Floresa.co – Para Uskup se-Indonesia yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) mendesak evaluasi menyeluruh kebijakan pemerintah dan DPR yang memicu protes publik luas di Jakarta dan berbagai daerah beberapa hari belakangan.
Mereka juga mengecam aksi represif aparat keamanan dalam penanganan unjuk rasa, mendesak respons yang lebih humanis dengan “memahami kehendak dan situasi batin warga negara yang marah akibat ketidakadilan dan kekerasan yang sudah membawa korban jiwa.”
Dalam siaran pers pada 30 Agustus, KWI menyatakan situasi yang terjadi beberapa hari terakhir bukan sekadar persoalan keamanan, tetapi cermin dari kekecewaan publik terhadap perkataan, perbuatan dan kebijakan pemerintah yang dinilai tidak adil dan jauh dari keberpihakan pada rakyat.
“Kami menyampaikan rasa duka yang mendalam terhadap saudara-saudari yang mengalami cedera bahkan kehilangan nyawa ketika memperjuangkan kebenaran dan keadilan serta saat mengungkapkan bela rasa pada yang terluka dan menderita,” tulis KWI dalam pernyataan yang ditandatangani Ketuanya Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC, dan Sekretaris Jenderal Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM.
Sementara APTIK dalam pernyataan sikapnya bertajuk “Perdamaian adalah Buah Karya dari Keadilan” menilai gelombang kemarahan rakyat yang pecah belakangan ini bukan sekadar akibat tindakan represif aparat, tetapi berakar pada “ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan beban berat ekonomi yang dirasakan masyarakat.”
Para pimpinan 28 perguruan tinggi Katolik tersebut berkata, di tengah kondisi rakyat yang terhimpit ekonomi “elite politik justru mempertontonkan arogansi.”
Pater Otto Gusti Ndegong Madung, SVD, Rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero yang ikut menandatangani pernyataan itu menegaskan pemerintah seharusnya tidak tutup mata dan telinga untuk melihat dan mendengar setiap aspirasi rakyat yang berunjuk rasa.
“Saya juga berharap agar pemerintahan di level daerah mampu mengambil kebijakan yang pro rakyat dan dapat menciptakan keadilan sosial,” katanya kepada Floresa pada 31 Agustus.
Di tingkat nasional, ia menyoroti pola represif aparat dan meminta polisi ”harus menangani warga yang demonstrasi sesuai prinsip-prinsip hak asasi manusia dan menjauhi kekerasan.”
“Untuk pihak militer, saya berharap untuk kembali ke barak sebab keamanan dalam negeri menjadi kewenangan kepolisian,” katanya.
Salah satu korban dari peristiwa itu adalah Affan Kurniawan pengemudi ojek online yang tewas dilindas kendaraan taktis berlapis baja milik Brimob dari Polda Metro Jaya di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat pada 28 Agustus malam.
Kejadian itu terekam dalam video yang menyebar luas secara cepat dan memicu kemarahan publik.
Tagar #JusticeForAffan viral di media sosial dan gelombang protes bermunculan di berbagai daerah, termasuk Kupang, Maumere dan Labuan Bajo di NTT hari ini, 2 September.
Kebijakan Pemerintah Akar Kemarahan Publik
APTIK menyatakan kemarahan publik di seluruh negeri berakar dari “kebijakan pembangunan yang dianggap lebih berpihak pada oligarki ketimbang rakyat.”
Mereka antara lain menyoroti kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di berbagai daerah, tunjangan anggota DPR yang fantastis, rangkap jabatan menteri, hingga dominasi anggaran negara untuk TNI dan Polri.
Unjuk rasa berhari-hari di Jakarta dan sejumlah daerah sejak 25 Agustus memusatkan sorotan pada kebijakan kenaikan tunjangan anggota DPR, termasuk tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan.
Publik menilai kebijakan itu berlebihan, sebab saat ini seorang anggota DPR sudah mengantongi gaji dan tunjangan lebih dari Rp100 juta per bulan, belum termasuk dana reses Rp2,5 miliar per tahun.
Selain itu, DPR juga tercatat mendapat lonjakan anggaran besar dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Anggaran DPR dinaikkan menjadi Rp9,9 triliun, melonjak 47,98 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp6,69 triliun.
Ironisnya, kenaikan ini terjadi di tengah pemangkasan anggaran untuk belanja penting negara, termasuk Transfer ke Daerah (TKD) yang dipangkas drastis dari Rp919 triliun pada 2025 menjadi Rp650 triliun pada 2026.
Kebijakan pendidikan, menurut APTIK, juga kian dikomersialisasi, “menyerahkan hak fundamental warga negara ke mekanisme pasar.”
Kondisi sosial-ekonomi yang berat, tulis mereka, juga menyebabkan “naiknya harga kebutuhan, meningkatnya angka pengangguran, hingga menyempitnya akses kesehatan, semakin diperparah oleh perilaku pejabat publik.”
“Alih-alih menunjukkan sikap empati dan kepemimpinan yang visioner, justru malah mempertontonkan sikap arogan dan ketidakacuhan,” kata mereka.
Karena itu, APTIK menyerukan pemerintah, DPR, TNI dan Polri kembali menjunjung tinggi moralitas serta mandat konstitusional, dengan menunjukkan keberpihakan nyata kepada rakyat, bukan kepada elite partai maupun oligarki.
Kepemimpinan yang otentik, jujur, dan berpihak pada martabat kemanusiaan adalah jalan memulihkan kepercayaan publik dan mengembalikan tatanan hidup bersama.
Selain itu, mereka juga menekankan pentingnya penghormatan terhadap demokrasi. Setiap upaya membungkam suara kritis dengan cara-cara otoriter, intimidasi, atau sensor, disebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi.
Bagi APTIK, kebebasan berpendapat, berserikat, dan berekspresi adalah pilar utama yang tidak boleh diganggu.
Mereka juga mendesak pemerintah dan DPR, termasuk presiden, segera membuka dialog dengan elemen masyarakat yang berdemonstrasi.
Gelombang aksi, menurut mereka, harus dipandang sebagai “ekspresi demokrasi yang sehat dan bermartabat, bukan ancaman bagi negara, selama tidak jatuh ke tindakan destruktif.”
Sementara KWI mengingatkan agar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif “bersikap rendah hati dengan lebih mendengar suara rakyat, terutama kelompok miskin, rentan, dan mereka yang paling menderita akibat ketidakadilan.”
Mereka menyerukan agar para pengambil kebijakan berani dengan besar hati mengoreksi, bahkan membatalkan, rencana atau tindakan yang melukai rasa keadilan rakyat, menambah beban hidup masyarakat dan semakin menyengsarakan kelompok lemah.
Perlu Keberpihakan Nyata
Bagi KWI, tanda nyata keberpihakan tidak cukup berhenti pada pidato, melainkan harus tampak dalam tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel dan kredibel.
KWI menyampaikan apresiasi kepada organisasi dan institusi yang terus memperjuangkan kebaikan serta kebenaran dengan cara santun dan damai, sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.
Mereka juga mengajak semua pihak untuk menahan diri dari tindakan provokatif maupun kriminal yang berpotensi merusak perdamaian dan persatuan bangsa.
Mereka menyerukan “agar energi positif dipancarkan dalam usaha bersama membangun kesejahteraan dan menghadirkan Indonesia yang lebih adil.”
“Kiranya Tuhan memberkati niat baik kita dan melindungi negara kita tercinta, Indonesia,” demikian bunyi pernyataan itu.
Editor: Anno Susabun