Unjuk Rasa di Labuan Bajo, Elemen Sipil Tuntut Cabut Izin Perusahaan di Taman Nasional Komodo

Aksi tersebut merupakan bagian dari protes terhadap kebijakan ugal-ugalan pemerintah dan DPR di Jakarta dan berbagai daerah

Floresa.co – Ratusan aktivis dan warga di Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat, NTT menggelar aksi unjuk rasa pada 2 September, bagian dari gelombang aksi protes terhadap kebijakan ugal-ugalan pemerintah dan DPR di Jakarta dan berbagai daerah.

Mereka menyoroti sejumlah masalah, termasuk meminta mencabut konsesi perusahaan di kawasan Taman Nasional Komodo, membatalkan kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) hingga meminta pemerintah daerah memperhatikan regulasi terkait sempadan pantai.

Aksi yang digelar oleh Forum Masyarakat Peduli Demokrasi (FMPD)  itu dimulai dari pertigaan Pasar Baru di Jalan Trans Flores pada pukul 09.30 wita. 

Peserta aksi yang dikawal ketat aparat gabungan Polisi, Satpol PP dan TNI itu menggunakan satu mobil truk dan puluhan kendaraan roda dua. 

Mereka membawa beragam spanduk yang berisi tuntutan-tuntutan aksi. Beberapa di antaranya berisi tulisan “Biarkan Taman Nasional Komodo Alami Apa Adanya”; “Jangan Membangun Apapun di Pulau Padar”; “Jangan Ada Investasi di Taman Nasional Komodo”; ”Jangan Sentuh Padar”; dan “Koruptor Seperti Setya Novanto Jauh-Jauh Tanganmu dari Taman Nasional Komodo”.

Spanduk lainnya bertuliskan “Kenaikan NJOP yang Tidak Wajar di Seluruh Labuan Bajo”; “Usut Dugaan Korupsi 85M Jalan Golo Mori”; “Usut Dugaan Korupsi Dana Pertiwi di Manggarai Barat”; dan “Dugaan Korupsi Ijin Pembangunan Hotel yang Melanggar Sempadan Pantai di Labuan Bajo”.

Di bawah terik matahari, beberapa perwakilan peserta aksi secara bergilir menyampaikan orasi sebelum membacakan poin-poin tuntutan.

“Hari ini FMPD hadir untuk menghidupkan kembali demokrasi di tengah masyarakat Indonesia, khususnya Manggarai Barat,” kata penanggung jawab aksi Rafael Todowela di depan kantor bupati.

Ia juga menyinggung sikap apatis warga di Flores terkait unjuk rasa yang berujung penangkapan dan kematian aktivis demokrasi di Jakarta beberapa hari terakhir.

“Karena itu, polisi jangan dukung pemerintah dan DPR, mereka yang adu domba rakyat Indonesia. Kalau kita diadu domba, maka selesailah negara ini, bubar di 2030,” teriaknya.

Sementara Try Dedi, koordinator lapangan aksi menyatakan dari mobil komando bahwa aksi tersebut bertujuan mendesak pemerintah daerah dan DPRD untuk mengambil tindakan nyata terhadap berbagai masalah, seperti kenaikan angka NJOP, privatisasi pantai oleh properti wisata hotel hingga penyelesaian berbagai kasus korupsi oleh polisi dan kejaksaan.

Beberapa dugaan korupsi yang disebut antara lain dana Covid-19 sebesar Rp3,32 miliar, dana Pertiwi Rp1,2 miliar, korupsi dana stunting di Desa Golo Welu Rp1,75 miliar hingga korupsi proyek nasional di jalan raya Labuan Bajo-Golo Mori.

Mereka juga menuntut pengurangan anggaran kunjungan kerja DPRD, studi banding di luar daerah, perjalanan dinas serta tunjangan berlebihan yang tidak bermanfaat untuk pembangunan masyarakat Manggarai Barat. 

Kepada pemerintah pusat dan DPR RI mereka menuntut pembatalan kebijakan kenaikan anggaran dewan dan pengesahan undang-undang perampasan aset koruptor.

Desak Selamatkan Taman Nasional Komodo

Salah satu poin tuntutan yang menjadi fokus aksi adalah pencabutan konsesi perusahaan-perusahaan yang mengantongi izin di kawasan konservasi Taman Nasional Komodo.

Bernadus Barat Daya, salah satu peserta aksi berkata dalam orasinya bahwa perjuangan menjaga kawasan itu sudah lama dilakukan warga dan elemen sipil.

Bernadus menyebut Setya Novanto dan Tomy Winata sebagai dua nama “yang terus dipersoalkan” karena PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), perusahaan yang terkait dengan mereka, telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) di Taman Nasional Komodo sejak 2014.

Menurut laporan Floresa bertajuk “Para Pemburu Cuan di Pulau Padar”, perusahaan tersebut kini dikuasai Tomy Winata melalui PT Adhiniaga Kreasinusa sebagai pemegang saham terbanyak. Saham lainnya ada pada perusahaan milik dua anak Novanto, yakni Rheza Herwindo dan anggota DPR RI Gavriel Putranto Novanto.

Bernadus berkata, rencana PT KWE membangun lebih dari 600 unit bangunan di Pulau Padar dengan dalih konservasi merupakan ancaman serius bagi masyarakat Manggarai Barat.

“Sudah saatnya kita buka mata,” katanya, menilai rencana perusahaan itu murni merupakan investasi, bukan konservasi. 

“Ini red area, zona merah yang tidak boleh dengan alasan apapun untuk investasi” lanjutnya.

Mateus Siagian, orator lainnya berkata demonstrasi warga dan elemen sipil yang menuntut pencabutan izin perusahaan-perusahaan itu sudah berulang kali dilakukan.

Pembangunan di Taman Nasional Komodo, kata Mateus, membuat kawasan itu tidak berbeda dari Labuan Bajo karena “hotel di mana-mana.”

“Biarkanlah taman nasional itu alami, biarkanlah itu tidak dibangun sama sekali,” kata Mateus, seorang pengusaha hotel berbasis di Labuan Bajo.

“Saya minta dengan hormat kepada bupati, izin-izin PT yang ada di taman nasional minta menteri itu cabut. Kalau tidak masyarakat terus resah. Karena masyarakat cinta damai dan pariwisata tetapi kita juga tidak akan terima kalau piring nasi diganggu,” lanjutnya.

Selain PT KWE yang mengantongi IUPSWA di lahan seluas 151,94 hektare di Pulau Komodo dan 274,13 hektare di Pulau Padar, dua perusahaan lainnya di kawasan itu adalah PT Segara Komodo Lestari yang menguasai 22,1 hektare lahan di Pulau Rinca dan PT Synergindo Niagatama dengan 15,32 hektare di Pulau Tatawa.

Mateus juga menyinggung perlunya pengaturan kuota untuk membatasi jumlah pengunjung dan kapal wisata di Pulau Padar yang berjumlah “dua ratus hingga tiga ratus dalam semalam”.

“Airnya sudah dibawa ke laboratorium, tercemar detergen, ikan-ikan dan coral (terumbu karang) bisa mati,” katanya.

Poin lainnya yang disampaikan Mateus terkait pemasukan dari pengelolaan wisata di Taman Nasional Komodo yang “semuanya ditarik ke pusat” sementara “daerah hanya terima sampahnya saja.”

“Daerah hanya urus sampahnya, urus masalahnya, tapi uangnya ke pusat semua, itu namanya tidak adil. Kita butuh uang itu bukan buat pejabat di Jakarta, tapi buat rakyat Manggarai Barat,” ujarnya.

Peserta aksi dari Forum Masyarakat Peduli Demokrasi membawa beberapa poster tuntutan dalam unjuk rasa di Labuan Bajo pada 2 September 2025. (Dokumentasi Floresa)

DPRD Jangan “Loyal Bodoh” Pada Kepentingan Partai

Di halaman Kantor DPRD di Jalan Frans Nala, Bernadus Barat Daya menuntut agar anggota dewan lebih mementingkan aspirasi rakyat ketimbang partai masing-masing.

Ia menyinggung relasi anggota dewan dari Partai Nasional Demokrat dengan Tomy Winata yang dikenal memiliki hubungan personal dan bisnis dengan Viktor Bungtilu Laiskodat, mantan gubernur NTT yang kini menjadi Ketua Fraksi Nasdem di DPR RI.

Ia juga mengingatkan DPRD dari Fraksi Partai Golkar untuk tidak loyal pada Setya Novanto, mantan ketua umum Partai Golkar, karena itu merupakan “loyalitas bodoh.”

“Anda wakil rakyat Manggarai Barat,” tegasnya.

Karena itu, kata dia, mereka harus berani katakan tidak terhadap sesuatu yang melanggar, seperti izin perusahaan di Taman Nasional Komodo.

Persoalan lain yang juga disorotnya adalah privatisasi pantai di Labuan Bajo yang masih terjadi hingga saat ini. 

Beberapa tahun silam, kata dia, Setya Novanto terlibat dalam kasus privatisasi Pantai Pede setelah “dijual” oleh pemerintah provinsi kepada perusahaan yang dipimpin anaknya Rheza Herwindo.

Ia menuntut agar pemerintah daerah tidak berlindung di balik argumentasi klasik bahwa semua izin diurus oleh pemerintah pusat sedangkan pemerintah daerah tidak berhak untuk berbuat sesuatu.

Belasan Poin Tuntutan

Dalam aksi tersebut mereka juga menyampaikan empat belas poin tuntutan yang dibacakan di depan kantor bupati dan kantor DPRD.

Mereka antara lain “mendesak Menteri Kehutanan untuk mencabut kerja sama dan izin investasi PT KWE di Pulau Padar.”

Kepada pemerintah daerah dan DPRD mereka menuntut pencabutan izin dan “memberi sanksi kepada pelaku usaha hotel, restoran, jetty dan villa yang melanggar aturan sempadan pantai serta membuka akses publik dan menghukum pelaku usaha yang merusak kawasan hutan mangrove.”

Mereka juga “mendesak Kejari Manggarai Barat untuk melakukan investigasi dugaan gratifikasi terhadap pelanggaran pembangunan sempadan pantai di Kabupaten Manggarai Barat.” 

Tuntutan lainnya adalah mengevaluasi kenaikan NJOP dengan memperhatikan kondisi lokasi dan kondisi perekonomian masyarakat Manggarai Barat.

Terkait isu korupsi mereka “menuntut dan mendesak Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menerbitkan surat pemberhentian izin produksi galian C yang beraktivitas tanpa izin.”

Massa juga meminta Kapolda NTT, Kejaksaan Agung dan Kapolri, untuk mengevaluasi kinerja Kejaksaan Negeri dan Kapolres Manggarai Barat dalam hal penyelesaian kasus dugaan korupsi yang mandek.

Selain itu “meminta Menteri ATR/BPN untuk memperhatikan kinerja BPN Kabupaten Manggarai Barat yang lamban memproses penerbitan sertifikat yang dilakukan oleh masyarakat.”

Tuntutan lainnya adalah “Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menambah tempat parkiran di Jalan Soekarno-Hatta.”

Apa Tanggapan Pemerintah dan DPRD?

Usai didesak melalui pengeras suara, Bupati Edistasius Endi menemui massa di depan kantornya.

Ia mengklaim menerima semua aspirasi dengan hati terbuka dan akan segera mencari solusi terhadap persoalan yang menjadi kewenangan kabupaten. 

Sementara untuk tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah provinsi dan pusat, katanya, akan ia perjuangkan.

Sementara Ketua DPRD Benediktus Nurdin berjanji segera melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Ia juga berjanji untuk meneruskan aspirasi masyarakat, baik kepada pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat.

Dalam orasinya di depan kantor bupati, Rafael Todowela menyatakan aksi tersebut kemungkinan akan berlanjut hingga 5 September, sesuai surat pemberitahuan yang diserahkan FMPD kepada polisi.

“Kita akan melihat situasi nasional seperti apa, kita akan datang lagi dengan massa yang lebih besar,” katanya.

Editor: Anno Susabun dan Petrus Dabu

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA