Floresa.co – Sejak 2023, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat tidak lagi mendapat pemasukan dari pungutan kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Komodo (TNK).
Hal itu sesuai rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan.
Seluruh pemasukan dari tiket masuk dan berbagai kegiatan pariwisata di TNK masuk ke Balai Taman Nasional Komodo (BTNK), lembaga yang berada di bawah Kementerian Kehutanan. Pemasukan itu masuk kategori sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Alhasil, meski kunjungan wisatawan ke destinasi pariwisata berlabel super-premium itu terus meningkat, kontribusi ke Pendapatan Asli Daerah (PAD) tak lagi signifikan.
Pada 2024, PNBP TNK mencapai lebih dari Rp53 miliar, bersumber dari 334.206 kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik.
Sementara itu, pendapatan sektor pariwisata yang masuk pundi-pundi Kabupaten Manggarai Barat pada tahun tersebut hanya Rp2,6 miliar. Pendapatan itu berasal dari pungutan di destinasi wisata di luar kawasan TNK.
Padahal, pada 2022, saat masih menikmati pungutan tiket di TNK, kontribusi untuk PAD Manggarai Barat mencapai Rp8,7 miliar dari 144.724 kunjungan wisatawan ke TNK.
Doroteus Hartono dan Venansius Darung dari Floresa mewawancarai Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat, Stefanus Jemsifori, pada 3 Juli untuk mengetahui strategi pemerintah daerah mengembangkan sumber-sumber pendapatan dari sektor pariwisata untuk meningkatkan PAD.
Berikut petikannya:
Sampai Juli 2025, berapa jumlah kunjungan wisatawan di Manggarai Barat?
Hingga akhir Juni, jumlahnya mencapai hampir 457.000 orang.
Namun, sekitar 75% di antaranya masuk ke dalam TNK.
Apa dampaknya terhadap pendapatan daerah?
Dari TNK kita tidak dapat apa-apa. Uang pun demikian, tidak ada yang masuk ke Pemda.
Kita hanya menyandang nama besar Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP).
Kenapa Anda mengatakan demikian?
Ada kontradiksi. Masyarakat di dalam kawasan TNK itu diurus oleh Pemda.
Kami berikan edukasi, pelatihan-pelatihan, bangun jalan, toilet dan pembinaan homestay. Pembangunan tembok penahan di pemukiman semua dilakukan oleh Pemda.
Namun, untuk tamu uangnya masuk ke BTNK.
Padahal, kalau ada masalah, Pemda yang urus, Pemda yang disorot.
Misalnya saat wisatawan asal China meninggal baru-baru ini, Pemda semua yang urus.
Apakah ada upaya untuk berkomunikasi pemerintah pusat, termasuk BTNK agar hasil dari TNK bisa berdampak bagi PAD?
Kami sudah ke Kementerian Kehutanan, tetapi sampai sekarang tidak ada jawaban.
Sejak 2023, tidak ada pemasukan untuk daerah dari TNK.
DPSP ini sesungguhnya untuk siapa?
Seberapa besar dampak pariwisata bagi PAD kita?
Faktanya, kunjungan wisatawan yang begitu besar tidak berimplikasi bagi PAD Manggarai Barat. Yang kunjung ke luar TNK itu beberapa saja.
Kalau tidak mengurus destinasi di kawasan TNK, Pemda mengurus apa saja?
Kami mengelola wilayah perairan di luar TNK melalui aktivitas snorkeling dan diving, Itu di daerah Pulau Kelor, Menjerite, Sebayur, Kanawa, Sabolo dan Bidadari. Kita juga mengelola desa-desa wisata.
Namun, itu tidak sebanding dengan wisatawan yang masuk ke TNK.
Data terkini per 30 Juni, total kunjungan sudah 457.000. Setelah saya buat persentasenya 75% masuk ke TNK.
Kalau begitu, apa strategi Pemda untuk memperoleh PAD dari sektor pariwisata?
Setelah tidak mendapat apa-apa dari TNK, Dinas Pariwisata harus kreatif mencari cara untuk mendapatkan keuntungan bagi daerah.
Masa kita jadi penonton saja?
Kami punya program inovasi yang namanya Fasilitasi Masyarakat Desa Wisata (Fasmadewi). Output program ini untuk membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).
Tidak ada jalan lain yang buat dibuat daerah ini, selain hanya dengan memfasilitasi desa wisata.
Dengan menata desa wisata, paling tidak ratusan wisatawan ada yang bisa ke desa-desa. Bagi-bagilah, jangan ke TNK semua.
Apa yang melatarbelakangi lahirnya Program Fasmadewi?
Kami berpikir kita boleh bangga dengan DPSP, tetapi tidak dapat hasil apa-apa untuk daerah.
Jadi, kita harus menata desa wisata.
Tidak mungkin jual daerah wisata itu mentah. Minimal komponen 4A yaitu Attraction (Daya Tarik), Accessibility (Aksesibilitas), Amenities (Fasilitas), dan Ancillary (Layanan Pendukung).
Orang-orang ke destinasi wisata karena akses yang mudah. Selain itu, harus ada atraksi. Misalnya tidak saja melihat air terjunnya, tetapi juga atraksi lain seperti pertunjukan budaya.
Yang paling penting juga adalah amenities berupa fasilitas dan layanan pendukung yang disediakan di suatu destinasi wisata untuk memenuhi kebutuhan dan kenyamanan wisatawan. Misalnya toilet.
Layanan pendukung mencakup informasi wisata, pemandu wisata dan pelembagaan wisata.
Apa saja yang mau dibangun dari Fasmadewi?
Kita siapkan desa wisatanya. Jangan sampai mentah begitu saja. Itu yang sedang kita lakukan sekarang.
Jadi, melalui Fasmadewi ini, 75% kita membangun SDM dulu.
Apa saja program untuk Fasmadewi?
Kita buatkan pelatihan tentang digital marketing, kepemanduan dan homestay.
Di Desa Mberenang, Kecamatan Lembor Selatan misalnya, kami membangun fasilitas hingga mencapai Rp6,7 miliar.
Kasihan kalau bangun fasilitas hingga Rp6,7 miliar, tetapi SDM kita belum siap.
Selain di Mberenang, desa mana saja yang sudah dikembangkan?
Ada Desa Ngalor Kalo, Cunca Lolos dan Warloka Pesisir.
Apakah ada potensi lain yang mau dikembangkan?
Potensi banyak, tetapi masalahnya pada akses. Kerja pariwisata itu tidak bisa kami sendiri. Mesti kolaborasi dengan Dinas Pekerjaan Umum untuk membuka akses seperti jalan.
Kami juga berencana membuat Fasmadewi di Bukit Golo Geleng, Desa Pong Narang. Kami sudah turunkan tim ke sana.
Harus kerja sama dengan legislatif juga. Kita merencanakan, kalau mereka tidak setuju, mau bagaimana lagi?
Berapa target Pemda untuk PAD dari sektor pariwisata?
Tahun lalu, target PAD Rp4 miliar dan hanya tercapai Rp2,7 miliar. Tahun ini, target Rp7 miliar, pencapaian baru Rp900 juta, jauh dari harapan.
Penurunan terjadi karena terbitnya Inpres No. 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran yang berdampak terutama ke kunjungan domestik.
Kunjungan domestik selama ini dari kementerian dan lembaga untuk buat kegiatan di sini. Namun, sekarang tidak ada lagi.
Sumber PAD sektor pariwisata berasal dari mana?
Kita punya Puncak Waringin, Batu Cermin, Gua Rangko, Cunca Wulang, Ngalor Kalo, Mberenang, Cunca Lolos dan Warloka.
Selain itu dari aktivitas snorkeling dan diving.
Belakangan ini pariwisata di Labuan Bajo disorot karena berbagai insiden, misalnya penipuan, wisatawan meninggal hingga kapal tenggelam. Bagaimana respons Anda?
Dalam beberapa kasus memang selalu kami yang disorot. Padahal, beberapa kasus itu ada di TNK. Kami hanya berpikir soal citra pariwisata kita saja.
Kami sudah memanggil dan mencari agen Gratio Tour – yang terlibat dalam kasus penipuan wisatawan – untuk klarifikasi, tetapi dia tidak ada.
Soal wisatawan China yang meninggal, kami mengurusnya di RSUD Komodo, hingga membantu kepulangan.
Apa yang dilakukan untuk meminimalisasi kecelakaan seperti ini?
Baru-baru ini kami adakan rapat bersama dengan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) dan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). Kami mau membangun sekretariat bersama agar pemerintah mudah mengontrol agen dan guide.
Kami tidak pernah tahu berapa jumlah agen sekarang karena perizinannya selalu melalui aplikasi.
Melalui sekretariat ini, meski sudah mendaftar melalui aplikasi, harus tetap juga mendaftar ke daerah.
Editor: Petrus Dabu