Floresa.co – Fenomena minimnya perhatian media arus utama yang semuanya berbasis di Jakarta pada isu-isu krusial di daerah menjadi salah satu gambaran bagaimana susahnya mengharapkan pers di Indonesia menjalankan peran sebagai pilar demokrasi, menurut peneliti media.
Berbicara dalam diskusi di Rumah Kopi Kebun Kota, Labuan Bajo pada 24 Agustus, Sita Dewi, kandidat PhD di Departemen Perubahan Politik dan Sosial Universitas Nasional Australia menyinggung soal masalah laten yang mendera pers Indonesia saat ini.
Ia menyebut masalah utamanya pada konsentrasi kepemilikan media arus utama di tangan segelintir elite dan konglomerat, yang merujuk pada sejumlah riset ada pada 8-10 “oligark media.”
Sita merujuk pada riset Ignatius Hariyanto pada 2012 dalam Media Ownership and Its Implications for Journalists and Journalism in Indonesia dan buku Ross Tapsell pada 2017 berjudul Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution.
Kendati sudah ada beberapa media yang komposisi kepemilikannya sudah berubah, namun beberapa masih bertahan seperti Chairul Tanjung (CT Corp); Bakrie Group (Visi Media Asia), Surya Paloh (Media Group) dan keluarga Jacob Utama (Kompas Gramedia).
“Kalau kita lihat dari kepemilikan ini, yang cukup mencolok adalah (mereka) dekat dengan kekuasaan,” selain “sangat kuat secara ekonomi,” kata Sita.
Situasi ini membuat media lebih berperan melayani kepentingan ekonomi dan politik pemiliknya, bukan kepentingan publik, tambahnya dalam diskusi hybrid itu yang diinisiasi Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores dan Puan Floresta Bicara.
Masalah Muncul Sejak Berdiri
Sita berkata, konglomerasi media membuat persoalan terkait pers di Indonesia sudah muncul sejak media lahir.
Media-media yang dikendalikan korporat atau pers korporat muncul “bukan untuk melayani publik atau menjadi pilar keempat demokrasi untuk check and balance, tetapi untuk menambah posisi tawar pemiliknya, untuk kepentingan bisnis dan kepentingan politik.”
“Kepentingan bisnis juga bukan hanya untuk mendapatkan untung dari berbisnis media, tetapi untuk memastikan lini usaha yang lain aman,” tambah Sita.
Lini usaha para konglomerat merambah ke sektor lain, seperti perhotelan, properti, pendidikan, keuangan dan perbankan.
Ia mencontohkan Lippo Group — saat masih mengendalikan grup Berita Satu Media Holding sebelum beralih ke eks Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita di bawah bendera baru B-Universe-yang punya bisnis rumah sakit hingga properti.
“Jangan harap bahwa jurnalis-jurnalisnya menulis ketika ada masalah di salah satu lini usahanya,” katanya, sembari menyebut contoh saat proyek properti Meikarta milik Lippo Group di Bekasi, Jawa Barat tersangkut masalah pada 2017.
Sita berkata, menariknya, selain tak diliput media di bawah Lippo, muncul juga fenomena lain dalam kasus itu ketika iklan Meikarta bertebaran masif di mana-mana, termasuk di Grup Kompas.
Kendati Kompas dari grup konglomerasi yang berbeda, “tetapi kita bisa melihat problemnya di mana,” susah mengharapkan bahwa media tersebut menulis secara kritis tentang proyek itu.
“Itu sudah jadi satu kegagalan dari pers korporat. Sudah pasti sangat membatasi ruang gerak redaksi,” katanya.
Sita juga menyoroti soal masalah bias geografis, terkait lokasi media arus utama yang terkonsentrasi di Jakarta, sementara Indonesia adalah negara yang sangat besar dan kompleks.
Karena medianya ada di Jakarta, maka pertimbangan soal nilai berita dipatok di ibu kota, apalagi dengan mempertimbangkan aspek kedekatan peristiwa yang layak jadi berita, sebagaimana jadi salah satu doktrin jurnalisme.
Apa dampak dari situasi ini? Ada pengabaian terhadap isu-isu penting yang dialami kelompok marginal di daerah-daerah, kata Sita.
Soal bias geografis, jelasnya, tidak heran berita soal warga Poco Leok di Kabupaten Manggarai yang menolak geotermal demi ruang hidup mereka tidak menjadi perhatian media arus utama karena tidak dianggap dekat dengan Jakarta.
Berita demikian kalah penting dengan berita lain yang “lebih dekat secara psikologi dan geografis” dengan editor media yang berbasis Jakarta.
Belum lagi ketika berbicara soal doktrin lain dalam jurnalisme tentang ketokohan atau orang-orang terkenal sebagai salah satu nilai berita.
Doktrin itu membuat kantor redaksi mematok kriteria narasumber pada aspek ketenaran, “semakin tenar, semakin baik dan kuat nilai beritanya.”
Hal itu membuat pernyataan atau kutipan dari narasumber seperti presiden, menteri dan bupati yang dianggap narasumber A1, mendapatkan tempat paling utama, mungkin pada judul atau teras berita.
Di sisi lain, ruang bagi mereka yang dianggap marginal kian terbatas karena narasi individu yang tenar “dianggap lebih penting” berkat kekuasaan mereka.
Bayangkan, kata Sita, ketika keputusan tentang nilai-nilai berita ini dibuat oleh subjek-subjek yang dekat dengan penguasa, didominasi oleh laki-laki, kebanyakan heteroseksual, maka isu-isu kelompok marginal kian tersisihkan.
Ia mendasari argumennya pada riset lembaga pemantau media Remotivi pada 2023 yang menemukan bahwa narasumber dari kelompok marginal hanya 20% dalam liputan media terkait komunitas mereka, sementara sumber-sumber non-marjinal mencapai 80%.
Sementara Human Rights Watch, lembaga pemerhati hak asasi manusia berbasis di New York menyebut media gagal dalam ujian ketika dihadapkan dengan topik-topik sensitif seperti homofobia dan misogini.
Dilema sebagai Jurnalis
Ambrosius Ardin, jurnalis Detik.com yang berbasis di Labuan Bajo mengamini sejumlah catatan Sita, terutama pada cengkeraman konglomerat media.
Ia berkata, wacana dan diskusi yang mengangkat pertanyaan-pertanyaan tentang kinerja pers penting karena “semua fungsi pers mengerucut pada satu hal, yaitu melayani publik.”
Ambros mengakui para jurnalis kerap mengalami dilema saat isu-isu yang diliput bersinggungan dengan kepentingan ekonom media.
Ia berkata, upaya mempertahankan idealisme menghadapi tantangan ketika pada saat yang sama harus melayani kepentingan “tidak hanya pemilik media, tetapi teman-teman pemilik media.”
Jurnalis di lapangan tidak bisa memaksakan diri menulis topik yang berseberangan dengan kepentingan itu.
“Mau tulis bagaimanapun, keputusan menayangkan berita itu bukan di lapangan,” katanya.
Pada akhirnya, kata Ambros, mau tidak mau harus disadari bahwa “jurnalis adalah buruh” dalam relasinya dengan perusahaan media.
Dalam perusahaan pers, kata Ambros, kepentingan unit redaksi dan bisnis harus diakomodasi dan sebisa mungkin keduanya berjalan beriringan.
Selain dari perusahaan media, Ambros juga menyoroti tantangan lain yang ia temukan di Labuan Bajo soal alasan luputnya perhatian terhadap isu publik, yakni pada sensitivitas jurnalis.
“Tidak semuanya punya sensitivitas seperti itu,” katanya.

Di samping itu, “kita tidak bisa menafikan bawa ada juga yang tidak tahan godaan,” merujuk pada tawaran menerima pemberian narasumber dan pihak lain yang mempengaruhi karya jurnalistik.
Sita mengakui tantangan finansial yang dihadapi media-media, termasuk yang kini memicu gelombang pemutusan hubungan kerja.
Namun, ia tetap memberi catatan soal problem mendasar konglomerasi media yang sejak awal bukan untuk melayani publik, tetapi untuk kepentingan ekonomi dan politik.
Tujuan demikian membuat pilihan media mencari sumber pendanaan yang mengabaikan kepentingan publik.
Ia mencontohkan saat pandemi Covid-19, di mana banyak pers korporat mendapat suntikan dana iklan dari perusahaan plat merah (BUMN). Salah satu konsekuensinya adalah sulit mengharapkan berita yang kritis pada penanganan Covid itu.
Ia berkata, banyak pers korporat yang memang mengklaim punya firewall atau pembatas api antara bisnis dan redaksi.
Namun, kata dia, “itu teori saja” karena redaksi sangat sulit mempertahankan independensi ketika secara ekonomi mereka sangat bergantung pada pemberi uang.
Sejumlah soal ini, jelasnya, membuat pers korporat — meminjam istilah Daniel Dhakidae, pemikir sosial asal Ngada, Flores — sulit mencari celah untuk bisa melayani publik, terutama publik yang secara subjektif dianggap oleh pembuat keputusan di media sangat marjinal.
Media Alternatif, Antitesis Pers Korporat
Di tengah situasi ini, harapan bagi pers yang menjadi pilar demokrasi ada pada media-media alternatif yang terus muncul pada beberapa tahun terakhir.
Media seperti ini yang Sita sebut sebagai media gerilya umumnya kecil dan secara eksplisit menyebutkan keberpihakannya.
“Mereka lahir dengan tekad mengadvokasi isu-isu yang dianggap kurang direpresentasikan di media arus utama atau media yang berbasis nasional,” katanya.
“Ada yang berbasis wilayah seperti Floresa. Ada juga media yang berbasis isu, misalnya Konde.co yang mengadvokasi isu kesetaraan gender.”

Sita sedang mendalami kemunculan media-media ini untuk studi doktoralnya. Salah satunya adalah Floresa, membuat ia berada di Labuan Bajo selama hampir tiga pekan untuk wawancara dan observasi.
Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa yang juga menjadi narasumber diskusi itu berkata, sejak berdiri pada 2014, Floresa memilih melayani kaum marjinal dan masyarakat rentan karena meyakini bahwa “jurnalisme tidak melayani kekuasaan.”
Ia juga berkata, Floresa tidak percaya bahwa media itu netral, menyebutnya sebagai ilusi. Karena itu, Floresa mengungkap secara terang keberpihakannya.
Hal itu termanifestasi pada perhatian besar pada isu-isu yang berdampak pada masyarakat adat, terutama di tengah situasi Flores yang digempur proyek strategis nasional, seperti geotermal dan proyek pariwisata, juga pada isu kelompok rentan, seperti kekerasan seksual.
Namun, ia mengakui ujian besar bagi media alternatif. Selain menghadapi represi, lemahnya perlindungan, juga pada isu keberlanjutan.
Ia berkata, selain berhadap pada donor, Floresa berusaha memilih merintis usaha mandiri, berupaya mendapat berbagai beasiswa liputan, kolaborasi liputan dengan media lain, kerja sama dengan berbagai organisasi masyarakat sipil dan menggalang donasi publik.
Sita ikut memberi catatan pada keberlanjutan media alternatif karena umumnya masih bergantung pada donor.
“Jika uang dari donor habis, lalu apa?” tanyanya.
Ia berkata, untuk bisa bertahan media-media alternatif perlu memikirkan beragam skema, termasuk meningkatkan keterlibatan atau engagement publik untuk berkontribusi dalam pembiayaan.
Ia meyakini, ketika publik ikut berkontribusi pada keberlanjutan media, “semakin besar tanggung jawab moral media untuk bekerja melayani mereka.”
Editor: Ryan Dagur