Floresa.co – Saat Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mendatangi lokasi proyek Waduk Lambo dalam kunjungannya ke Kabupaten Nagekeo pada awal Mei, Hermina Mawa merasa tak penting menemuinya.
Namun, ibu dua anak yang akrab dipanggil Mama Mince itu tiba-tiba berubah pikiran.
Perubahan terjadi usai pada pagi hari empat orang intel nongol di depan rumahnya di Dusun Malapoma, Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan.
Mama Mince, 50 tahun, sedang bersiap ke kebun di Boanio saat salah satu di antara aparat yang mengenakan pakaian sipil itu bertanya, “Mama mau ke mana?”
“Kenapa tanya-tanya? Ke mana saya pergi, itu urusan saya,” jawabnya, mengenang dialog pada 6 Mei itu.
Ia meyakini kedatangan mereka bermaksud memastikan apakah ia akan ikut atau tidak menemui Gibran dan menyampaikan persoalan tentang proyek Waduk Lambo.
Kata hatinya yang enggan bertemu putra sulung Joko Widodo itu muncul karena kehilangan harapan kepada pemerintah.
Ia sebelumnya sudah bertemu para pejabat di tingkat lokal hingga di Jakarta, termasuk selevel menteri, toh proyek tetap dilanjutkan.
Namun, kehadiran intel pagi itu menjadi semacam pengingat baginya bahwa pemerintah tahu ada masalah dengan proyek itu dan tidak mau hal itu terus dibicarakan, termasuk kepada wakil presiden.
Mama Mince lantas melanjutkan jawabannya: “Saya mau menemui Gibran.” Kalimat tersebut direspons salah satu intel: “nanti jangan bicara terlalu banyak.”
Ia menimpali dengan pertanyaan: “kenapa kalian larang saya?”
“Saya ingin menyampaikan aspirasi.”
Saat sore itu tiba di titik nol lokasi proyek, Mama Mince berada di barisan depan warga yang berbaris menyambut Gibran.
Kala berhasil menjabat tangan Gibran, ia memanfaatkan kesempatan itu untuk memberi pesan: “Pembangunan waduk ini bermasalah. Jika benar peduli pada rakyat terdampak, tolong jangan biarkan kami telantar. Orang yang jatuh dari pesawat saja dicari-cari, apalagi kami yang masih hidup.”
Ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya usai menyadari tangan seseorang yang tidak ia ketahui memegang pinggangnya dari belakang, isyarat agar ia tak melanjutkan keluh kesah.
“Saya mesti berhenti bicara, pinggang sudah ditarik-tarik.”
Gibran tak sedikit pun merespons. Ia hanya mengangguk, sembari lanjut menjabat tangan warga lain.
Mama Mince yang berbicara dengan Floresa di sela-sela jelang acara peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat di Lebak, Banten pada 9 Agustus berkata, momen itu adalah upaya terakhirnya meminta perhatian pemerintah pada perjuangan masyarakat adat sekitar Waduk Lambo.
Kendati masih ditentang warga yang mencakup tiga desa-Ulupulu, Labolewa dan Rendubutowe-, termasuk soal masalah ganti rugi lahan yang belum tuntas, pengerjaan waduk telah dimulai pada September 2021.
Dikenal juga dengan nama Waduk Mbay-merujuk pada ibukota Kabupaten Nagekeo-, waduk itu merupakan salah satu proyek strategis nasional di NTT warisan Presiden Joko Widodo. Penetapannya melalui Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020.
Nilai kontrak pembangunan waduk itu Rp1,47 triliun. Tingginya mencapai 48 meter dengan volume tampungan 51,73 juta meter kubik dan luas genangan 499,55 hektare, menurut situs Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Waduk tersebut diprediksi akan mengairi 4.289 hektare lahan dengan potensi pengembangan 1.951 hektare. Total area layanan irigasi 6.240 hektare lahan, dengan produktivitas enam ton padi-palawija per hektare.
Perjalanan Gerakan Perlawanan
Nagekeo merupakan kabupaten di Flores yang mekar dari Ngada pada 2007. Sebagaimana daerah NTT lainnya, kabupaten itu yang menjadi target pengembangan lahan pertanian memiliki curah hujan yang rendah, sekitar 1.303 mm per tahun dengan rata-rata 87 hari hujan, lebih rendah dari 129 hari rata-rata nasional. Pembangunan waduk pun dianggap solusi memastikan ketersediaan air.
Dalam bahasa Gibran saat di Nagekeo, Waduk Lambo penting untuk mendukung pertanian produktif, penyediaan air bersih dan pengurangan risiko banjir.
Menurut Mama Mince, rencana proyek waduk itu telah muncul pada 1999 saat era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Nagekeo masih bergabung dengan Ngada.
Kala itu masyarakat adat sekitar dari tiga suku-Rendu, Ndora dan Lambo-kompak menolak rencana itu, katanya.
Namun, situasinya berubah sejak 2001, bersamaan dengan pendekatan personal kepada warga yang menolak, hingga memunculkan kubu pro dan kontra.
Pada Desember 2002, Pemerintah Kabupaten Ngada yang mengusulkan pembangunannya ke pemerintah pusat melakukan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), difasilitasi oleh Universitas Nusa Cendana Kupang.
Presiden Joko Widodo memunculkan lagi ide pembangunan waduk itu pada 2014, sebelum kemudian ditetapkan sebagai proyek strategis nasional.
Warga yang menolak masih bertahan dengan sikapnya, mengingat waduk itu mengambil lahan dan pemukiman mereka. Namun, bersamaan dengan itu tekanan kian meningkat.
Mama Mince masih ingat salah satu peristiwa pada 2015 ketika muncul undangan dari Bupati Nagekeo kala itu Elias Jo kepada tiga kepala desa yang wilayahnya terdampak proyek untuk pertemuan yang juga dihadiri tokoh adat dan para pemuda.
Rapat itu diwarnai ketegangan karena “ada pemuda yang bersikeras menolak sehingga tidak menghasilkan kesepakatan.”
“Anehnya, esoknya sudah ada surat dari bupati ke Menteri PUPR , menyatakan bahwa masyarakat siap menerima pembangunan waduk,” kata Mama Mince.
Sepulang dari pertemuan itu, warga yang menolak sepakat memperkuat diri lewat wadah Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL).
Selain terus melakukan aksi penolakan saat pemerintah datang ke lokasi, mereka juga menyusun strategi perlawanan, termasuk dengan menyurati berbagai instansi dan lembaga.
Mama Mince bercerita, pada 2016 merupakan titik penting bagi mereka, saat ia bersama perempuan lainnya mulai berada di garis depan perlawanan setelah “kami melihat kaum pria begitu mudah direpresi.”
“Para perempuan mulai terlibat menghadang Satpol PP yang berencana turun ke lokasi, hingga akhirnya mereka membatalkan kunjungan,” katanya.
Mereka juga beberapa kali menghadang bupati dan pejabat lainnya yang dikawal polisi.
Gerakan perlawanan yang kuat mendorong pemerintah mengajak mereka mengikuti studi banding pada 2017.
Ada 14 orang warga yang dilibatkan, tiga diantaranya perempuan, termasuk Mama Mince.
Mereka mengunjungi beberapa waduk. Dua diantaranya adalah Bendungan Jatigede dan Jatiluhur di Pulau Jawa, sementara dua lainnya di Timor-Raknamo dan Tilong.
Mama Mince berkata, studi banding itu sebetulnya bertujuan agar “kami menerima proyek itu.” Namun, saat kembali ke Nagekeo, “kami justru semakin menolak.”
Pemicunya adalah setelah mereka mendengar kisah dari warga di sekitar lokasi waduk yang dikunjungi. Salah satu yang terus diingat Mama Mince adalah saat mereka berada di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat.
Ia berinisiatif mengobrol dengan beberapa warga setempat yang berjualan di jalan sekitar waduk itu, demi mendapat cerita yang riil soal kondisi kehidupan mereka.
Salah satunya adalah seorang penjual kacang kedelai. Saat ditanya mengapa ia menjual di jalan, “dia menjawab, ‘saya ini asli orang sini, namun sudah tidak punya tanah lagi karena sudah menjadi lokasi bendungan.’”
Pengalaman berikutnya adalah saat di Waduk Tilong, Kupang. Salah satu agenda mereka adalah menemui warga terdampak. Namun, mereka membatalkannya di tengah jalan.
Mereka memutuskan hal itu usai bertemu dengan seorang perempuan lansia yang baru pulang dari pasar. Saat mereka menanyakan respons perempuan itu soal dampak pembangunan waduk, ia menangis.
“Dia bilang, ‘anakku, bukan berarti saya menghasut teman-teman untuk menolak proyek itu, tapi ada dampak buruknya. Salah satu contohnya saya pulang dari pasar harus jalan kaki karena tidak punya uang.”
Perempuan lansia itu melanjutkan, “air dari Waduk Tilong tidak bisa kami ambil. Kami harus menimba air di lokasi yang jauh. Tidak ada pasokan air untuk kebutuhan pokok kami,” katanya.
Menurut Mama Mince, selama studi banding itu mereka memilih tidak mengikuti semua agenda yang telah dirancang karena “kami tidak mau kalau ada masyarakat yang terdampak dibuat agar ceritanya baik-baik saja.”
“Satu-satunya bendungan yang tidak ada masalah ada di Raknamo karena hulunya berbatasan dengan hutan pemerintah dan hilirnya dekat dengan laut,” katanya.
Gerakan penolakan itu juga membawa Mama Mince dan warga lainnya ke Jakarta pada 2017, menemui sejumlah instansi, termasuk Kementerian PUPR, Ombudsman, DPR RI dan Komnas HAM.
Mereka sempat lega ketika bertemu Menteri PUPR Basuki Hadimuljono yang mengklaim bahwa dalam pembangunan harus ada kesetaraan antara pemerintah dan masyarakat.
“Pemerintah punya uang, masyarakat punya tanah. Jika belum ada kesepakatan, tidak boleh ada pemaksaan,” katanya, menirukan kata-kata Basuki.
“Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Ucapannya memang terdengar baik, tetapi tindakannya berbeda. Tidak lama setelah pertemuan itu, tiba-tiba sudah muncul tim appraisal,” kata Mama Mince, merujuk pada tim yang melakukan pengukuran lahan untuk proyek waduk itu.
Sengkarut Ganti Rugi Lahan
Menurut Kementerian PUPR, pembangunan Waduk Lambo berlangsung hingga tahun lalu.
Namun, sebuah artikel di situs resmi wakil presiden usai kunjungan Gibran ke Nagekeo menyebut pengerjaannya akan berlangsung hingga tahun depan, dengan perkembangan hingga Mei mencapai 80,40 persen.
Sementara waduk itu masih digarap, persoalan ganti rugi bagi sebagian pemilik lahan masih menjadi tanda tanya, di samping konflik lahan antarwarga yang mulai mencuat.
Mama Mince berkata, warga pemilik lahan sebagian sudah menerima dana ganti rugi, sementara yang lainnya belum. Untuk warga terdampak yang menolak menerima, pemerintah mengambil mekanisme menitipkannya di pengadilan.
Salah satu soal dalam proyek ini adalah perhitungan ganti rugi lahan yang tidak beres, kendati dalam bahasa pemerintah dana pengganti lahan itu dilabeli “ganti untung,” katanya.
Ada sekitar 30 rumah yang terancam digusur oleh proyek ini, termasuk milik keluarga Mama Mince, dengan tawaran “ganti rugi yang tidak layak.”
Ia mencontohkan harga tanahnya sendiri seluas 300 meter persegi dan di dalamnya ada kuburan, bangunan rumah berukuran 7×9 meter, bak air dan tanaman.
Tanah itu, katanya, ditawari Rp30.000 per meter, demikian juga salah satu bidang tanah lainnya yang juga akan digusur, yang didalamnya terdapat tanaman produktif.
“Bangunan rumah, kubur serta tanaman tumbuh tidak dihitung. Mereka seenaknya menawar dengan harga segitu murah,” katanya.
Ia juga mencontohkan rumah ibunya yang akan digusur dan diberi ganti rugi Rp40 juta.
“Setelah saya hitung-hitung, jumlah itu hanya cukup untuk fondasi rumah, belum termasuk bagian bangunan lainnya,” katanya.
Menurutnya, “uang ganti rugi tidak sebanding dengan hasil tanah kami karena tanah kami sangat subur, apa pun bisa tumbuh.”
Di sisi lain, hingga kini belum ada solusi soal nasib warga yang rumahnya digusur.
Persoalan ini ikut menjadi sorotan Kepala Desa Rendubutowe, Yeremias Lele.
Dalam pernyataannya kepada Mongabay Indonesia, ia sempat meminta pemerintah menyetop pembangunan waduk itu lantaran tak ada kejelasan soal nasib warga yang rumah digusur.
“Kalau saat sosialisasi sering disampaikan, nanti direlokasi bagi yang terkena dampak,” kata Yeremias. Namun, “dimana (lokasi relokasi) itu, tidak disebut.”
Ia juga mempersoalkan harga tanah yang tidak mencakup tanaman seperti pohon-pohon, tanaman pangan, rumah dan kuburan.
Di sisi lain, pemerintah menganggap enteng soal ini. Sekretaris Daerah Kabupaten Nagekeo Lukas Mere sempat mengklaim, warga yang rumahnya digusur “tinggal transmigrasi saja.” Soal lokasinya, kata dia, “sedang dipikirkan.”
Mama Mince berkata, menyadari nasib mereka yang masih menggantung, ia berkomitmen akan tetap menyuarakan masalah ini.
Salah satunya dengan meminta bantuan lembaga Gereja Katolik, khususnya Uskup Agung Ende, Mgr Paulus Budi Kleden.
Tekadnya muncul usai awal tahun ini mendengar pernyataan tegas uskup itu menolak proyek geotermal di Flores usai mendengar cerita pengalaman umatnya. Ia sempat bertemu Uskup Budi dalam salah satu acara pertemuan.
“Saat jabat tangan dengannya, saya langsung menyampaikan bagaimana keadaan kami. Ia langsung merespons, ‘nanti kita akan diskusi.’”
Uskup Budi memberitahunya akan hadir di Gereja Katolik Hati Yesus Hati Maria Boanio bulan depan untuk pentahbisan imam baru.
“Pastikan ketika saya hadir lagi di Paroki Boanio, mama hadir. Nanti sampaikan apa yang menjadi keinginan mama,” demikian pesan Uskup Budi kepadanya.
Sebelumnya Mama Mince sempat kehilangan harapan pada Gereja Katolik. Bersama warga lainnya, ia pernah menemui Uskup Agung Ende sebelumnya, Mgr. Vincentius Sensi Potokota, membawa surat pernyataan penolakan.
Usai membaca surat tersebut, uskup itu memberitahu mereka bahwa ia kesulitan mengambil posisi karena kerap diundang pemerintah dalam berbagai pertemuan soal proyek.
Namun ia juga berkata, “saya menangis membayangkan bagaimana umat saya.”
Meski tak ada sikap tegas, pernyataan uskup itu sempat “menguatkan kami.” “Kami merasa beliau masih punya kepedulian terhadap kami,” kata Mama Mince.
Namun, ia kemudian kaget karena dalam acara peletakan batu pertama pembangunan salah satu gereja di Nagekeo, Uskup Sensi mengeluarkan pernyataan yang menyebut orang-orang di Rendu “minum air kubangan kerbau.”
Mama Mince meyakini pernyataan itu yang ia nonton via salah satu video di YouTube sebagai isyarat uskup mendukung proyek itu, dengan alasan akan membuat warga tidak kesulitan air.
“Sejak saya lahir, saya tidak pernah minum dari kubangan kerbau. Pernyataan itu jelas keliru. Leluhur saya pun tidak pernah melakukan hal itu,” katanya.
Karena itulah, ketika hadir dalam salah satu seminar di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Maumere, Mama Mince menyatakan secara terbuka: “saya tidak suka dengan pernyataan uskup.”
“Saya yakin beliau berbicara begitu karena hanya mendengar dari orang-orang yang mendukung pembangunan waduk. Beliau tidak mendengar suara kami yang terkena dampak langsung,” katanya, menyebut bahwa ia menjadi kehilangan harapan terhadap dukungan gereja.
Kini ia menaruh harapan pada Uskup Budi, menyebut pernyataan gembalanya itu soal geotermal memulihkan harapannya.
“Kami berharap beliau mau mendengarkan suara kami, umat yang sedang berjuang.”
Mama Mince berkata, salah satu yang akan ia sampaikan adalah nasib mereka ke depan.
“Walaupun kami kalah dalam perjuangan menolak proyek ini yang dipaksakan, tolong ingat kami masyarakat yang terdampak. Jangan biarkan kami terlantar.”
Apa yang Membuat Ia Terus Bertahan?
Mama Mince masih ingat peristiwa pada 4 Oktober 2021 saat tangannya diborgol aparat di titik nol proyek Waduk Lambo.
Hari itu, bersama perempuan lain mereka menggelar aksi protes, menolak ritual di tempat tersebut oleh warga yang pro proyek, didampingi pejabat pemerintah dan dikawal aparat keamanan.
“Pergelangan tangan saya sakit. Saya tidak bisa bergerak,” katanya.
Ia tidak jadi diangkut ke kantor polisi, setelah sekumpulan mama-mama yang menggelar aksi blokade di Kampung Roga-Roga itu juga meminta aparat ikut memborgol mereka.
Peristiwa itu, juga rentetan kasus sebelumnya, kata dia, yang membuat banyak warga yang dulunya kontra merasa takut.
Hingga kini Mama Mince memilih tidak menyerah. Ia memperkuat diri dan komunitasnya dengan ikut berbagai pengalaman dan strategi dengan para perempuan dari berbagai wilayah di Nusantara yang juga berjuang menjaga tanah mereka.
Pada 7-10 Agustus ia bergabung dengan rekan-rekannya di Perempuan Aman dalam pertemuan di Lebak, Banten.
Di organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) itu, ia menjadi Dewan Nasional Region Bali-Nusra, terpilih pada 2023. Ia telah bergabung sejak 2017, saat intensitas konflik Waduk Lambo makin tinggi.
Mama Mince menghela nafas saat ditanya apa yang membuat ia bertahan dengan perjuangannya, kendati apa yang menjadi harapannya mungkin sulit terwujud.
“Kami tidak ingin tanah kami hilang begitu saja, sebab dari situlah kehidupan kami berasal,” katanya, dengan mata berkaca-kaca.
“Bagi sebagian orang, uang mungkin adalah segalanya. Tapi bagi saya, saya hidup dari tanah. Apa yang saya butuhkan berasal dari sana.”
Ia berkata, dalam sejumlah pertemuan, baik dengan sesama warga di Nagekeo, maupun dalam forum lainnya, ia kerap mengulang-ulang pesan ini: “Uang segudang bisa habis hari ini, tapi sejengkal tanah untuk anak-cucu tidak akan hilang jika kita menjaganya.”
Di Nagekeo saat ini sudah mulai muncul sengketa tanah dalam keluarga, katanya. Ia tidak ingin suatu saat hal itu terjadi pada keluarganya.
“Saya punya dua anak, laki-laki dan perempuan. Saya harus pikirkan masa depan mereka,” kata Mama Mince, yang suaminya meninggal pada 2005.
Ia berkata, kendati jumlahnya kian sedikit, warga penolak proyek ini masih menggelar pertemuan rutin dua bulan sekali dan hampir setiap hari Minggu saat bertemu di gereja “kami saling menguatkan.”
“Saya juga percaya leluhur saya masih bersama saya” dan “itulah salah satu hal yang membuat saya masih bertahan.”
Kepada sesama perempuan yang turut berjuang mempertahankan tanah, termasuk di Flores ia menitipkan salam: “tetaplah berjuang, jangan mundur, jangan pernah menyerah.”
“Jika kita yakin bahwa yang kita perjuangkan itu benar, kita maju terus.”
Arivin Dangkar berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Editor: Herry Kabut