Gubernur NTT Rombak Sistem Pendanaan Pendidikan Lewat Pergub: Larang Pungutan Liar, Batasi Iuran dan Wajibkan Transparansi

Peserta didik dari keluarga tidak mampu akan dibebaskan sepenuhnya dari iuran, sementara sekolah dan komite dilarang menarik biaya yang bersifat memaksa maupun diskriminatif

Floresa.co – Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Emanuel Melkiades Laka Lena tengah menyusun regulasi baru yang bertujuan mereformasi mekanisme pendanaan pendidikan di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)  dan Sekolah Luar Biasa (SLB), dengan fokus pada penghapusan pungutan yang selama ini menjadi beban bagi orang tua peserta didik.

Selain karena banyaknya keluhan masyarakat terkait praktik pungutan liar, draf regulasi ini juga diklaim mengurangi beban biaya pendidikan siswa sekolah negeri yang berlatar belakang keluarga kurang mampu. 

Hal itu terungkap dalam pertemuan yang digelar Dinas Pendidikan NTT pada 29 Juli, yang secara khusus membahas 24 pasal dalam draf Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Pendanaan Pendidikan. 

Dipandu oleh Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah, Ayub Sanam, pertemuan ini juga dihadiri Kepala Dinas Pendidikan Ambrosius Kodo, perwakilan Inspektorat, Ombudsman RI Perwakilan NTT, Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP), hingga organisasi kemahasiswaan dan lembaga pendidikan swasta.

Hadir juga para pengawas SMA/SMK, Koordinator Pengawas pendidikan menengah, pengurus Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan para kepala sekolah negeri dan swasta dari sejumlah kabupaten/kota. 

Ayub Sanam berkata pada sesi pembukaan bahwa pertemuan itu berupaya “menjaring masukan dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan guna menyempurnakan substansi” draf Pergub.

Dalam draf Peraturan Gubernur tentang Pendanaan Pendidikan pada Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Sekolah Luar Biasa di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang salinannya diperoleh Floresa, pemerintah menetapkan arah baru dalam pembiayaan di sektor pendidikan.

Pada bagian “menimbang” disebutkan bahwa “untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan menengah dan pendidikan khusus di Provinsi NTT, diperlukan partisipasi masyarakat melalui mekanisme pendanaan pendidikan dalam bentuk pungutan, bantuan, dan sumbangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Poin pertimbangan lain dalam draf ini juga menyatakan bahwa tata kelola pendidikan yang berkeadilan hanya bisa diwujudkan jika mekanisme pendanaan tersebut diatur secara jelas. 

“Untuk mewujudkan tata kelola pendidikan yang akuntabel, transparan, dan berkeadilan, perlu diatur mekanisme pendanaan dalam bentuk pungutan, bantuan dan sumbangan di SMA, SMK dan SLB,” bunyi bagian pertimbangan tersebut.

Aturan Pungutan untuk Siswa Kurang Mampu

Pergub juga secara khusus mengatur batasan dan mekanisme pungutan, sumbangan serta bantuan pendidikan.

Pada Bab III tentang Pungutan, khususnya Pasal 5 hingga Pasal 9 disebutkan bahwa pungutan oleh sekolah, baik negeri maupun swasta, hanya diperbolehkan apabila didasarkan pada perencanaan kebutuhan yang jelas dan terukur. 

Rencana tersebut harus tertuang dalam dokumen resmi seperti Rencana Kerja Jangka Menengah (RKJM), Rencana Kerja Tahunan (RKT) serta Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Pungutan juga harus mendapat pertimbangan dari komite sekolah dan diumumkan secara terbuka.

Dalam Pasal 5, disebutkan bahwa “pungutan oleh sekolah kepada peserta didik, orang tua/walinya wajib memenuhi ketentuan berdasarkan perencanaan investasi dan/atau operasi yang dituangkan dalam RKJM, RKT, dan RAPBS yang disusun oleh sekolah serta mendapat pertimbangan dari komite sekolah.” 

Sekolah juga wajib memastikan bahwa tidak ada pungutan dari “peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis” serta “tidak dikaitkan dengan syarat akademik dalam proses belajar-mengajar.”

Pasal 6 menegaskan bahwa satu-satunya bentuk pungutan yang diperbolehkan adalah Iuran Pengembangan Pendidikan (IPP). 

“IPP hanya boleh dilakukan oleh sekolah negeri untuk pemenuhan Standar Nasional Pendidikan dan oleh sekolah swasta untuk keperluan operasional sekolah,” bunyi pasal tersebut. 

Sekolah maupun komite juga “dilarang melakukan pungutan yang bersifat memaksa, diskriminatif, atau menjual buku pelajaran dan seragam secara kolektif.”

Besaran IPP di sekolah negeri diatur secara rinci dalam Pasal 7, yang menyebutkan bahwa “peserta didik dari keluarga dengan penghasilan di bawah Rp1 juta hanya dikenakan IPP maksimal Rp50.000, sedangkan yang berpenghasilan di atas Rp5 juta dikenakan maksimal Rp150.000.” 

Sementara keluarga yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah yang sama cukup membayar untuk satu anak saja. 

Aturan lainnya terkait siswa dari kelompok rentan seperti anak panti asuhan, korban bencana, anak dari orang tua penyandang disabilitas atau sakit menahun, serta penerima bantuan sosial seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), dan Program Keluarga Harapan (PKH), yang dinyatakan bebas 100 persen dari kewajiban membayar IPP.

Untuk sekolah swasta, Pasal 8 dan 9 memberikan kewenangan untuk menetapkan besaran IPP secara mandiri, namun tetap mewajibkan mereka menyusun perencanaan keuangan yang jelas, transparan dan diumumkan kepada orang tua peserta didik. 

