Tagar #SavePulauPadar Meluas di Media Sosial, Apa Saja Rencana Bisnis PT KWE di Pulau Itu?

Selain menguasai 274,13 hektare di Pulau Padar, perusahaan itu juga diberi konsesi 151,94 hektare di Loh Liang, bekas tanah ulayat warga Ata Modo yang kini menjadi pintu masuk utama wisatawan ke Pulau Komodo

Floresa.co Tagar #SavePulauPadar ramai di media sosial, merespons langkah pemerintah yang sedang berupaya meloloskan proyek sarana pariwisata seperti villa di pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo tersebut.

Hingga 4 Agustus siang, salah satu gambar dengan tagar itu telah diunggah lebih dari 8,2 ribu pengguna di Instagram. 

Selain itu, tagar #SavePulauPadar juga viral di platform media sosial lainnya, seperti Facebook, TikTok dan X atau Twitter. 

Tagar itu merupakan bentuk protes publik usai langkah pemerintah yang pada 23 Juli menggelar konsultasi publik untuk memfasilitasi beroperasinya proyek sarana wisata milik PT Komodo Wildlife Ecotourism (PT KWE) di Padar bagian utara. 

Pengguna Instagram bernama akun @gusti_simfroanus yang ikut meramaikan tagar itu berkata kepada Floresa, Pulau Padar merupakan salah satu destinasi favorit wisatawan.

Rencana pembangunan vila dan berbagai fasilitas oleh PT. KWE, kata dia, akan membuat keindahan dan ekosistem di Padar akan hancur dan rusak.

“Saya mengajak kita semua untuk bergandengan tangan dan bersatu  melawan semua investasi yang merusak lingkungan, eksploitasi sumber daya alam dan merampas ruang hidup masyarakat,” katanya. 

Melalui gerakan tagar #SavePulauPadar, ia berharap isu tersebut bisa diketahui publik yang lebih luas, terlebih oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan statusnya sebagai Situs Warisan Dunia. 

“Melalui gerakan tagar itu, semoga UNESCO tidak merestui rencana pembangunan itu,” kata Gusti. 

Apa Saja Rencana Bisnis di Pulau itu?

PT KWE  adalah satu dari beberapa perusahaan yang telah mengantongi izin untuk membangun fasilitas pariwisata seperti resor, villa dan jetty di Pulau Padar, pulau terbesar ketiga di kawasan Taman Nasional Komodo. 

Selain menguasai 274,13 hektare di Pulau Padar, perusahaan itu juga diberi konsesi 151,94 hektare di Loh Liang, bekas tanah ulayat warga Ata Modo yang kini menjadi pintu masuk utama wisatawan ke Pulau Komodo.

Perusahaan lain yang memiliki izin serupa adalah PT Segara Komodo Lestari dengan luas konsesi 22,1 hektare di Pulau Rinca dan PT Synergindo Niagatama seluas 6,490 hektare di Pulau Tatawa. 

Dalam paparan saat pertemuan pada 23 Juli, PT KWE berencana mendirikan pusat bisnis pariwisata dengan 619 bangunan di Pulau Padar. 

Ratusan bangunan itu mencakup 448 villa, 13 restaurant, 7 lounge, 7 gym center, 7 spa center, 67 kolam renang, sebuah bar raksasa seluas 1.200 m2, sebuah Hilltop Chateau (bangunan kastel/istana bergaya Perancis), dan sebuah wedding chapel (gereja yang dipakai untuk acara pernikahan). 

Sejumlah sarana akan didirikan di atas lokasi seluas 274,13 hektare di sepanjang pesisir utara Pulau Padar, tempat di mana Pink Beach dan Long Beach yang merupakan salah satu ikon utama Taman Nasional Komodo berada.

Ditegur UNESCO, Ditentang Warga dan Elemen Sipil

Upaya memberi karpet merah bagi PT KWE berlangsung di tengah munculnya keprihatinan serius UNESCO terhadap dampak pembangunan berbagai sarana bagi Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value, OUV) Taman Nasional Komodo.

OUV adalah istilah UNESCO untuk mengidentifikasi Situs Warisan Dunia, baik budaya maupun alam, yang memiliki signifikansi melampaui batas-batas negara dan kepentingan yang luar biasa bagi seluruh dunia.

Dalam keputusan pada akhir bulan lalu, UNESCO mengingatkan pemerintah bahwa bahwa “tidak ada usulan pembangunan yang disetujui yang akan berdampak negatif” pada OUV.

Menurut UNESCO, investasi di kawasan itu mesti “memastikan sebuah pendekatan pariwisata berkelanjutan di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo demi melindungi OUV.”

Sebelumnya, UNESCO menegaskan hal serupa, merespons laporan warga Ata Modo yang tinggal di Pulau Komodo, pelaku wisata dan elemen masyarakat sipil pada 2020.

Pada Maret 2022, lembaga itu mengirim Reactive Monitoring Mission ke Labuan Bajo, sebuah kunjungan lapangan yang dilakukan ketika ditemukan masalah serius yang mengancam OUV  pada Situs Warisan Dunia.

Dari hasil kunjungan itu, Komite Warisan Dunia UNESCO membuat keputusan dalam rapat tahunan pada 2023 yang antara lain meminta pertanggungjawaban pemerintah terkait perubahan zonasi di Taman Nasional Komodo pada 2012, di mana zona rimba diubah menjadi zona pemanfaatan, yang kemudian diberikan sebagai konsesi kepada beberapa perusahaan. 

Perubahan zonasi itu menjadi titik krusial bagi Taman Nasional Komodo karena setelahnya pemerintah menggelontorkan konsesi bagi korporasi, seperti PT KWE.

Sorotan UNESCO juga menyangkut keputusan pemerintah pada 2020 yang menyatakan proyek di kawasan itu tidak memerlukan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Environmental Impact Assessment (EIA).

Hal ini merujuk pada Surat Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Nomor S.576/KSDAE/KK/KSA.1/7/2020 perihal Pengecualian AMDAL terhadap Pembangunan Sarana Prasarana Wisata di Taman Nasional Komodo. 

Sementara itu, masyarakat adat Ata Modo, pelaku wisata dan elemen sipil juga terus menentang rencana proyek pusat-pusat bisnis tersebut.

Dalam diskusi bertajuk “TNK Kembali Diutak-atik Korporasi: Komodo, Masyarakat Setempat, dan Pelaku Wisata Jadi Tumbal” yang digelar baru-baru ini di Labuan Bajo, Ali Mudin dari Desa Komodo mengingatkan bahwa “luka seringkali melahirkan kemarahan”, dan “agar orang itu tidak marah, jangan membawa luka untuk mereka.”

Ali beralasan, Taman Nasional Komodo merupakan kawasan konservasi yang sebagian lahannya diambil dari tanah ulayat warga Ata Modo sejak 1980.

“Dengan alasan konservasi, kebun milik warga itu dijadikan destinasi wisata,” katanya dalam diskusi itu yang diinisiasi Forum Titik Temu Masyarakat Sipil Flores.

Sayangnya, kata dia, kini pemerintah menyerahkan ribuan hektare kawasan itu kepada sejumlah korporasi. 

Getrudis Naus, Sekretaris Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia atau ASITA Labuan Bajo berkata, langkah terbaru pemerintah tidak hanya berdampak pada komodo tetapi juga warga dan pelaku wisata.

Hal itu terjadi karena kerusakan pada habitat komodo juga berdampak pada penurunan kualitas alamiah kawasan itu.

“Melihat korporasi-korporasi yang masuk ke kawasan untuk mengelola dan membangun akomodasi di kawasan Taman Nasional Komodo, saya tidak tahu lagi seperti apa kedepannya,” katanya.

“Untuk apa kita membangun hotel berbintang yang ada di Labuan Bajo ini begitu banyak kalau beri akses ke korporasi-korporasi itu untuk membangun hotel di dalam kawasan yang menjadi ikon pariwisata kita, maka selesailah pariwisata kita,” tambahnya.

Karena itu, “sebagai pelaku pariwisata menolak keras kehadiran korporasi-korporasi tersebut.”

Editor: Anno Susabun

Solidaritas untuk Kawan Kami, Mikael Jonaldi

Jonal, salah satu jurnalis Floresa, sedang butuh biaya untuk operasi jantung. Kami mengharapkan solidaritas kawan-kawan untuk ikut membantu Jonal

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA