Jadi Uskup Pertama Labuan Bajo, Umat Berharap Maksimus Regus Punya Sikap Jelas terhadap Masalah Sosial

Umat merindukan Max yang kritis seperti dulu. Hal itu dianggap memudar selama ia jadi pengajar dan rektor di Unika St. Paulus Ruteng

Floresa.co – Umat Katolik menaruh harapan besar terhadap Romo Maksimus Regus yang baru saja diumumkan sebagai uskup terpilih pertama untuk Keuskupan Labuan Bajo di ujung barat Pulau Flores.

Sejumlah umat yang berbicara kepada kepada Floresa berkata, mereka berharap Max – sapaannya – memiliki keberpihakan yang jelas kepada masyarakat kecil yang termarginalkan oleh deru pembangunan sektor pariwisata Labuan Bajo, alih-alih bersekutu dengan kelompok elit.

Penunjukkan Max diumumkan secara resmi oleh Uskup Ruteng, Siprianus Hormat di Gereja Paroki Roh Kudus Labuan Bajo pada 21 Juni.

Bersamaan dengan itu, Siprianus mengumumkan pengesahan berdirinya Keuskupan Labuan Bajo, yang mekar dari Keuskupan Ruteng.

“Bapa Suci kita Paus Fransiskus telah mendirikan keuskupan baru Labuan Bajo dan secara bersamaan telah mengangkat Romo Maksimus Regus yang saat ini menjabat sebagai Rektor Unika St. Paulus Ruteng sebagai uskup pertama,” katanya.

Pengumuman yang sama juga disampaikan Vikaris Jenderal Keuskupan Ruteng, Romo Alfons Segar di Gereja Katedral St. Maria Diangkat ke Surga di Ruteng.

Siapa Maksimus Regus?

Max adalah imam Keuskupan Ruteng yang ditahbiskan pada 10 Agustus 2001.

Sejak Juni 2023 ia menjadi rektor Universitas Katolik St. Paulus, Ruteng, perguruan tinggi yang bernaung di bawah Yayasan St Paulus, milik Keuskupan Ruteng.

Max lahir di Todo, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai pada 23 September 1973 dan menamatkan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Inpres Woang, Kecamatan Langke Rembong, Manggarai.

Pendidikan menengahnya diselesaikan di SMP dan SMA Seminari Pius XII Kisol, Manggarai Timur [1986-1992] dan pendidikan filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, yang kini berubah jadi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero [1992-2001].

Pada tahun 2009, ia menyelesaikan studi pascasarjana bidang ilmu Sosiologi di Universitas Indonesia. Pada 2017, Max menyelesaikan program doktoral Sosiologi di Universitas Katolik Tilburg, Belanda.

Sebagai akademisi, Max menulis berbagai artikel ilmiah di media massa dan jurnal, juga menulis beberapa buku bertema sosial-politik dan keagamaan.

Beberapa publikasinya adalah buku “Republik Sialan: Memburu Kejernihan di tengah Belantara Kerancuan” [Penerbit Ledalero, 2003], “Sketsa Nurani Anak Bangsa” [Obor, 2004], dan “Menembus Era Kemurungan” [Ledalero, 2007].

Buku lainnya adalah “Diskursus Politik Lokal: Kajian Teoretik Kritis” [2015], “Tambang dan Resistensi Lokal di Manggarai, Flores” [Kanisius, 2019], dan “Demokrasi, HAM, Minoritas; Telaah Konseptual dan Isu-isu Kunci” [Bintang Pustaka, 2021]. 

Suara Umat: “Bangunan Gereja Besar, Tidak Ada Umat di Dalamnya”

Max akan memimpin Keuskupan Labuan Bajo, yang meliputi 25 paroki di wilayah Kabupaten Manggarai Barat. 

Keuskupan ini berpusat di kota Labuan Bajo, wilayah yang sejak 2019 ditetapkan sebagai destinasi wisata super prioritas oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Dengan jumlah umat Katolik sebanyak 218.535 jiwa atau sekitar 79 persen dari total 276.284 jiwa di kabupaten itu, Keuskupan Labuan Bajo dan uskup terpilih akan menghadapi berbagai tantangan sosial, khususnya yang terkait dengan pembangunan sektor pariwisata.

Beberapa di antaranya adalah alih fungsi Hutan Bowosie untuk proyek pariwisata yang memicu konflik agraria dengan warga Komunitas Racang Buka, Desa Gorontalo, Labuan Bajo dan kekhawatiran akan dampaknya bagi lingkungan. 

Badan Pelaksana Otoritas Pariwisata Labuan Bajo-Flores [BPO-LBF] mengelola 400 hektar lahan kawasan itu setelah mendapat karpet merah penguasaan lewat Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2018.

Selain itu adalah proyek geotermal di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, yang terus ditentang warga setempat, kendati didukung oleh Keuskupan Ruteng. Uskup Siprianus Hormat pernah membuat umatnya kecewa ketika menulis surat kepada Presiden Joko Widodo mendukung proyek itu, menganulasi surat sebelumnya yang mendukung aspirasi warga.

Hery Jem, warga Komunitas Masyarakat Racang Buka berkata, ia dan anggota komunitasnya menyambut baik kabar uskup dan keuskupan baru di wilayah itu.

Namun, kata dia, “Gereja di Labuan Bajo hari ini bangunannya besar, tetapi tidak ada umat di dalamnya”.

Hal tersebut karena pemimpin gereja lokal “lupa membangun iman umat” tetapi “malah bersekutu dengan investor untuk membangun gedung-gedung Gereja.”

Ia mengatakan Gereja seharusnya jeli melihat persoalan yang dihadapi umat supaya “jangan sampai terjebak dalam kebijakan yang pro kaum perampas tanah.”

“Investor dengan gampang sekali masuk lewat agama kita, lalu agama kita terjebak bersama-sama mengakali masyarakat,” katanya kepada Floresa pada 22 Juni.

Ia menyoroti tagline “Ekologi Integral” dari Keuskupan Ruteng yang menurutnya justeru kontradiktif dengan dukungan terhadap investor yang membangun proyek wisata di kawasan hutan dan menuduh “umat yang bertani sebagai perambah.”

“Gereja terlalu telan mentah-mentah kebijakan pemerintah dan pemodal, padahal sebenarnya dia harus mendengarkan suara umat dari hati ke hati, bukan lebih mendengarkan investor,” katanya.

“Berharap Bapa Uskup selalu menyerukan keberpihakannya terhadap masyarakat kecil dan terpinggirkan,” kata Vitus Priatama, kaum muda dari Lancang, Labuan Bajo, yang juga aktif menyuarakan penolakan proyek Parapuar di Hutan Bowosie.

Ia mengatakan “proyek Parapuar di Hutan Bowosie selalu saja menghantui pikiran warga Kampung Lancang,” yang persis berada di sebelah utara kawasan wisata baru itu.

“Mohon itu selalu diserukan lewat tangan imamat uskupnya. Masyarakat kecil sedang menantikan pembuktian karya nyata dari Bapa Uskup,” katanya.

Sementara itu, Rofinus Rabun, warga dari Kampung Adat Dasak, Desa Wae Sano berharap Uskup Max “dapat ikut serta menjaga dan melindungi umat dari kekerasan terhadap hak-hak dasarnya.”

“Jadikan Keuskupan Labuan Bajo sebagai milik bersama umat Katolik, bukan malah bersekongkol dengan penguasa untuk merampas hak-hak masyarakat kecil demi kepentingan kelompok tertentu,” katanya.

Ia juga meminta Uskup Max “bekerja sama yang baik, atas amanat Tuhan Yesus untuk menjaga dan melindungi umatnya, terutama umat di Wae Sano yang bertahun-tahun terancam rencana proyek geotermal.”

Marsel Gunas, umat Keuskupan Ruteng yang tinggal di Yogyakarta mengatakan pihak Vatikan “tentu punya pertimbangan khusus” memilih Max sebagai uskup di kota pariwisata super premium itu.

Meski demikian, ia mengaku kecewa melihat sosok Max selama sebagai Rektor Unika St. Paulus Ruteng yang menurutnya “tidak hadir di banyak isu yang belakangan menggerogoti Flores, khususnya Labuan Bajo.”

Padahal, kata dia, Max adalah seorang imam yang sebelumnya sangat aktif sebagai “rohaniwan aktivis sosial politik”.

“Dalam kasus-kasus tambang di Flores, beliau sangat aktif, dari pimpin aksi, advokasi lapangan, tulis opini di koran, sampai bikin buku,” kata Marsel.

“Tapi selama jadi rektor Unika, sepi sekali komentar beliau untuk banyak isu dan kasus di Flores, maupun di level nasional. Tidak seperti dulu lagi,” katanya.

Ia juga menyoroti sikap diam Max dalam “kasus-kasus penyimpangan sakramen imamat oleh klerus”.

“Ingin sekali lihat Max yang dulu: yang aktivis, yang lantang bersuara membela kaum papa, yang tajam-dalam mengkritisi “kekuasaan,” katanya.

“Semoga uskup dan keuskupan baru Labuan Bajo bisa bergandengan tangan dengan para pelaku wisata untuk sama  sama mempertimbangkan kehadiran para investor di dalam kawasan Taman Nasional Komodo,” kata Melky Saning, pelaku wisata yang aktif dalam beberapa kali aksi menentang privatisasi kawasan TN Komodo.

Ia juga berharap Max membuka mata melihat alam pariwisata Labuan Bajo, “termasuk pembabatan hutan dan beberapa proyek proyek besar yang mengancam keberlangsungan hidup satwa liar dan manusia.”

Evodius Gonsomer, Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Wisata Indonesia Kabupaten Manggarai Barat menyampaikan selamat kepada keuskupan dan uskup baru.

“Besar harapan kami, pihak gereja bisa berkolaborasi bersama para pelaku pariwisata untuk memajukan ekonomi umat dengan mengembangkan wisata religi, mengingat Flores mayoritas penduduknya beragama Katolik,” katanya.

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA