“Tuhan yang Memanggil Saya,” Cerita “Suster Kargo” yang Bertahun-tahun Menyambut Jenazah Pekerja Migran NTT

“Saya ingin kehadiran saya bisa menjadi penopang, setidaknya di tengah duka yang keluarga rasakan”

Floresa.co – Suster Laurensia Suharsih, biarawati dari Kongregasi Suster-Suster Penyelenggara Ilahi telah bertahun-tahun terlibat dalam pelayanan yang jarang disentuh banyak orang: menjemput jenazah pekerja migran yang pulang dalam peti dari luar negeri.

Ia akrab disapa “Suster Kargo,” julukan yang melekat terkait aktivitasnya menyambut setiap jenazah di Terminal Kargo Bandara El Tari, Kupang. 

Di sana, siang maupun tengah malam, ia berdiri sembari mendoakan mereka yang pulang tanpa nyawa, sambil menguatkan keluarga yang diliputi duka.

Bagi Suster Lauren, pelayanan ini bukan sekedar tugas dari kongregasinya, tapi bagian panggilan sebagai manusia untuk peduli pada sesama, sekaligus bentuk penghayatan terhadap statusnya sebagai biarawati.

Ia merawat komitmennya lewat doa, meditasi dan refleksi, meyakini bahwa ia hanyalah “alat Tuhan” untuk hadir di tengah keluarga yang sedang merasa kehilangan.

Elkelvin Wuran dari Floresa mewawancarai Suster Lauren pada 1 Agustus di Kupang. Ia membagikan pengalaman dan refleksinya sebagai biarawati, perspektifnya tentang masalah buruh migran di NTT dan harapan-harapannya terhadap pemerintah dan masyarakat.

Berikut petikannya:

Bisa diceritakan perjalanan suster menjadi biarawati dan apa yang membuat akhirnya memilih jalan hidup ini?

Saya selalu meyakini bahwa hal yang mendorong saya adalah panggilan Tuhan. Hal ini terasa istimewa karena saya tidak dibesarkan dalam keluarga Katolik. 

Ibu saya seorang Muslim, sedangkan bapak menganut kepercayaan tradisional. Di rumah, ada empat agama yang dianut anggota keluarga. 

Meski berbeda keyakinan, kami saling menghargai satu sama lain.

Perjumpaan saya dengan Gereja Katolik dimulai ketika orangtua menyekolahkan saya di SD Katolik Kanisius, Temanggung, Jawa Tengah. 

Di sana saya belajar Agama Katolik, membaca kisah hidup santo dan santa di Majalah Hidup (majalah mingguan Katolik milik Keuskupan Agung Jakarta), lalu mulai terinspirasi menjadi biarawati. 

Seiring waktu, cita-cita itu kerap kembali mengusik hati saya. Saya sering mengunjungi biara di sekitar Temanggung. 

Puncaknya, ketika SMA saya mengunjungi sebuah biara pertapaan saat ada seorang pastor yang wafat. 

Saya bertanya dalam hati, siapa yang akan menggantikan pastor ini yang sejak muda telah melayani dan memberikan dirinya bagi orang lain. Apakah suatu saat saya bisa menggantikannya? 

Pertanyaan itu menjadi titik penting yang membuat saya bertekad serius menjadi biarawati.

Mengapa memutuskan memilih bergabung dalam Kongregasi Suster-Suster Penyelenggara Ilahi?

Untuk menjadi seorang biarawati, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. Di kongregasi saya, misalnya, usia tidak boleh lebih dari 30 tahun dan harus punya pengalaman bekerja.

Sejak tamat SMA, saya sebenarnya sudah ingin langsung masuk biara. Namun, waktu itu saya belum punya pengalaman kerja dan bapak juga tidak mengizinkan. Niat itu terpaksa saya tunda.

Kesempatan kedua datang saat saya mulai kuliah di Institut Pastoral Semarang. Namun, saya hanya bertahan satu semester. Saya memutuskan keluar karena merasa tidak tertarik menjadi guru agama. 

Setelah itu, pada 1994 saya ikut kursus perawat dan bekerja di Panti Jompo di Cimahi, Jawa Barat. Panti itu juga berada di bawah naungan biara.

Setahun bekerja, saya pulang kampung untuk liburan, bertemu bapak, dan kembali meminta izin masuk biara. Jawabannya tetap sama: tidak diizinkan. Pola ini terus berulang setiap kali saya pulang kampung. 

Di luar itu, saya menjalani kehidupan seperti remaja pada umumnya, bahkan pernah berpacaran.

Saya pernah berada di titik harus memilih antara mengejar target masuk biara atau berkeluarga. Pernah terlintas cita-cita, di usia 25 saya sudah harus menikah. Namun, hingga usia 26 tahun, saya belum bisa mengambil keputusan.

Titik baliknya terjadi saat saya bertemu dengan seorang suster yang dulu membimbing saya ketika SMP di Bandung. 

Ia mengenal saya dengan baik, lalu menyarankan mengikuti retret yang dipimpin oleh seorang pastor, Romo Eko Wahyu, OSC.

Dalam retret itu, saya menyampaikan niat untuk menjadi biarawati. Romo Eko bertanya, “Kalau kamu memutuskan masuk biara, apakah kamu siap menanggung konsekuensinya, seperti hubungan dengan ayah yang mungkin akan renggang?”

Saya merenungkan pertanyaan itu, lalu memutuskan tetap akan masuk biara. 

Seusai retret, saya mengambil cuti kerja untuk pulang ke rumah. Dalam hati, saya sudah siap, kalaupun bapak tetap melarang, saya akan bersikeras.

Saat kami bertemu, percakapan hanya berlangsung lima menit. Saya menyampaikan tekad saya, dan akhirnya bapak tiba-tiba mengizinkan. 

Ibu saya, seperti biasa, mengikuti keputusan bapak. Surat persetujuan masuk biara pun ditandatangani oleh ibu.

Saya kembali ke Cimahi, meminta surat rekomendasi dari Pastor Paroki, sebagai salah satu syarat masuk biara. Setelah mendapatkannya, saya undur diri dari pekerjaan dan berangkat ke Solo untuk memulai masa pendidikan. 

Saya menjalani postulan selama setahun, lalu masa novisiat, hingga akhirnya mengikrarkan kaul pertama. Di momen itu, bapak dan ibu hadir mendampingi saya. Saya kemudian kaul kekal pada 2010. 

Bagaimana awal mula suster bersentuhan dalam pelayanan terkait pekerja migran dan perdagangan manusia?

Setahun setelah kaul kekal, saya mengikuti pelatihan tentang human trafficking di Makassar, Sulawesi Selatan yang diselenggarakan oleh Contra Women Trafficking Commission (CWTC) di bawah Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia. 

Dari sanalah saya mengenal isu perdagangan manusia. Sejak itu, saya mulai mengedukasi anak-anak di asrama postulan tentang isu ini.

Saya kemudian sempat mengabdi di Akademi Pekerja Sosial (APS) di Kupang. 

Saat itu, kasus pertama yang saya tangani adalah korban asal Desa Maubesi, Kecamatan Insana Tengah, Kabupaten TTS, yang bekerja di Malaysia.

Karena saya sudah bergabung di jaringan CWTC, mereka menghubungi saya dari Jakarta untuk menjadi penghubung antara korban dan keluarganya.

Tahun 2014, saya melanjutkan studi S1 di Sekolah Ilmu Sosial dan Politik Widuri, Jakarta. 

Kuliahnya malam, sehingga siang hari saya menjadi relawan di Sahabat Insan, organisasi yang mendampingi migran perantau dan korban perdagangan manusia. 

Saya juga menjadi relawan di Rumah Sakit Pengayoman Cipinang untuk pemberdayaan korban narkoba, membantu organisasi advokasi Migrant Care, dan terlibat dalam berbagai diskusi organisasi pemerhati buruh migran. 

Saya juga ikut dalam aksi-aksi demonstrasi terkait isu pekerja migran di Kedutaan Arab Saudi, Kedutaan Malaysia, hingga depan istana presiden.

Dari keterlibatan itu, saya menemukan passion saya. Meski saat itu belum mendapat tugas resmi dari kongregasi untuk mengurus isu perdagangan manusia, saya sudah aktif di lapangan.

Setelah lulus kuliah, saya pulang ke Semarang dan menjadi Ketua Yayasan Sosial Penyelenggara Ilahi. 

Mengapa bisa bekerja di Kupang?

Pada 2016, dalam pertemuan di Jerman, diputuskan bahwa setiap provinsi kongregasi harus memiliki karya anti-human trafficking

Saya pun diutus ke Kupang.

Di Kupang, saya bertemu Lius Selan, aktivis setempat yang kemudian memperkenalkan saya pada Pendeta Emmy Sahertian (dikenal sebagai aktivis isu buruh migran dari Gereja Masehi Injili Timor, denominasi Protestan). 

Dalam kerja advokasi seperti ini, saya butuh teman yang fokus pada isu yang sama. 

Meski pengalaman advokasi saya di Jakarta cukup panjang, di NTT saya harus membangun jaringan baru karena konteks permasalahannya berbeda dan kompleks.

Saat memulai intens terlibat dalam isu ini, saya mulai sering ditelepon tengah malam untuk menjemput jenazah pekerja migran di bandara. 

Pada 2018, bersama beberapa aktivis, kami lalu menyelenggarakan pelatihan relawan pemerhati pekerja migran dan TPPO.

Saya juga kemudian berkenalan dengan Rudi Soik (polisi di NTT yang terlibat dalam penanganan sejumlah kasus perdagangan orang) melalui Facebook dan dimasukkan ke grup anti-TPPO. 

Saya lalu membentuk grup Kargo Senusa Tenggara, namun saya bubarkan karena ada pihak yang menyalahgunakan data untuk kepentingan pribadi dan kelompok.

Sejak 2020, saya membentuk grup baru yang lebih selektif anggotanya. 

Tujuannya untuk berbagi informasi pemulangan jenazah dan pekerja migran. Saya tegas: informasi yang tidak sesuai tujuan grup akan saya tolak.

Banyak orang menyebut Suster dengan julukan “Suster Cargo.” Bagaimana awal mula julukan itu muncul?

Julukan “Suster Cargo” pertama kali diberikan oleh Associated Press, media berbasis di Amerika Serikat. Penulisnya berasal dari Australia, namanya Christin. 

Mereka sering meliput saya saat melakukan kerja-kerja pelayanan ini, khususnya ketika saya terlibat dalam proses pemulangan jenazah pekerja migran yang datang lewat kargo pesawat. 

Dari situlah nama itu melekat sampai sekarang.

Ada pengalaman tertentu saat menyambut jenazah yang membekas dalam diri suster?

Hal itu terjadi saat saya menjemput jenazah seorang pekerja migran asal Ende. 

Ia meninggal karena sakit TBC. Jenazah diberangkatkan dari Kuala Lumpur, Malaysia ke Kupang dan rencananya dipulangkan ke Ende menggunakan maskapai NAM Air. 

Namun, satu jam sebelum keberangkatan, petugas bandara tiba-tiba menyatakan jenazah tidak layak terbang karena riwayat penyakitnya dikhawatirkan menular.

Saya marah sekali. Bagaimana mungkin jenazah itu bisa lolos penerbangan internasional dari Kuala Lumpur ke Kupang menggunakan Garuda, tetapi untuk penerbangan domestik Kupang–Maumere yang hanya 45 menit justru ditolak? 

Kebijakan maskapai ini menurut saya tidak masuk akal.

Akhirnya, jenazah tersebut dikarantina dan dipulangkan lewat jalur laut menggunakan kapal Pelni-AU. Saya benar-benar sakit hati saat itu, meski almarhum bukan keluarga saya. 

Peristiwa itu sampai sekarang masih saya ingat dengan jelas.

Hal apa yang bisanya suster rasakan setiap menjemput jenazah?

Sejak awal, saya memandangnya sebagai panggilan jiwa. Ketika mendapat kabar—bahkan di tengah malam—bahwa ada penjemputan jenazah di terminal kargo, suara hati saya selalu mendesak untuk datang dan mendoakan mereka.

Ada perasaan yang mengganggu jika saya tidak hadir di sana. Namun, begitu sampai, berdiri di dekat peti jenazah, dan mendoakan mereka, saya merasakan kedamaian. Ada rasa lega karena bisa menolong, meskipun sebatas dengan doa.

Saya biasanya berdoa dengan cara yang membuat saya merasa berelasi dengan korban yang telah meninggal. 

Kadang, saya menyapa mereka dalam hati, seolah berkata, “Selamat datang.”

Saat berhadapan dengan keluarga korban yang histeris menyambut kedatangan peti jenazah, saya berusaha untuk tetap kuat dan tegar. 

Saya ingin kehadiran saya bisa menjadi penopang, setidaknya di tengah duka yang mereka rasakan.

Dari sekian pengalaman itu, apa makna pelayanan baik secara personal maupun spiritual?

Secara personal, saya melihat diri saya sebagai manusia yang punya kepedulian terhadap saudara-saudara yang kurang beruntung. Itu panggilan dari hati. 

Kalau dilihat dari kacamata manusia biasa, mungkin tidak masuk akal—siapa yang mau mengurus orang yang tidak dikenal, apalagi yang tidak ada hubungan keluarga? 

Tetapi justru hal itu yang mengingatkan saya bahwa saya adalah makhluk sosial yang harus saling tolong-menolong, apapun bentuknya.

Apalagi saya pernah merasakan hidup di perantauan. Dari situ, saya belajar membedakan simpati dan empati. Simpati bisa cukup dengan rasa iba, tetapi empati menuntut pengorbanan dan keikhlasan.

Secara spiritual, sebagai seorang biarawati, membantu orang yang membutuhkan adalah bagian dari tugas saya. 

Namun, saya menyadari bahwa tidak semua biarawati memiliki hati untuk hal itu. Kami sama-sama manusia—ada yang mungkin lebih memilih tugas-tugas yang mentereng dan bergengsi. 

Bagi saya, tugas seperti itu biasa saja. Saya justru terpanggil untuk melayani di ladang yang sederhana, yang sering kali dianggap “klasik” dan tak banyak dilirik.

Sejak dibaptis, saya mengambil nama Santo Laurensius. Spirit Santo Laurensius inilah yang saya hidupi sampai sekarang. Dulu, ketika Paus Sixtus bertanya kepada Santo Laurensius, “Mana kekayaan Gereja?”, ia menjawab bahwa orang-orang miskin, gelandangan, dan mereka yang tidak beruntung adalah kekayaan Gereja. 

Itulah semangat yang saya pegang, yang membuat saya memilih nama Laurensius—atau Laurensia—sebagai nama pelindung saya.

Apa saja tantangan yang paling sering suster temui dalam pelayanan isu buruh migran?

Tantangan sering muncul saat saya melakukan sosialisasi ke paroki-paroki di kantong-kantong migran bersama Keuskupan Kupang. 

Kadang, ada umat yang mengadu, “Kenapa anak saya atau suami saya tidak ada kabar selama lima atau sepuluh tahun?”

Kami memang memiliki kerja sama tripartit antara keuskupan pengirim, transit, dan tujuan. Keuskupan pengirim mencakup seluruh wilayah Nusa Tenggara. Keuskupan transit berada di Batam, Pangkal Pinang, Jakarta, Nunukan, dan wilayah perbatasan lainnya. 

Kami sering mengadakan pertemuan, apalagi para pastor biasanya setiap tahun ditugaskan ke Malaysia pada momen Natal atau Paskah untuk melayani pekerja migran.

Memang ada kasus yang berhasil saya temukan, tetapi banyak juga yang gagal. Saat mengadvokasi, saya sering meminta foto terakhir korban,—saat sebelum berangkat. Sering kali keluarga tidak memilikinya sehingga pencarian menjadi lebih sulit.

Apa yang membuat suster bertahan?

Sejauh pimpinan masih mempercayakan saya untuk menjalankan karya kemanusiaan seperti ini, saya akan melakukannya. Komitmen selalu saya utamakan dalam setiap pelayanan.

Selama saya masih berkarya di Kupang, saya akan tetap melayani penjemputan jenazah di terminal kargo, apapun tantangannya.

Bagaimana suster menjaga kekuatan batin dan mental?

Kuncinya adalah menjaga keseimbangan hidup. Sebagai seorang biarawati, saya tidak pernah lepas dari doa dan meditasi sebagai bentuk relasi dengan Tuhan. 

Saya menjaga keseimbangan antara aksi dan refleksi—pagi dan malam saya selalu menyisihkan waktu untuk meditasi pribadi dan pendalaman iman.

Kadang, saya menulis catatan harian untuk menenangkan batin. Saya juga memiliki teman-teman rohaniwan yang memberi dukungan, tempat berbagi cerita, dan bimbingan rohani. 

Pelayanan ini tidak mudah, jadi saya butuh “tameng” batin. Saya selalu mengingat bahwa saya hanyalah alat Tuhan.

Pernah saya merasa gagal melayani, tapi saya sadar bahwa ini bukan karya saya, melainkan karya Tuhan. 

Selama saya masih kuat dan bermakna bagi orang lain, mengapa saya harus berhenti?

Menurut suster, apa akar persoalan yang menyebabkan orang-orang NTT menjadi korban saat bekerja di luar negeri?

Akar masalahnya berlapis. Pertama, faktor ekonomi. Banyak orang bermigrasi karena kesulitan hidup. Kedua, belenggu budaya: tradisi belis dan pesta yang berulang kali dilakukan bersama keluarga. Ini membuat mereka sulit menabung, apalagi jika panen gagal meskipun punya lahan garapan.

Ada pula tuntutan sosial—kalau tidak ikut berkontribusi dalam upacara adat, mereka akan dikucilkan. Minimnya lapangan pekerjaan di NTT membuat mereka mencari penghidupan di negeri orang.

NTT dikenal sebagai “Provinsi 1.000 LSM,” tetapi banyak yang bekerja hanya saat ada proyek, memanfaatkan kemiskinan masyarakat. 

Selain itu, orang NTT sering tergoda jalan pintas—enggan menunggu proses resmi seperti pengurusan paspor, sehingga mudah termakan janji manis calo.

Apa pesan suster kepada pemerintah dan masyarakat di NTT terkait perlindungan pekerja migran?

Pemerintah harus serius menangani persoalan ini. Indonesia saat ini berada dalam kondisi darurat Tindak Pidana Perdagangan Orang. Kebijakan yang seringkali dilanggar sendiri oleh pembuatnya. Bahkan pasal-pasal dalam aturan bisa diperjualbelikan.

Saya berharap pemerintah—terutama Pemda—punya hati untuk benar-benar memberikan diri, bukan hanya turun tangan saat musim pemilu.

Masyarakat juga harus cerdas mencari informasi yang benar dan tidak mudah percaya pada bujuk rayu orang yang tidak dikenal. 

Saat ini banyak kasus penipuan yang memanfaatkan media sosial, termasuk online scamming. Modus ini mempersulit pelacakan pelaku, sehingga kewaspadaan pribadi menjadi kunci.

Kepada kaum muda di NTT, apa pesan yang ingin suster sampaikan agar bisa terlibat dan tergerak dalam pelayanan seperti ini?

Apapun yang kamu kerjakan, lakukan dengan kesadaran penuh. Kalau kamu seorang relawan atau aktivis, sebelum menolong orang, sadari dulu bahwa itu ada panggilan.

Kunci utama ketulusan adalah konsistensi, menyadari konsekuensi, disiplin dan menghargai waktu.

Jangan hanya melihat hasil akhirnya—nikmati prosesnya. Karena di situlah nilai sejati dari pelayanan.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA