Geotermal: Energi Hijau untuk Siapa?

Narasi rendah karbon dari proyek geotermal tidak cukup menjadi pembenar bagi perampasan lahan, pengrusakan budaya, penghancuran kohesi sosial dan dampak-dampak lainnya yang merusak ruang hidup warga setempat

Geotermal kini jadi andalan baru dalam peta transisi energi menuju energi hijau, melepaskan ketergantungan pada energi fosil seperti batubara. Pemerintah pun menggodok sejumlah proyek eksplorasi geotermal di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Flores, Lembata dan sejumlah wilayah di Pulau Sumatera dan Jawa. Dengan agenda ini, pemerintah menargetkan nol emisi karbon pada 2060.

Namun, di balik narasi itu, banyak proyek geotermal justru menyisakan konflik. Tanah adat berubah fungsi, mata air mengering, ritual adat terganggu dan masyarakat lokal merasa disisihkan dari ruang hidup mereka. 

Selain itu, konflik horisontal antarwarga yang pro dan kontra proyek tak terhindarkan. Sementara secara vertikal masyarakat juga harus berhadap-hadapan dengan pemerintah dan investor yang dibekingi aparat keamanan.

Narasi Rendah Karbon

Di Eropa, menurut Alsaleh dan Abdul-Rahim (2024), peningkatan 1% Produk Domestik Bruto (PDB) mendorong produksi geotermal naik 0,065%. Artinya, saat ekonomi tumbuh, permintaan energi meningkat.

Negara-negara dengan tata kelola kuat, dukungan riset dan sistem regulasi yang adil mampu mengembangkan energi ini secara berkelanjutan.

Faktor lain yang krusial adalah kapital intelektual. Di negara-negara maju, peningkatan 1% kapital intelektual dapat menaikkan output energi geotermal 6,5%. 

Ukuran pasar juga penting. Ketika pasar tumbuh 1%, kapasitas geotermal dapat meningkat 0,25%. 

Kombinasi antara riset, hukum dan stabilitas politik menjadi prasyarat keberhasilan.

Namun, itu bukan cerita Indonesia. Di sini, geotermal hadir dalam ruang-ruang yang belum tuntas secara hukum. 

Tanah ulayat belum terdata, tata kelola hutan tumpang tindih dan partisipasi masyarakat lebih sering hanya formalitas. 

Keadilan prosedural dan substansial diabaikan. 

Warga hanya dilibatkan setelah keputusan diambil. Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) hanya menjadi slogan hampa, tanpa praktik nyata. 

Padahal, prinsip itu yang diakui dalam seluruh proyek skala besar secara internasional mengharuskan adanya pengambilan keputusan secara bebas oleh warga di lingkar proyek setelah mereka mendapatkan informasi yang utuh tentang dampak-dampaknya dalam segala bidang.

Penelitian Pratiwi dan Juerges (2022) menggambarkan dinamika ini. Di Flores, warga Desa Poco Leok dan Wae Sano baru mengetahui proyek berjalan setelah konsesi ditetapkan. Suara protes muncul, tetapi negara lebih percaya pada janji investasi. 

Di Sumatera Barat, warga menolak proyek karena takut kehilangan akses air dan lahan. Namun suara mereka tenggelam di balik label proyek strategis nasional.

Geotermal memang rendah karbon namun bukan tanpa risiko. Pengeboran bisa memicu gempa bumi kecil (induced seismicity) dan air panas yang keluar dari perut bumi mengandung belerang dan logam berat. Jika bocor ke permukaan, ia bisa mencemari sumber air masyarakat.

Di sisi lain, satu unit pembangkit bisa membutuhkan lahan puluhan hektare. Akibatnya, vegetasi hilang dan habitat satwa terusik. 

Di PLTP Ulumbu, Kabupaten Manggarai, rencana perluasan pengeboran dilakukan di dekat kawasan resapan air dan tanah adat Poco Leok, sementara di tempat lain, hutan rakyat dan padang penggembalaan hilang perlahan.

Secara ekonomi, geotermal juga tergolong mahal. Biayanya berkisar antara 2-7 juta dolar (setara 35 miliar-113 miliar rupiah) per megawatt. Karena itu, negara sangat bergantung pada modal asing. 

Teknologinya pun dikuasai segelintir korporasi besar. Hak kekayaan intelektual mereka dilindungi, sedangkan lembaga lokal tidak punya akses.

Apa yang Tersisa untuk Warga?

Berbagai pengalaman proyek ini, misalnya yang paling nyata di Poco Leok, menunjukkan dampaknya yang merusak kohesi dan memperlemah solidaritas antarwarga.

Dibungkus dengan dalih energi baru dan terbarukan, proyek geotermal justru menghilangkan keakraban sebagai warga. Biaya sosial semacam ini sering absen dari pertimbangan pemerintah.

Sementara itu, meski digadang-gadang sebagai sumber energi baru dan terbarukan, geotermal juga bukan teknologi murah atau netral. Ia butuh investasi besar, teknologi tinggi dan kajian lingkungan yang ketat. Risiko ekologisnya sangat besar apabila tidak dikelola dengan hati-hati.

Selama dua puluhan tahun eksploitasi geotermal di Mataloko, NTT, misalnya, warga belum menikmati listrik dari proyek itu. Padahal, rumah dan lahan mereka malah sudah lebih dahulu hancur. 

Ledakan pipa panas bumi di PLTP Wayang Windu, Jawa Barat, disertai longsor yang melenyapkan Kampung Cibitung (2015), serta keracunan gas H2S di PLTP Sorik Marapi dan Dieng telah menewaskan dan melukai warga (JATAM, 2025). 

Hingga kini, belum ada peraturan nasional dan daerah yang memberi jaminan kompensasi memadai kepada masyarakat terdampak apabila bencana serupa terjadi di berbagai lokasi baru eksplorasi geotermal.

Risiko lingkungan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Studi di Provinsi Aydın, Turki, menunjukkan bahwa pembangkitan listrik dari sumber panas bumi mencemari air tanah dan sungai dengan logam berat seperti arsenik, merkuri serta unsur toksik seperti boron. 

Boron secara khusus terbukti merusak tanaman, mengganggu fotosintesis dan menyebabkan penurunan hasil panen. Konsentrasi boron dalam air irigasi di wilayah ini telah melampaui ambang batas toleransi tanaman, mengancam ketahanan pangan di wilayah pertanian seperti Lembah Sungai Büyük Menderes (Yilmaz & Kaptan, 2017).

Tak hanya mencemari tanah dan air, proses pengeboran dan pendinginan dalam produksi geotermal juga melepaskan gas berbahaya seperti H2S (hidrogen sulfida) dan CO₂ (karbondioksida), serta uap panas yang memengaruhi iklim mikro setempat. 

Perubahan ini berdampak langsung pada pertanian lokal, seperti mengganggu pertumbuhan tanaman khas zaitun dan kapas. 

Ironisnya, teknologi yang digunakan justru jenis lama, seperti sistem flash steam yang lebih murah tapi lebih berisiko bagi lingkungan (Yilmaz & Kaptan, 2017).

Dampaknya jelas, masyarakat setempat nyaris tak punya kendali. Mereka tidak bisa ikut mengelola, apalagi mengambil manfaat. Hak atas tanah hilang dan kompensasi sering tak sebanding dengan kerugian yang dialami.

Jika terjadi masalah atau risiko pengeboran, perusahaan umumnya berlindung di balik prinsip tanggung jawab terbatas (limited liability). Prinsip ini hanya mengharuskan perusahaan menanggung biaya risiko sebesar saham mereka dalam proyek itu.

Proyek geotermal pun berisiko memperdalam ketimpangan karena pemerintah pusat dan korporasi mendominasi pengambilan keputusan, sementara pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat. Alhasil, warga setempat tersingkir di tanah sendiri. 

Untuk konteks Indonesia, selain melanggar hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat, sentralisasi pengambilan kebijakan macam ini jelas menyalahi prinsip otonomi daerah.

Yang paling ironis, geotermal dikampanyekan sebagai “energi berkeadilan”. Namun, keadilan itu hanya ilusi. Tak ada mekanisme pengaduan yang kuat. Tak ada ruang negosiasi yang setara. Pendampingan hukum dan perlindungan komunitas nyaris absen. 

Terlebih lagi, pemerintah setempat datang berdialog tetapi dikawal pasukan bersenjata laras panjang, seperti yang dilakukan oleh Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena saat berkunjung ke Poco Leok pada bulan lalu. 

Itu jelas sebuah paradoks karena senjata tidak pernah bisa diajak berdialog.

Berorientasi Investasi

Sebenarnya, regulasi untuk percepatan energi bersih sudah ada. Namun, orientasinya berat ke sisi investasi. 

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kerja Panas Bumi, misalnya, memberi pedoman kepada pemerintah untuk menetapkan wilayah konsesi panas bumi tanpa kewajiban persetujuan masyarakat lokal terlebih dahulu.

Berbagai regulasi seperti Perpres No. 112/2022, UU Minerba No. 3/2020 dan UU Panas Bumi No. 21/2014 mempercepat pengembangan energi terbarukan termasuk geotermal, dengan memberi insentif harga dan kemudahan akses lahan bagi investor. 

Namun, regulasi-regulasi ini lebih mengutamakan kepastian investasi daripada perlindungan sosial, lingkungan dan hak masyarakat adat.

Jika dikelola secara partisipatif, geotermal memang bisa membawa manfaat nyata. Ia bisa menerangi desa-desa terpencil, membuka lapangan kerja berbasis komunitas dan memperkuat ekonomi desa.

Namun syaratnya, terjadi pelibatan warga sejak awal, pemberian wewenang yang cukup kuat kepada pemerintah daerah, pembagian manfaat yang adil dan terpenuhinya jaminan hukum yang memadai bagi warga yang berpotensi terdampak. 

Proses analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) juga mesti transparan dan kredibel. Tanpa itu, geotermal hanya menjadi wajah baru dari ekstraktivisme lama. Yang berubah hanya sumber daya, tapi polanya tetap sama, yakni pusat mengambil, daerah menanggung.

Sudah terlalu lama warga lokal diminta berkorban atas nama pembangunan. Namun, ketika mereka menuntut hak, negara justru menutup telinga. Kita pun perlu mempertanyakan, untuk siapa sebenarnya energi bersih ini dibangun? Apakah untuk rakyat, atau demi target investasi dan kredit karbon?

Energi hijau tidak boleh jadi alasan untuk menyingkirkan masyarakat lokal dan kelompok rentan. Ia harus menjadi solusi dari krisis, bukan krisis yang menyamar sebagai solusi. Kalau tidak, narasi transisi energi hanya menjadi ilusi.

Indonesia memang punya cadangan geotermal terbesar kedua di dunia. Namun, potensi itu tak boleh dibayar dengan hilangnya ruang hidup, identitas budaya dan hak atas tanah.

Transisi energi harus berarti transisi keadilan, bukan malah transisi dari ketidakadilan satu menuju ketidakadilan lainnya. Artinya, mimpi menuju transisi energi tidak boleh mereproduksi ketidakadilan baru di tengah masyarakat.

Ferdinandus Jehalut adalah Direktur Ranaka Institute dan Dosen FISIP Undana Kupang

Editor: Anno Susabun

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA