“Bentuk Keangkuhan Intelektual” dan “Sikap Arogan,” Warga Poco Leok Kecam Tudingan Gubernur NTT Soal Pemain Belakang Layar Tolak Proyek Geotermal

Laka Lena bahkan mempersoalkan tulisan berbahasa Inggris dalam spanduk protes warga

Floresa.co – Warga Poco Leok, Kabupaten Manggarai mengecam pernyataan Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena yang menuding ada pihak luar yang bermain di balik gerakan penolakan proyek geotermal di kampung mereka.

Servasius Masyudi Onggal, salah satu pemuda yang aktif menyuarakan penolakan proyek itu selama beberapa tahun terakhir berkata, pernyataan Laka Lena mencerminkan “keangkuhan intelektual.” 

“Laka Lena seolah mereduksi pengetahuan dan keterampilan hanya milik eksklusif orang-orang sekolah,” katanya kepada Floresa pada 19 Juli.

Padahal, kata Yudi-sapaannya-, “masyarakat juga punya pengetahuan, kesadaran dan keterampilan, termasuk untuk melawan geotermal.”

Mayoritas warga Poco Leok, kata dia, “bisa membaca dan menulis, bahkan banyak anak mereka yang sekolah hingga jenjang tinggi.”

Apa Kata Laka Lena?

Hanya beberapa hari usai menemui warga Poco Leok, Laka Lena mengklaim “penolakan terhadap proyek geotermal tidak sepenuhnya mencerminkan suara rakyat.”

Ia berkata, ada praktik manipulatif dalam gerakan penolakan proyek tersebut.

“Kelihatan sekali ada desain rapi di balik penolakan itu. Tulisan-tulisan pakai Bahasa Inggris yang sangat rapi, itu bukan tulisan rakyat,” katanya.

Pernyataan Melki muncul dalam dialog bertema Re-Industrialisasi dan Ketahanan Energi Menuju Indonesia Emas yang diselenggarakan oleh Forum Dialog Nusantara (FDN) di Perpustakaan Habibie dan Ainun, Jakarta Selatan pada 18 Juli.

Dalam forum itu, ia menyoroti polemik proyek geotermal di Flores, termasuk Poco Leok dan Mataloko di Kabupaten Ngada.

Menurutnya, ada pihak-pihak tertentu yang bermain di balik layar.

“Saya tidak takut menghadapi tekanan atau tudingan. Saya ini mantan aktivis, makin ditantang, saya malah makin maju,” ujarnya.

Laka Lena berkata, konflik sosial seperti yang terjadi di Poco Leok hanya membuat rakyat seperti musuh dalam suasana kebersamaan.

“Itu jahat. Jahanam orang-orang itu,” katanya, sembari menyebut semua masalah seputar proyek itu bisa dibicarakan bersama.

Mengklaim pemerintahannya diberi kepercayaan oleh pemerintah pusat untuk meloloskan proyek geotermal sesuai rencana umum energi nasional dan daerah, Laka Lena mengecam model advokasi yang ia anggap hanya memanfaatkan rakyat, sementara para aktor bersembunyi dan ribut di media sosial.

“Soal menolak, itu hal biasa. Dulu kami juga tolak pembangunan tambang emas di Lembata oleh Almarhum Yusuf Meruk, tapi kami main terbuka, bukan di belakang layar seperti sekarang.”

“NTT tidak akan bisa maju kalau modelnya begini. Jangan tunggangi rakyat untuk kepentingan yang bahkan kita sendiri tidak tahu siapa di belakangnya,” lanjutnya.

NTT, kata dia, telah ditetapkan sebagai provinsi energi terbarukan sehingga “seluruh potensi energi di NTT kita dorong dan kita kembangkan.”

Terkait pemain di belakang layar, dia secara eksplisit menyebut kelompok yang dirugikan dalam proyek energi terbarukan, yakni pelaku industri energi fosil.

“Selalu ada yang diuntungkan dan dirugikan. Masyarakat akan berada dalam posisi yang ditarik-tarik dalam konflik seperti ini,” ujarnya.

“Pemerintah disuruh menyelesaikan yang terbakar-terbakar, itu sudah tugas pemerintah,” katanya.

Dia juga mengaku pernah difitnah menerima uang dari pengembang geotermal karena menyampaikan pandangan terkait proyek tersebut.

“Katanya Melki terima uang dari pengembang panas bumi. Bupati-bupati juga dituduh begitu. Paling gampang dicek saja, susah amat?” katanya.

Laka Lena juga menyebut dirinya telah mengunjungi Mataloko dan Poco Leok, dua lokasi proyek yang disebutnya memiliki tensi konflik paling tinggi.

“Saya tahu saya dilarang ke sana-sini, tapi saya tetap masuk. Ternyata, menurut saya, kalau orang diajak dialog juga bisa,” katanya.

“Maksudnya, duduk dulu, bicara dulu, baru putuskan. Kalau memang harus diteruskan, ya lanjut. Kalau tidak, ya kita pindahkan,” lanjutnya.

Di Poco Leok, klaimnya, kelompok kontra proyek geotermal baru pertama kali menyambut kehadiran pemerintah saat ia datang pada 16 Juli.

“Saya tahu banyak orang bilang harus hati-hati, apalagi menjelang malam. Ada yang bilang bisa dilempar, tapi itu risiko,” katanya.

Terkait aksi warga saat kunjungannya yang dikawal ketat aparat bersenjata laras panjang, dia berkata “mungkin bagi orang lain itu memalukan, apalagi kalau masuk media sosial, tapi buat saya itu proses yang harus dilalui.” 

Menurutnya, protes warga terjadi karena “informasi belum sampai (dan) diskusi belum dilakukan.”

“Kita kadang bicara soal hal-hal yang sifatnya mitos,” katanya.

Karena itu, katanya, semua penolakan dan persoalan harus diperiksa dengan ilmu pengetahuan. 

“Tidak bisa pakai katanya-katanya. Yang saya takutkan, baik yang pro, kontra maupun netral, belum pernah turun langsung ke lokasi,” katanya.

Karena itu, “kita dorong agar dialog tetap berjalan.”

“Kalau pun masyarakat tidak mau menerima proyek, ya harus bersama-sama juga. Tapi jangan merusak harmoni sosial,” katanya.

“Semua orang bicara pro-kontra geotermal. Tapi yang luka sebenarnya bukan soal itu, melainkan soal kebersamaan dan persaudaraan keluarga yang rusak,” lanjutnya.

Dia menilai pembangunan seperti PLTP Ulumbu layak dijadikan contoh, mengklaim proyek di Desa Wewo, Kecamatan Satar Mese yang sudah berjalan 13 tahun itu “tidak ada isu lingkungan, bagi hasilnya bagus, pengeborannya baik, keamanannya oke” dan “damai-damai saja”. 

“Bahkan, ada yang di sebelahnya Ulumbu yang sudah minta dibuka proyek serupa,” katanya.

“Kalau tidak bagus, kita perbaiki. Kalau benar-benar tidak bisa diharapkan, ya ditutup. Tapi harus fair,” tambahnya.

Kendati pada saat yang sama menuding warga ditunggangi kelompok lain, Laka Lena berkata jika masyarakat tidak setuju, proyek jangan dipaksakan.

“Mungkin ada kesalahan dari investor atau pengusaha, tapi bukan hanya mereka. Yang hilang adalah ruang duduk bersama,” ujarnya.

“Kalaupun Poco Leok tidak bisa, bisa cari tempat lain. Kalau rakyat setuju, jalan. Kalau tidak, jangan dipaksakan,” katanya.

Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena saat berjalan menuju Aula Stasi Lungar untuk berdialog dengan Masyarakat Adat Poco Leok. Dalam kunjungan pada 16 Juli 2025 itu, ia dikawal ketat oleh pengawal pribadi dan sejumlah polisi yang membawa senjata laras panjang. (Dokumentasi Floresa)

Warga Tidak Bergantung Pada Orang Lain

Proyek geotermal Poco Leok, perluasan dari Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Ulumbu, dikerjakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) dan didanai Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW).

Tim independen utusan bank itu telah ke Poco Leok pada tahun lalu, yang merupakan akademisi dan peneliti asal Filipina.

Keterlibatan pihak asing dalam proyek ini membuat warga Poco Leok dalam gerakan perlawanannya ikut membuat poster-poster berbahasa Inggris, cara mereka untuk mengirim pesan penolakan.

Beberapa dari poster itu mereka bahwa setiap kali aksi unjuk rasa, juga menyambut utusan perusahan dan pemerintah, termasuk saat kunjungan Laka Lena.

Yudi Onggal yang mengaku sangat kesal dengan pernyataan Laka Lena berkata, “wajar jika warga Poco Leok bisa berbahasa Inggris dan menuliskan protesnya dengan bahasa itu.”

“Apa yang salah? Gubernur seharusnya bangga, bukan malah merasa terancam,” katanya.

Menurut Yudi, penggunaan Bahasa Inggris dalam protes warga bukan karena ada aktor luar, melainkan cerminan kapasitas warga.

“Warga sudah berjuang dengan cara apapun, dengan potensi apapun yang mereka miliki, termasuk menulis tuntutan dalam Bahasa Inggris,” katanya.

Ia menilai Laka Lena keliru jika tetap kukuh menyebut penolakan warga diprovokasi pihak luar.

“Gubernur Laka Lena sekali lagi terkesan meremehkan kemampuan warga untuk mengambil keputusan dan menentukan nasibnya sendiri,” ujarnya.

Ia juga berkata, perlawanan Masyarakat Adat Poco Leok tidak datang tiba-tiba, apalagi dipaksakan oleh pihak lain.

“Perlawanan ini punya sejarah panjang dan berakar kuat dalam kesadaran, pengalaman, pengetahuan, dan kearifan lokal masyarakat. Ia datang dari warga, diinisiasi warga dan untuk kepentingan warga.”

Ia menegaskan, proyek geotermal Poco Leok adalah persoalan orang Poco Leok sendiri, sehingga “tidak perlu heran jika perlawanan ini masif dan tidak tergantung pada siapapun.”

“Ia akan tetap hidup, karena warga sendiri yang menginginkannya,” katanya.

Sementara Tadeus Sukardin, warga adat lainnya berkata, pernyataan Laka Lena “menunjukkan sikap arogan.”

“Gubernur menjelaskan soal tulisan dan menganggap bahwa orang Poco Leok tidak tahu menulis dan tidak bisa berbahasa Inggris?” katanya.

“Kami masyarakat Poco Leok memang berasal dari wilayah yang cukup terpencil, tetapi manusianya bukan kampungan,” tambahnya.

Tadeus berkata, Masyarakat Adat Poco Leok sedang mempertahankan tanah ulayat yang merupakan ruang hidup mereka.

“Tanpa ada pihak lain pun yang mendukung, kami tetap akan melawan demi tanah kami,” kata Tadeus yang ikut mewakili warga dalam dialog dengan Laka Lena pada 16 Juli.

Ia mengakui bahwa selama ini ada kelompok organisasi masyarakat sipil yang membantu perjuangan mereka, baik lembaga-lembaga berbasis Gereja Katolik maupun lembaga swadaya masyarakat dan berbagai elemen lain.

Ia berkata, mereka “tidak memiliki tanah di Poco Leok, tetapi tetap ikhlas membantu menyuarakan jeritan kami.”

“Hal itu terjadi karena suara kami tidak didengar oleh para elit negeri ini, termasuk Gubernur NTT,” katanya.

Ia juga mempersoalkan klaim Laka Lena soal “para pemain di belakang layar.”

Padahal, kata dia, kelompok-kelompok yang ikut membantu perjuangan mereka atau satu suara dengan mereka selalu menunjukkan diri kepada publik.

Ia menyebut salah satunya adalah pernyataan sikap terbuka dari para uskup Regio Nusa Tenggara-Bali pada Maret yang menolak proyek geotermal di Pulau Flores.

“Apakah pernyataan terbuka itu masih dibilang main di belakang layar?” tanya Tadeus.

Editor: Anno Susabun

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA