Siasat Bisnis Tommy Winata Berdalih Konservasi di Pulau Padar

Sembari menjalin kerja sama dengan Balai Taman Nasional Komodo untuk kegiatan konservasi melalui PT Palma Hijau Cemerlang, Tomy Winata mengembangkan pusat bisnis dengan ratusan vila melalui PT Komodo Wildlife Ecotourism

Floresa.co –  Hampir sepuluh bulan lalu, Tomy Winata hadir di pesisir utara Pulau Padar bersama Kepala Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) Hendrikus Rani Siga.

Sebuah video yang merekam kunjungan pada 29 Oktober 2024 itu memperlihatkan ia duduk berderetan dengan Hendrikus, seorang polisi dan beberapa orang lainnya. 

Duduk dan berdiri di sekitar mereka sekitar belasan orang yang mendengar dengan saksama pembicaraan Tomy.

Ia memberi ceramah tentang pentingnya menjaga kawasan itu dari kerusakan ekosistem, dengan sesekali menoleh ke Hendirikus meminta afirmasi atas sejumlah klaimnya.

Ia antara lain berencana meningkatkan populasi rusa di Taman Nasional Komodo hingga 1.000 ekor dan menjaga kelestarian ekosistem laut demi kelangsungan hidup berbagai satwa.

Tomy juga menyoroti keberadaan komodo di Pulau Padar dan bertekad meningkatkan populasinya dalam beberapa tahun mendatang.

Mengklaim komodo di Pulau Padar hanya sekitar 34 ekor, ia berkata, “dalam beberapa tahun mendatang, populasi komodo bisa mencapai 70 ekor.” 

Saat kunjungan itu, publik belum mengetahui bahwa taipan Grup Artha Graha itu sebenarnya sudah menguasai saham PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), perusahaan yang diberi izin usaha pengembangan pariwisata alam (IUPSWA) sejak 2014 di Pulau Padar dan Pulau Komodo. 

Perusahaan yang semula dimiliki antara lain oleh keluarga Setya Novanto itu belum bisa memulai aktivitas karena resistensi masyarakat dan tekanan UNESCO.

Hendrikus menutup rapat rencana bisnis Tomy. Kehadiran Tomy kala itu, katanya, terkait dengan PT Palma Hijau Cemerlang (PHC).

Perusahaan itu meneken Perjanjian Kerja Sama dengan BTNK pada 18 Oktober 2024 untuk penguatan pengelolaan Taman Nasional Komodo, mencakup area seluas 5.815,3 hektare.

Penguatan tersebut termasuk secara kelembagaan, perlindungan pengamanan kawasan, pemberdayaan masyarakat, pengawetan flora dan fauna, pemulihan ekosistem serta pengembangan wisata alam di Pulau Padar dan sekitarnya.

Floresa menemui Hendrikus dalam sebuah wawancara di kantornya pada awal Juni. Ia  menolak berbicara soal Tomy dan tujuan kehadirannya di Pulau Padar selain dalam rangka kerja sama PT PHC dengan BTNK.

Wawancara itu merespons desas-desus di kalangan pelaku pariwisata di Labuan Bajo yang menyebut adanya rencana pembangunan hotel di Pulau Padar.

Pada April lalu, Hugo, seorang pemandu wisata yang sedang bersama wisatawan mengaku diusir seorang petugas keamanan PT PHC saat singgah di Padar bagian utara, di pos yang memiliki jetty atau dermaga kecil.

Saat menanyakan alasan melarang menikmati pantai, petugas itu memberi tahu mereka bahwa empat atau lima tahun ke depan akan dibangun hotel di kawasan tersebut. 

Kepada Floresa, Hendrikus berkata, penjelasannya soal korporasi yang beraktivitas di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, termasuk Pulau Padar, sudah cukup seperti yang dia sampaikan dalam rapat dengar pendapat di DPRD Manggarai Barat pada 28 April.

Ia berulang kali meminta Floresa cukup menanyakan hal itu.

Dalam rapat di DPRD tersebut, Hendrikus mengklaim keberadaan perusahaan atau koperasi di Taman Nasional Komodo merupakan “amanat” dari Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Konservasi. 

“Itu tidak hanya di Taman Nasional Komodo. Hampir semua taman nasional di Indonesia memberikan izin pengusahaan pariwisata,” katanya dalam rapat tersebut yang berakhir ricuh, di mana dirinya hampir beradu fisik dengan seorang aktivis.

Hendrikus mengakui bahwa isu di Taman Nasional Komodo menjadi sangat sensitif karena kawasan ini memiliki tiga status internasional, yakni Situs Warisan Dunia, Cagar Biosfer dan satu dari Tujuh Keajaiban Alam Dunia.

“Karena tiga status ini, pengawasan terhadap aktivitas pembangunan di Taman Nasional Komodo sangat ketat, termasuk oleh UNESCO,” katanya.

Ia mengklaim untuk memenuhi standar UNESCO, yang bertanggung jawab atas statusnya sebagai Situs Warisan Dunia, semua aktivitas pembangunan harus melengkapi dokumen Kajian Lingkungan Strategis (Strategic Environmental Assessment) dan Environmental Impact Assessment atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Di sisi lain, ia juga mengakui adanya keberatan dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan dan pemerhati taman nasional. “Memang secara moral, publik bisa keberatan. Tapi, dari sisi aturan, itu dimungkinkan,” katanya.

Urbanus Sius, Kepala Sub Bagian Tata Usaha BTNK yang berbicara dalam diskusi di Labuan Bajo pada 30 Juli juga menolak berbagi informasi soal PT KWE. 

Menanggapi pertanyaan peserta diskusi soal kaitan antara PT PHC dengan PT KWE dan Tomy Winata, ia berkata, BTNK tidak peduli orang-orang di baliknya selagi mereka telah mengikuti regulasi.

Asal izinnya “sudah sesuai ketentuan,” katanya, mereka boleh beroperasi, menegaskan bahwa BTNK tidak mau tahu tentang nama-nama dalam setiap perusahaan.

Bisnis Berbalut Klaim Konservasi

Teka-teki kehadiran Tomy di Taman Nasional Komodo baru diketahui publik setelah laporan Floresa bertajuk Para Pemburu Cuan di Pulau Padar mengungkap kepemilikan baru PT KWE.

Mulanya, perusahaan itu terhubung dengan Setya Novanto, eks Ketua Umum Partai Golkar, Ketua DPR RI dan koruptor kasus KTP elektronik yang mewakili daerah pemilihan NTT selama hampir 20 tahun.

Anak Novanto, Reza Herwindo tercatat sebagai Komisaris Utama PT KWE dalam akta pertama perusahaan itu yang terbit pada 2011.

Namun, sejak tahun 2023, sebagian besar saham perusahaan itu telah dikuasai oleh jaringan bisnis Tomy Winata.

Akta terbaru perusahaan itu – yang mengalami tiga kali perubahan – bernomor AHU-0028175.AH.01.02.TAHUN 2023 dan disahkan pada 23 Mei 2023.

Alamatnya tercatat di Jalan Soekarno Hatta Nomor 74, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat. 

Saat Floresa mendatangi alamat itu untuk wawancara, kantor perusahaan itu tidak ditemukan. 

Dalam akta itu, PT Adhiniaga Kreasinusa tercatat sebagai pemegang saham mayoritas dengan jumlah 5.835 lembar senilai total Rp5.835.000.000.

Saham lainnya adalah milik PT Agrotekno Nusantara dan PT Prima Mandiri Logistic dengan jumlah yang sama, masing-masing 1.250 lembar senilai total Rp1.250.000.000.

PT Adhiniaga Kreasinusa – yang  bernaung di bawah Artha Graha Peduli dan dipimpin langsung Tomy Winata sebagai direktur utama – merupakan pengelola Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, kawasan konservasi seluas 365.000 hektare di Lampung. Konsesinya seluas 48.153 hektare hutan dan 14.089 hektare wilayah laut.

Selain ketiga perusahaan itu, nama baru yang tercatat pada akta perubahan PT KWE dan terhubung dengan Tomy Winata adalah Erick Hartanto yang menjabat sebagai komisaris utama.

Dua orang yang mewakili PT PHC sempat menemui jurnalis Floresa di Labuan Bajo pada 8 Agustus usai terbitnya laporan yang mengungkap sosok Tomy di balik PT KWE.

Mereka mengakui soal keberadaan Tomy Winata di balik PT PHC, yang seperti PT KWE, terhubung dengan Grup Artha Graha. 

Aktivitas PT PHC yang kini dikemas dalam agenda Padar Heritage Conservation, kata mereka, akan menyasar dana tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) PT KWE.

Salinan akta PT PHC yang diakses Floresa pada 14 Agustus menunjukkan ada lima pengurus, dua di antaranya adalah pemegang saham.

Dari kelima nama itu, salah satu juga ada di dalam akta PT KWE adalah Erick Hartanto.

Di PT PHC, Erick memiliki satu lembar saham senilai Rp1.000.000 dengan posisi sebagai komisaris utama, sama seperti posisinya di PT KWE.

Pemegang saham mayoritas PT PHC adalah PT Abadi Prakarsa Mulia Sentosa, dengan 1.249 saham senilai Rp.1.249.000.000. 

Penelusuran Floresa,  PT Abadi Prakarsa Mulia Sentosa ini pernah disebut dalam salah satu dokumen Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Pasar Modal pada 2023 sebagai “investor yang sudah tertarik untuk mengembangkan hotel resor” di Bukit Pramuka, lahan milik Pemda Manggarai Barat di kota Labuan Bajo. Menurut dokumen tersebut, kawasan bukit seluas 14,2 hektare itu dinamai “Bukit Pramuka Hotel Resort & Culture – Leisure Park,” dengan nilai investasi Rp395 miliar.

Tiga nama lainnya dalam PT PHC adalah Dian Sagita sebagai direktur utama, Teguh Adi Wardoyo sebagai direktur dan Mark Moses Pattikawa sebagai komisaris. Ketiganya tercatat tidak memiliki saham.

Mark Moses Pattikawa bersama Erick Hartanto juga berada di PT Prima Mandiri Logistic, salah satu pemegang saham PT KWE, yang terhubung dengan PT Global Nusantara Putranto, perusahaan milik anak Setya Novanto, Gavriel Putranto Novanto-yang kini sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar. 

Di PT Prima Mandiri Logistic, Mark Moses Pattikawa adalah direktur utama dan Erick Hartanto sebagai komisaris utama.

Perihal kaitan antara Erick Hartanto dengan Tomy Winata, selain via PT KWE dan PT PHC, mereka juga terhubung lewat Jakarta International Hotels & Development Tbk. atau JIHD. 

Perusahaan bisnis properti dan perhotelan itu dipimpin Sugianto Kusuma sebagai presiden komisaris dan Tomy Winata sebagai wakil presiden komisaris. Erick tercatat sebagai direktur.

Sugianto Kusuma, dikenal Aguan, merupakan pemilik Agung Sedayu Group yang beberapa waktu lalu disebut-sebut terlibat dalam skandal pagar laut untuk proyek strategis nasional Pantai Indah Kapuk atau PIK 2 di Tangerang, Banten. Sementara nama Tomy jadi buah bibir dalam skandal proyek di Rempang Eco-City, Pulau Rempang, Batam.

Menurut akta terbaru itu, bidang usaha PT KWE mencakup Hotel Bintang, Pondok Wisata, Usaha Kehutanan Lainnya, Vila, Apartemen Hotel, Restoran dan Bumi Perkemahan, Persinggahan, Karavan dan Taman Karavan.

PT KWE berencana mendirikan pusat bisnis pariwisata dengan 619 bangunan di sepanjang pesisir utara Pulau Padar. Hal itu terungkap dalam pertemuan yang diklaim sebagai konsultasi publik di Golo Mori Convention Center, Labuan Bajo pada 23 Juli lalu.

Ratusan bangunan itu mencakup 448 vila, 13 restoran, 7 lounge, 7 gym center, 7 spa center, 67 kolam renang, sebuah bar raksasa seluas 1.200 meter persegi dan sebuah Hilltop Chateau (bangunan kastel/istana bergaya Perancis). Selain itu, akan dibangun sebuah gereja yang dipakai untuk acara pernikahan (wedding chapel)

Sejumlah sarana akan didirikan di atas lokasi seluas 274,13 hektare di sepanjang pesisir utara Pulau Padar, tempat di mana Pink Beach dan Long Beach yang merupakan salah satu ikon utama Taman Nasional Komodo berada.

Direktur Konservasi Kawasan Kementerian Kehutanan, Sapto Aji Prabowo, mengatakan sejauh ini PT KWE masih dalam proses penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), menurut siaran pers Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) pada 23 Juli. 

Ia berkata, “hasilnya nanti akan dilaporkan kepada UNESCO, sebelum pembangunan benar-benar dimulai.”

Sempat Mencoba Masuk via Laiskodat

Sebelum kini masuk melalui PT KWE, jaringan bisnis Tomy Winata sempat masuk ke Taman Nasional Komodo lewat PT Flobamor, Badan Usaha Milik Daerah Provinsi NTT yang diberi izin pengelolaan jasa wisata di kawasan itu sejak 2022.

Gubernur saat itu adalah Viktor Bungtilu Laiskodat yang dikenal memiliki hubungan kekerabatan dan bisnis dengan Tomy.

Pada September 2022, petugas dari PT Adhiniaga Kreasinusa yang mengelola TWNC di TN Bukit Barisan Selatan pernah dibawa PT Flobamor ke Pulau Padar dan memberikan pelatihan naturalist guide atau pemandu wisata alam bagi 15 pemuda dari Desa Komodo.

Kala itu, PT Flobamor diberi Izin Penguasaan Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) untuk mengelola jasa pariwisata di kawasan seluas 712,12 hektare yang mencakup Pulau Komodo, Pulau Padar serta perairan sekitarnya.

Perusahaan itu membuat sejumlah kebijakan kontroversial seperti menaikkan biaya akses masuk secara drastis di wilayah yang berada di bawah penguasaanya, yaitu Rp3.75 juta per orang dan Rp15 juta per empat orang dengan sistem keanggotaan yang berlaku selama satu tahun. 

Setelah hengkang dan meninggalkan berbagai kontroversi, konsesi PT Flobamor beralih ke dua perusahaan lainnya yang diberi IUPJWA, yakni PT Nusa Digital Creative (PT NDC) dan PT Pantar Liae Bersaudara.

Keduanya mendapatkan izin pengelolaan di kawasan konservasi itu saat belum setahun didirikan. PT NDC didirikan pada 16 November 2023 dengan SK AHU-0070790.AH.01.02.Tahun 2023 dan PT Pantar Liae Bersaudara pada 11 Juli 2023 dengan SK AHU-0039311.AH.01.02.Tahun 2023.

Viktor Bungtilu Laiskodat sempat terekam hadir di Pulau Padar bersama PT PHC pada 13 April 2025, sebagaimana dalam video yang diunggah akun Instagram Padar Heritage Conservation.

Laiskodat, yang kini Anggota Komisi I DPR RI itu berkunjung bersama Wakil Menteri Pariwisata, Ni Luh Puspa “untuk melihat kerja tim PHC.”

Membahayakan Konservasi dan Masa Depan Pariwisata Indonesia

Padar adalah satu dari tiga pulau utama yang menjadi habitat Komodo di dalam kawasan Taman Nasional Komodo.

Menurut Balai Taman Nasional Komodo pada tahun 2024, jumlah populasi Komodo di Pulau Padar sebanyak 31 ekor.

Bentang alam yang indah, dengan kombinasi perbukitan savana, pantai-pantai berwarna putih dan pink, serta laut yang biru membuat pulau ini menjadi favorit wisatawan. Dari puncak pulau ini, pengunjung juga dapat menyaksikan momen matahari terbit dan terbenam.

Proyek ini menuai protes dari berbagai elemen dan sorotan dari UNESCO yang bertanggung jawab terhadap statusnya sebagai Situs Warisan Dunia karena dinilai berbahaya bagi masa depan habitat Komodo.

Kendati konsesi perusahaan-perusahaan ini berada di zona pemanfaatan, namun pemerintah memberikan konsesi usai “diam-diam” memperluas zona pemanfaatan pada 2012 dan tidak dilaporkan kepada UNESCO.

Dalam zonasi sebelum tahun 2012 misalnya, Pulau Padar seluruhnya adalah zona inti dan zona rimba, yang tidak diperbolehkan bagi kegiatan bisnis. Usai utak-atik zonasi, konsesi pun digelontorkan.

Dalam pernyataan terbaru pada bulan lalu, UNESCO meminta pemerintah “membuat keputusan yang menjamin pendekatan pariwisata yang berkelanjutan—baik di Taman Nasional Komodo maupun di kawasan sekitarnya—dengan tujuan melindungi Nilai Universal Luar Biasa” kawasan itu.

Doni Parera, seorang pegiat sosial yang memberi perhatian pada isu konservasi di Taman Nasional Komodo berkata, “PT PHC hanya tameng untuk melindungi kerakusan PT KWE.”

“Hanya satu orang saja pengendalinya. Ya, semua untuk keuntungan dia saja. Ini seperti racun yang dibalut gula. Kita dipaksa melihat dan menilai gula yang manis. Racun mematikan bagi konservasi tersembunyi di baliknya,” katanya.

Ia berkata, “kita jangan terpedaya dengan siasat licik pengusaha.”

“Biarkan saja mereka yang mungkin sudah kena sogok, takut kehilangan jabatan, kelompok-kelompok perampok sumber daya alam kita saja yang termakan omong kosong,” kata Doni kepada Floresa pada 14 Agustus.

“Betapa bebal jika kita percaya bahwa dengan masuk ke dalam habitat komodo, membangun segala sesuatu untuk kepentingan manusia di sana, adalah untuk kepentingan melestarikan komodo,” tambahnya.

Sementara itu, dalam salah satu artikel analisisnya yang dipublikasi Floresa, peneliti Cypri Jehan Paju Dale, menyebut, struktur kepemilikan dan cara kerja perusahaan-perusahaan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo menunjukkan corak ekologi politik birokrasi Indonesia yang ditandai oleh rendahnya tanggung jawab pelestarian lingkungan di satu sisi dan watak koruptif di sisi lain. 

“Kendati seringkali mengusung jargon konservasi dan pembangunan berkelanjutan, lewat akses pada kebijakan tentang zonasi dan perizinan, gerombolan pejabat dan pengusaha ini menyasar kawasan konservasi untuk dijadikan kawasan bisnis berkeuntungan tinggi. Dan, bisnis itu dilakukan tidak lain dan tidak bukan oleh diri dan keluarga mereka sendiri,” tulisnya.

Ia mengingatkan bahwa pariwisata adalah bisnis yang rentan dengan reputasi dan turis bukan hanya sekelompok manusia hedon yang datang untuk bersenang-senang.

“Mereka memiliki rangkaian nilai ekologis, sosial, dan budaya. Tergerusnya habitat komodo oleh bisnis pariwisata, pelanggaran hak masyarakat setempat, monopoli bisnis, praktik korupsi adalah racikan yang mematikan bagi reputasi pariwisata Flores,” katanya. 

“Reputasi sebagai pariwisata berkelanjutan akan segera diganti oleh imij pariwisata berbasis resor mewah yang dibangun dengan praktik-praktik manipulatif dan korupsi sistemik,” urainya.

Sorotan juga muncul dalam pernyataan Uskup Labuan Bajo, Mgr Maksimus Regus baru-baru ini.

Ia prihatin pada ancaman terhadap masa depan pariwisata di Labuan Bajo karena pendekatan eksploitatif, mengibaratkannya sedang menyiapkan kuburan bagi generasi masa depan.

Kendati tidak menyinggung eksplisit polemik proyek di Pulau Padar, menurutnya, “sesuatu yang membahayakan masa depan pariwisata Labuan Bajo ketika profit-oriented (orientasi keuntungan) sebesar-besarnya cenderung menggoda kita dalam menerapkan pendekatan eksploitatif yang pasti mencederai makna keberlanjutan dari keindahan pariwisata.” 

Dalam sambutannya pada 9 Agustus saat membuka Festival Golo Koe 2025, ia mengingatkan bahwa “bukan karena kita memiliki kapasitas untuk mengeksplorasi—lalu kita melakukannya tanpa memperhitungkan masa depan lingkungan hidup—dan kemudian menjadikan kawasan ini sebagai kuburan bagi generasi masa depan.”

Sementara itu, sebuah petisi telah beredar di platform daring Change.org pada 9 Agustus, bertajuk Selamatkan Taman Nasional Komodo dari Pengrusakan oleh Konsesi Pusat Bisnis Wisata. Hingga 14 Agustus, petisi itu telah diteken lebih dari 5.000 orang.

Diinisiasi Forum Masyarakat Sipil Flores, petisi itu mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Kehutanan segera mencabut konsesi perusahaan-perusahaan di Taman Nasional Komodo dan menghentikan semua rencana mereka.

Kepada UNESCO, petisi itu mendesak agar lembaga itu “terus konsisten menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan Situs Warisan Dunia dan tidak memberikan persetujuan atas rencana Pemerintah Indonesia.”

Editor: Anno Susabun dan Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA