pandangan atau tafsir berbeda di antara para pemeluk agama. 

Dalam kondisi seperti itu, katanya, reaksi yang muncul kerap emosional dan berujung pada pelabelan negatif. Dampaknya adalah mempersempit ruang dialog antarumat beragama. 

Ia juga menyoroti pentingnya bijak menggunakan media sosial, sesuatu yang kini menjadi sumber alternatif pengajaran agama, menggantikan peran eksklusif pemimpin keagamaan di ruang ibadah. 

“Sekarang orang belajar agama tidak hanya dari pendeta atau pastor di gereja, tetapi juga dari YouTube atau platform lain,” katanya.

“Kita sedang hidup di era di mana otoritas keagamaan tidak lagi sepenuhnya berada di mimbar, melainkan bersaing dengan narasi populer yang dibentuk oleh algoritma,” tambahnya.

Namun, ia memberi catatan bahwa algoritma media sosial bisa membuat orang terjebak pada satu pandangan saja, menutup diri pada pandangan berbeda.

Fenomena ini, lanjut Bonar, tidak bisa dilepaskan dari konteks masyarakat digital yang rentan terjebak dalam “filter bubble” — situasi ketika seseorang hanya terpapar informasi yang menguatkan pandangan yang sudah dimiliki, sementara pandangan yang berbeda dianggap asing atau bahkan ancaman. 

Dalam kerangka ini, kata dia, perdebatan agama di media sosial sering kali tidak berangkat dari upaya memahami, melainkan membenarkan diri sendiri. 

Hal itu juga kian menantang karena perkembangan teknologi digital yang masif telah menciptakan tantangan baru di tengah masyarakat yang semakin terjebak dalam arus pasca kebenaran atau post-truth. Salah satu gejala era ini adalah emosi dan opini pribadi lebih berpengaruh ketimbang fakta objektif.

Karena itu, ia mengingatkan bahwa di tengah arus informasi yang cepat dan tak terbatas, para pemimpin agama harus lebih cermat dalam menyampaikan ajaran. 

“Pemimpin agama perlu memahami bahwa media sosial itu bisa membentuk keyakinan umat secara signifikan. Karena itu, mereka harus lebih matang, rendah hati dan menghindari sarkasme atau pernyataan yang bisa memicu konflik,” katanya. 

Menurutnya, setiap penyampaian pandangan—terutama yang menyentuh ajaran agama lain—perlu disertai kerendahan hati. 

“Dimensi etis mengandaikan kesadaran bahwa apa yang kita sampaikan bisa saja benar, bisa saja salah,” katanya. 

Karena itu, penyampaian pandangan “lebih baik dibuka sebagai undangan untuk berpikir bersama, bukan sebagai klaim kebenaran mutlak yang menutup pintu dialog.” 

Ia memberi catatan, fenomena Romo Patris menjadi pengingat bahwa menjaga harmoni tidak hanya soal membiarkan perbedaan di tataran praktik, tetapi juga menghargai keragaman pada tataran pemikiran dan keyakinan yang lebih mendalam.

Bagi Bonar, tantangan terbesar saat ini adalah membangun sikap toleran, baik di tingkat praktik maupun konsep, agar masyarakat dapat hidup berdampingan dalam keragaman tanpa mudah menghakimi perbedaan.

Tantangan tersebut menuntut strategi komunikasi keagamaan yang lebih dialogis, lintas ruang dan berbasis literasi digital.

Dengan demikian, kata Bonar, “keragaman tetap menjadi kekuatan bersama, bukan sumber perpecahan.”

Floresa meminta tanggapan Patris Allegro pada 30 dan 31 Agustus untuk laporan ini. Pertanyaan fokus pada responsnya atas komentar di media sosial serta laporan yang menilai ucapannya sebagai penghinaan terhadap agama lain.

Floresa juga menyinggung catatan aktivis soal perlunya kebijaksanaan ketika berbicara soal agama lain di ruang publik agar tidak kontraproduktif bagi relasi antaragama.

Namun, hingga berita ini diterbitkan, ia tidak merespons. Pesan yang dikirim melalui WhatsApp bercentang dua, tanda telah sampai kepadanya.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA