Di tengah Polemik Pulau Padar, Uskup Maksimus Regus Prihatin Masa Depan Pariwisata Labuan Bajo; Keindahan Alam hanya Dilihat sebagai Sumber Cuan

“Hasrat pada akumulasi profit akan menggiring keindahan pariwisata Labuan Bajo sekedar sebagai arena kerakusan dan ketamakan,” kata uskup

Floresa.co – Uskup Labuan Bajo, Mgr Maksimus Regus menyinggung soal ancaman terhadap masa depan pariwisata di Labuan Bajo karena pendekatan eksploitatif, mengibaratkannya sedang menyiapkan kuburan bagi generasi masa depan, sebuah pernyataan yang muncul di tengah ramainya polemik terkait investasi di Pulau Padar.

Menurutnya, pendekatan terhadap pembanguan pariwisata “perlu mendapatkan perhatian kritis kita semua.”

“Adalah sesuatu yang membahayakan masa depan pariwisata Labuan Bajo ketika profit-oriented (orientasi keuntungan) sebesar-besarnya cenderung menggoda kita dalam menerapkan pendekatan eksploitatif yang pasti mencederai makna keberlanjutan dari keindahan pariwisata,” katanya dalam sambutan saat membuka Festival Golo Koe 2025 pada 9 Agustus.

Model pariwisata demikian, kata dia, berseberangan dengan harapan Gereja Katolik lewat festival tersebut yang mulai digelar pada empat tahun lalu dengan mengusung pendekatan multi-perspektif.

Festival itu, katanya, “memadukan dimensi-dimensi penting yang bersentuhan dengan kehidupan komunitas lokal—mulai dari aspek religiusitas, kerohanian, kultural, ekonomi, dimensi lintas-iman.” Hal ini membuatnya menjadi “ruang perjumpaan dan persaudaraan sosial.”

Tahun ini festival tersebut mengusung tema Merajut Kebangsaan dan Pariwisata Berkelanjutan yang Sinodal dan Inklusif, yang menurut uskup menggugah kita semua tentang bagaimana memandang dan memperlakukan pariwisata di Labuan Bajo.”

Ia berkata, saat ini “hasrat pada akumulasi profit” telah “menggiring keindahan pariwisata Labuan Bajo sekedar sebagai arena kerakusan dan ketamakan, dan kemungkinan sulit menyisakan manfaat yang besar bagi komunitas lokal kita.”

Ia pun mengajak agar “sebelum berjalan jauh ke dalam bentara kerusakan,” perlu melihat kembali agar “anugerah pariwisata di Labuan Bajo mendapatkan tanggapan pendekatan yang komprehensif.”

Pendekatan itu, jelasnya, “berbasiskan pada nilai keberlanjutan dan keselamatan komunitas lokal.”

Ia mengontraskan hal itu dengan aksi monolitik yang “melihat keindahan Labuan Bajo hanya sebagai sumber cuan tanpa batas bagi mereka yang memiliki modal tanpa batas.”

Ia mengingatkan bahwa “bukan karena kita memiliki kapasitas untuk mengeksplorasi—lalu kita melakukannya tanpa memperhitungkan masa depan lingkungan hidup—dan kemudian menjadikan kawasan ini sebagai kuburan bagi generasi masa depan.”

Ia berkata, Festival Golo Koe “ingin melihat keindahan pariwisata sebagai sebuah panggilan masa depan dengan misi sinodal—dengan kandungan solidaritas di dalamnya—sekaligus inklusif dalam memperkuat nilai-nilai kebangsaan—sekaligus kelokalan.”

Ia berkata, festival itu hendak menekankan makna berkelanjutan yang merujuk pada sebuah ruang tersisa dalam kesadaran “bahwa keindahan Labuan Bajo adalah titipan dari generasi masa depan untuk kita jaga dan dipakai seperlunya saja.

Dengan demikian, lewat festival itu, Gereja Katolik menghadirkan “sebuah narasi tandingan terhadap bahaya geliat eksploitatif atas keindahan alam dan lingkungan di kawasan ini.”

Polemik Pusat Bisnis di Pulau Padar

Maksimus tidak menyinggung secara eksplisit masalah konkret yang dikritiknya dalam sambutan di hadapan para imam, umat Katolik dan para pejabat pemerintah itu.

Mereka yang mendengar sambutannya termasuk perwakilan Kementerian Pariwisata, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dan Kepala Badan Pelaksana Otoritas Pariwisata Labuan Bajo-Flores.

Saat ditanya Floresa pada 11 Agustus soal masalah-masalah konkret yang hendak ia sasar, Maksimus mengarahkan mewawancarai Sekretaris Jenderal Keuskupan yang juga Ketua Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC), Romo Frans Nala dan anggota komisi itu, Romo Silvianus Mongko.

Romo Frans tidak memberi komentar, beralasan sedang “ada kegiatan cukup padat”, sementara Romo Silvianus belum merespons hingga berita ini dipublikasi.

Pernyataan Maksimus muncul di tengah ramainya polemik soal investasi di Pulau Padar, Taman Nasional Komodo oleh PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) yang hendak membangun pusat bisnis.

Perusahaaan itu berencana mendirikan 619 bangunan, mencakup 448 vila, 13 restoran, 7 lounge, 7 gym center, 7 spa center, 67 kolam renang, sebuah bar raksasa seluas 1.200 meter persegi dan sebuah Hilltop Chateau (bangunan kastel/istana bergaya Perancis). Selain itu, akan dibangun sebuah gereja yang dipakai untuk acara pernikahan (wedding chapel)

Sejumlah sarana akan didirikan di atas lokasi seluas 274,13 hektare di sepanjang pesisir utara Pulau Padar, tempat di mana Pink Beach dan Long Beach yang merupakan salah satu ikon utama Taman Nasional Komodo berada.

Dalam laporan Floresa.co berjudul “Para Pemburu Cuan di Pulau Padar,” orang-orang di balik perusahaan itu terhubung dengan Setya Novanto, koruptor dan eks Ketua DPR RI dan Tomy Winata, pebisnis yang punya rekam jejak bermasalah dalam proyek-proyek di tempat lain.

Izin PT KWE yang terbit pada 2014 muncul saat Setya Novanto masih aktif sebagai anggota DPR RI, sementara Tomy Winata masuk saat NTT dipimpin Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, yang punya relasi personal dan bisnis dengannya.

Selain di Pulau Padar, konsesi PT KWE juga berada di Loh Liang, Pulau Komodo seluas 151,94 hektare.

Di samping PT KWE, terdapat perusahaan lain yang juga punya konsesi serupa di dalam Taman Nasional Komodo, yakni PT Segara Komodo Lestari (SKL) 22,1 hektare di Pulau Rinca dan PT Synergindo Niagatama (SN) s 15,32 hektare di Pulau Tatawa. 

Pembangunan saran bisnis di dalam Taman Nasional Komodo menuai protes dari berbagai elemen dan sorotan dari UNESCO yang bertanggung jawab terhadap statusnya sebagai Situs Warisan Dunia karena dinilai berbahaya bagi masa depan habitat Komodo.

Kendati konsesi perusahaan-perusahaan ini berada di zona pemanfaatan, namun pemerintah memberikan konsesi usai “diam-diam” memperluas zona pemanfaatan pada 2012 dan tidak dilaporkan kepada UNESCO.

Dalam zonasi sebelum tahun 2012 misalnya, Pulau Padar seluruhnya adalah zona inti dan zona rimba, yang tidak diperbolehkan bagi kegiatan bisnis. Usai utak-atik zonasi, konsesi pun digelontorkan.

Dalam pernyataan terbaru pada bulan lalu, UNESCO meminta pemerintah “membuat keputusan yang menjamin pendekatan pariwisata yang berkelanjutan—baik di Taman Nasional Komodo maupun di kawasan sekitarnya—dengan tujuan melindungi Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value, OUV)” kawasan itu.

Selain itu, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut menegaskan bahwa “tidak ada konsesi atau proyek pembangunan yang disetujui tanpa penilaian yang tepat dan tidak ada persetujuan dikeluarkan untuk proyek-proyek yang akan berdampak negatif terhadap Nilai Universal Luar Biasa.”

Saat ini sebuah petisi yang mendesak pembatalan rencana PT KWE juga beredar di platform daring Change.org. Sejak diluncurkan pada 9, petisi bertajuk Selamatkan Taman Nasional Komodo dari Pengrusakan oleh Konsesi Pusat Bisnis Wisata itu telah diteken lebih dari 4.500 orang.

Diinisiasi Forum Masyarakat Sipil Flores, petisi itu mendesak Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Kehutanan segera mencabut konsesi perusahaan-perusahaan di Taman Nasional Komodo dan menghentikan semua rencana mereka.

Sementara kepada UNESCO, petisi itu mendesak agar lembaga itu “terus konsisten menegakkan prinsip-prinsip pengelolaan Situs Warisan Dunia dan tidak memberikan persetujuan atas rencana Pemerintah Indonesia.”

Seruan Kedua

Menurut catatan Floresa, ini merupakan kedua kalinya Uskup Maksimus Regus menyampaikan pernyataan terbuka yang menyoroti model pembangunan pariwisata di Labuan Bajo.

Ia juga menyinggung topik ini dalam surat gembala menjelang Paskah pada April tahun ini, di mana ia mengajak umat untuk merenungkan tema pertobatan ekologis.

Uskup perdana di keuskupan yang terbentuk tahun lalu itu secara spesifik mendorong “pariwisata berkelanjutan: ekonomi dan ekologi sejalan.”

Ia menyoroti pariwisata Labuan Bajo yang hanya dapat berkembang jika didukung oleh ekosistem yang sehat dan berkelanjutan. 

“Jika pembangunan tidak memperhitungkan keseimbangan ekologis, maka sektor pariwisata akan menghadapi ancaman serius,” katanya.

Ia juga menyebut pariwisata yang mengabaikan kelestarian alam akan membawa bencana, baik dalam bentuk kerusakan lingkungan, meluasnya ketidakadilan ekonomi, maupun konflik sosial.

Orientasi keuntungan ekonomi semata tanpa memperkuat basis keberlanjutan, katanya, hanya akan mempersiapkan bahaya bagi generasi masa depan.

Pernyataannya ketika itu mendapat respons dari umatnya yang sedang menghadapi masalah dengan proyek pariwisata. Salah satunya adalah Heri Jem, warga Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo dan umat Paroki Roh Kudus Labuan Bajo.

Bersama warga di Komunitas Racang Buka, Heri sedang berhadap-hadapan dengan Badan Pelaksana Otoritas Pariwisata Labuan Bajo-Flores (BPO-LBF) melawan alih fungsi Hutan Bowosie untuk proyek pariwisata karena sebagian dari lahan itu telah mereka kuasai bertahun-tahun.

BBPO-LBF mengelola 400 hektare lahan di kawasan itu setelah mendapat karpet merah penguasaannya dari Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018.

BPO-LBF, yang sejak 2021 statusnya menjadi Badan Layanan Umum, telah menamai kawasan itu sebagai Parapuar dan tengah memasarkannya kepada para investor. 

Lembaga tersebut merupakan salah satu sponsor Festival Golo Koe.

Hal itu membuat Heri meminta Keuskupan Labuan Bajo agar “jangan menutup mata” dengan tidak hanya fokus pada pernyataan, tetapi juga melihat langsung keadaan dan situasi masyarakat.

“Kalau persoalan pariwisata ini tidak serius diindahkan, jangan-jangan Gereja ‘bermain mata’ dengan pihak investor. Apa gunanya pariwisata kalau merugikan masyarakat kecil?” katanya.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA