Floresa.co – Kasus penganiayaan yang menewaskan Prada Lucky Chepril Saputra Namo di Kabupaten Nagekeo, NTT menjadi bahan evaluasi serius demi memutus kultur kekerasan dalam tubuh institusi militer.
Bivitri Susanti, akademisi dan pakar hukum tata negara menilai, kultur kekerasan membuat peristiwa penganiayaan tidak hanya marak terjadi, tetapi juga “dianggap wajar” di lingkungan institusi tentara.
Kecenderungan itu, kata pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu kepada Floresa, juga menjadi “masalah utama dalam relasi antara aparatur bersenjata dengan masyarakat sipil.”
Lucky, 23 tahun, tentara dari Batalyon Teritorial Pembangunan (TP) 834 Waka Nga Mere, tewas pada 6 Agustus usai dilaporkan dianiaya rekan-rekannya.
Pengusutan kasus berujung penetapan tersangka 20 tentara, termasuk salah satu atasan Lucky yang berpangkat perwira.
Menurut petugas Rumah Sakit Umum Daerah Aeramo, Kabupaten Nagekeo yang mengurus jenazah Lucky, beberapa luka sayat dan lebam tampak di tubuhnya.
Selain itu, ada bekas luka akibat sundutan rokok di bagian pada punggung.
Sersan Mayor Christian Namo, ayah Prada Lucky yang juga anggota TNI sempat meluapkan amarah dalam video yang beredar luas di media sosial.
Selain karena kematian anaknya, ia jua berang terhadap dua rumah sakit di Kupang — RS Wirasakti milik TNI dan RS Bhayangkara milik Polri — yang menolak otopsi jenazah.
Warisan yang Dianggap “Wajar” dalam Institusi Tertutup
Bivitri berkata, kultur kekerasan bukan hanya sesuatu yang khas dalam tubuh TNI, tapi jamak terjadi dalam institusi lain yang tertutup dan tidak transparan.
Di institusi militer, kata dia, karena banyak bekerja secara fisik dan “kekuatan fisiknya harus terjamin, seakan-akan (kekerasan) makin terlegitimasi.”
Sementara di institusi kepolisian, kendati yang bukan lagi bagian dari angkatan bersenjata, mereka juga terus memelihara kultur kekerasan karena ketertutupannya.
Dalam institusi yang tertutup, kata dia, tidak terdapat kewajiban atau tuntutan transparansi dan sistem pengawasan yang terbuka.
Hal ini berbeda dengan di beberapa negara lain di mana ada jalur yang lumayan akuntabel, termasuk dalam kekerasan di institusi militer.
“(Ketika ada) pengaduannya, bisa distop dari awal sehingga dalam titik tertentu juga tidak sebrutal (kasus) di NTT itu,” katanya.
Bivitri menyoroti kronologi penyiksaan yang menyebut Lucky sempat kabur ke rumah kerabatnya di Nagekeo dan memberi tahu soal kekerasan yang terjadi.
Ia lalu mendapatkan perawatan luka-lukanya. Namun atasan Lucky yang mengetahui keberadaannya menjemput dia di rumah tersebut, lalu kembali menganiayanya di barak.
Menurut Bivitri, tidak adanya sistem pengawasan yang jelas memberi kesan kematian Lucky karena “ada pembiaran dari atasannya.”
Kalau mekanismenya berjalan, kata dia, mestinya setelah keluarga Lucky tahu kasus itu, bisa diadukan dan kekerasan stop.
“Paling tidak (ia hanya) luka-luka, tidak sampai meninggal,” katanya.
Sementara itu, Arif Maulana dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai kultur kekerasan bukan lagi merupakan rahasia umum, melainkan fakta dalam institusi militer dan institusi lainnya yang menggunakan pendekatan serupa.
“Rata-rata sekolah kedinasan yang menggunakan pendekatan militer atau semi-militer, misalnya kurikulum semi militer, praktik dan kultur kekerasan kerap terjadi,” katanya kepada Floresa.
Ia mencontohkan peristiwa kematian seorang taruna di Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang karena dianiaya saat proses pembinaan yang semi-militer pada Mei tahun lalu.
Padahal, kata Arif, kultur kekerasan adalah warisan buruk yang diturunkan sejak era kolonial hingga masa kepemimpinan Presiden Soeharto atau era Orde Baru.
Ancaman untuk Masyarakat Sipil
Dandhy Laksono, aktivis dan produser film dokumenter bertema demokrasi dan kebebasan sipil berkata, kasus Lucky terjadi karena institusi tentara memegang konsep “monopoli kekerasan.”
Hal tersebut mendorong TNI dan polisi merasa wajib menegakkan hukum dan ketertiban dengan pendekatan kekerasan, hal yang dalam pengalaman justru mengancam keselamatan masyarakat sipil.
“Budaya kekerasan di polisi dan TNI akhirnya akan jadi bumerang bagi mereka sendiri,” katanya, karena “selama ini korbannya banyak sipil.”
Dandhy berkata, monopoli kekerasan dalam institusi-institusi itu ternyata “hanya menciptakan kekacauan baru,” terutama karena “disertai impunitas, tanpa pertanggungjawaban, profesionalisme dan moralitas yang besar.”
Menurut Arif Maulana, TNI sebagai alat kekerasan negara ditugaskan untuk “melindungi pertahanan” dan “tugas pokok mereka sebetulnya berperang untuk menjaga kedaulatan wilayah.”
“Yang mengerikan, sejarah sudah mencatat bahwa kekerasan, kejahatan HAM yang dilakukan negara terhadap masyarakat itu dilakukan oleh tentara atau aparat bersenjata,” katanya.
Hal tersebut misalnya terjadi dalam peristiwa pelanggaran HAM yang hingga kini tak kunjung tuntas diselesaikan, “seperti peristiwa Semanggi I dan II, kejahatan HAM di Lampung, Aceh dan Papua hari ini.”
Hal senada disampaikan Arkadeus Trisno Anggur, mahasiswa Universitas Katolik St. Paulus Ruteng, Kabupaten Manggarai.
Ia menilai kehadiran tentara dan polisi di tengah masyarakat sejauh ini “lebih banyak melibatkan kekerasan, bahkan dalam berhadapan dengan masyarakat adat.”
“Kasus kekerasan yang dialami Prada Lucky adalah sesuatu yang tidak mengherankan,” kata Trisno, yang juga anggota komunitas masyarakat adat Poco Leok dan tengah berjuang menolak proyek geotermal.
Ia berkata, kekerasan terhadap Lucky adalah “representasi dari kebiasaan tentara melakukan kekerasan, sehingga itu bisa saja merupakan yang wajar.”
“Itu salah satu saja yang mungkin viral karena kebetulan ayah Lucky juga tentara, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa banyak kasus lain yang tertutup,” katanya.
Yohanes Quintus Bata Wara, mahasiswa asal Flores yang tengah studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Surabaya menilai pola yang sama dengan penyiksaan Lucky juga kerap terjadi di ranah sipil.
“Entah berseragam loreng atau cokelat, mereka sering mengandalkan kekuatan fisik dan intimidasi untuk menyelesaikan masalah,” katanya.
“Di pasar, di jalan, bahkan di ruang demonstrasi mahasiswa, respons represif kerap jadi pilihan pertama, bukan dialog atau penegakan hukum yang adil,” tambahnya.
Kematian Lucky, kata Quintus, hanyalah “puncak gunung es dari kultur militeristik yang juga merembes ke hubungan aparat dengan masyarakat.”
“Di tanah Flores yang kecil namun sarat harga diri, melihat anak daerah sendiri tewas di tangan sesama prajurit menorehkan luka mendalam,” katanya.
Luka itu “bukan hanya bagi keluarga korban, tapi juga bagi kami yang selama ini berharap TNI adalah rumah yang aman bagi putra-putri bangsa.”
Ragu dengan Peradilan Militer
Menurut Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, penyidik menyiapkan sejumlah pasal untuk menjerat 20 tersangka kasus ini.
Selain Pasal 170 KUHP tentang kekerasan bersama, juga Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, Pasal 354 KUHP tentang penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan Pasal 131 dan Pasal 132 KUHPM (pidana militer) yang mengatur tindak kekerasan dan kelalaian atasan dalam dinas militer.
Kendati demikian, Arif Maulana pesimis kasus ini dapat diselesaikan secara adil, apalagi ditangani oleh pengadilan militer.
Dari berbagai pengalaman, kata dia, ada kekebalan “terhadap aparat militer yang melakukan kejahatan.”
“Itu kerap terjadi, terutama untuk mereka yang punya jabatan penting,” katanya.
“Kita tahu TNI ini sistemnya komando, makin tinggi pangkat, makin sulit diadili. Kalau diadili di sana, pasti akan menghadapi tembok impunitas, akan ada diskriminasi,” lanjutnya.
Menurutnya, secara hukum kasus ini sebenarnya berkaitan dengan tindak pidana umum, yakni penganiayaan – sama seperti pencurian, penggelapan atau korupsi dan perdagangan orang.
Karena itu, “mestinya diadili di peradilan umum,” kaa Arif.
Dalam negara demokrasi, kata dia, prinsip yang berlaku adalah semua kejahatan harus diadili secara sipil, karena “peradilan militer itu berkaitan dengan lingkup kedinasan militer, kejahatan perang atau pelanggaran yang sifatnya militer.”
Ia juga berkata Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sudah cukup memberi petunjuk bahwa tentara “harus berada di bawah otoritas sipil dan ketika ada kejahatan harus diadili peradilan umum.”
Hal senada juga dikatakan Bivitri Susanti.
“Kalau sampai pembunuhan begini harusnya masuk ke pengadilan umum,” katanya.
Ia berkata, UU Nomor 34 tahun 2004 menegaskan fokus objek peradilan pada “tindak pidana” yang dilakukan, bukan jabatan seseorang.
“Jadi, tidak bisa dilihat jabatannya, apakah tentara atau bukan,” katanya.
Namun, kata dia, kendala utama implementasinya adalah bunyi salah satu ayat yang menyebut harus ada perubahan terlebih dahulu atas “UU tentang Peradilan Militer tahun 1999.”
“Karena kita punya aturan main seperti ini, larinya ke peradilan militer juga,” katanya.
Padahal, “yang benar secara konsep hukum tata negara, termasuk UU TNI pun, bukan (soal) status orangnya, tapi tindak pidananya.”
“Prinsipnya persamaan di muka hukum,” kata Bivitri.
Perlu Reformasi Besar-Besaran
Quintus berkata, kasus Prada Lucky seharusnya membuat TNI dengan sendirinya berbenah.
Ia berharap ada “perubahan yang nyata, bukan sekadar pernyataan duka atau hukuman seremonial tetapi pembenahan mendasar pada cara aparat dididik, diawasi dan bertanggung jawab di depan hukum.”
“Tanpa itu, kepercayaan rakyat akan terus terkikis dan luka seperti ini akan terus menganga di hati kami masyarakat Flores,” katanya.
“Kasus-kasus ini semoga jadi renungan serius di kalangan TNI maupun Polri, bagaimana perasaan korban dan keluarga yang menjadi korban kekerasan atau pembunuhan di luar hukum, dari Aceh hingga Papua,” kata Dandhy Laksono.
Arif Maulana berharap Presiden Prabowo dan DPR terlibat aktif dalam evaluasi terhadap TNI.
“Harus ada reformasi terkait dengan soal paradigma pembinaan pendidikan di lingkungan TNI yang mengedepankan prinsip HAM,” katanya.
Sementara Bivitri berkata satu-satunya cara memutus mata rantai kekerasan dalam institusi itu adalah penyelesaian secara sistemik dan institusional.
“TNI harus segera bikin mekanisme yang memungkinkan pencegahan dan mesti benar-benar mendorong UU tentang peradilan militer, supaya perilaku seperti ini diadili di pengadilan umum,” katanya.
Elkelvin Wuran dan Dominiko Djaga berkolaborasi mengerjakan laporan ini
Editor: Anno Susabun dan Ryan Dagur