Sekolah juga harus menjamin prinsip keadilan, kecukupan, keberlanjutan, transparansi dan non-diskriminasi dalam pengelolaan IPP. 

Sistem subsidi silang juga diatur sebagai bentuk perlindungan bagi siswa dari keluarga tidak mampu.

Subsidi silang dalam pengelolaan Iuran Partisipasi Pendidikan (IPP) merupakan mekanisme pembiayaan yang dirancang untuk menjamin akses pendidikan bagi semua kalangan, khususnya siswa dari keluarga kurang mampu. 

Dalam praktiknya, sekolah menetapkan kontribusi yang lebih besar bagi siswa dari keluarga mampu, dan menggunakan kelebihan dana tersebut untuk menutupi sebagian atau seluruh biaya pendidikan siswa yang secara ekonomi tidak mampu.

Sumbangan dan Bantuan Pendidikan

Sementara itu, ketentuan mengenai sumbangan dan bantuan pendidikan diatur dalam Bab IV, yakni pada Pasal 10, yang menetapkan bahwa sumbangan hanya boleh dilakukan secara sukarela oleh masyarakat melalui komite sekolah. 

Bentuknya bisa berupa dana, barang atau jasa, namun “tidak boleh dijadikan syarat dalam proses penerimaan peserta didik, pembelajaran, atau kelulusan.” 

Komite sekolah wajib melaporkan penggunaan dana ini secara berkala kepada kepala sekolah dan orang tua peserta didik.

Bab V (Pasal 11) mengatur bahwa biaya pribadi peserta didik — seperti pembelian buku, alat tulis, seragam sekolah, transportasi, serta kegiatan ekstrakurikuler — menjadi tanggung jawab orang tua. 

Namun, pemerintah daerah diperbolehkan memberikan subsidi atau bantuan dalam bentuk beasiswa maupun program lain bagi peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi.

Pada Bab VI (Pasal 12), sekolah dilarang mengadakan pakaian seragam secara kolektif untuk jenis seragam umum seperti seragam putih abu-abu, seragam pramuka dan pakaian tenun khas daerah. 

Orang tua diminta membeli sendiri kebutuhan tersebut, kecuali atribut khusus seperti baju praktik SMK dan pakaian olahraga yang dapat diadakan oleh sekolah “dengan harga wajar dan terjangkau.”

Penggunaan IPP, sumbangan, dan bantuan dijelaskan lebih lanjut dalam Bab VII dan VIII (Pasal 13 dan 14). 

Pasal 13 ayat 1 menyebut dana IPP wajib digunakan untuk mendukung aspek pendidikan yang belum tercakup dalam anggaran dari pemerintah pusat maupun Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP). 

Prioritas penggunaannya mencakup pembayaran honor guru dan tenaga kependidikan non-ASN, peningkatan kompetensi guru, kegiatan ekstrakurikuler, pengembangan kurikulum, hingga pengadaan sarana belajar. Dana tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang sudah dibiayai oleh BOSP.

Sementara itu dalam Pasal 15, kepala sekolah diwajibkan menyusun laporan pertanggungjawaban pengelolaan IPP setiap semester atau akhir tahun ajaran. 

Laporan itu harus mencakup rincian penerimaan dan penggunaan dana, bukti pengeluaran dan penjelasan terhadap kendala yang muncul. 

Laporan selanjutnya diserahkan kepada komite sekolah dan Dinas Pendidikan serta diumumkan secara terbuka kepada orang tua peserta didik. Komite tidak berwenang memungut maupun mengelola IPP, melainkan hanya sebagai pengawas dan penerima laporan.

Sementara itu, upaya pengawasan dan pembinaan diatur secara sistematis dalam Bab IX (Pasal 16 hingga 20). 

Pengawas sekolah ditugaskan oleh Dinas Pendidikan untuk melakukan pendampingan dari tahap perencanaan hingga pelaporan IPP. Mereka juga diberi mandat untuk menindaklanjuti dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana pendidikan. 

Selain itu, setiap sekolah diwajibkan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengelolaan Pungutan, Sumbangan dan Bantuan, yang terdiri dari unsur sekolah, komite, orang tua dan masyarakat. Satgas ini berfungsi sebagai pengawas internal sekaligus penerima keluhan.

Dalam Bab X (Pasal 21 dan 22), masyarakat diberikan ruang untuk mengadukan pelanggaran peraturan melalui hotline, situs web resmi Dinas Pendidikan Provinsi NTT atau kotak saran di sekolah. Pengaduan tersebut wajib diproses paling lambat 14 hari sejak diterima, melalui investigasi yang melibatkan Dinas atau Inspektorat.

Sebagai bentuk penegakan aturan, Bab XI (Pasal 23) mengatur sanksi administratif bagi sekolah dan komite yang melanggar. 

Bentuk sanksinya mencakup teguran lisan, teguran tertulis, hingga pemberhentian kepala sekolah selama enam bulan, disertai hak klarifikasi dalam waktu 14 hari. 

Dinas juga diberikan kewenangan untuk “membatalkan keputusan sekolah atau komite terkait pungutan, sumbangan dan bantuan yang tidak sesuai dengan ketentuan.”

Menjawab Keresahan Publik

Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT, Darius Beda Daton menyatakan dukungan terhadap kebijakan terbaru ini, menyebutnya telah mengakomodasi berbagai aspirasi masyarakat yang selama ini disuarakan terkait praktik pungutan yang memberatkan peserta didik di sekolah negeri.

“Ombudsman mendukung pembahasan ini karena banyak ketentuannya menjawab langsung keresahan publik,” kata Darius kepada Floresa pada 30 Juli.

Ia merujuk pada pasal-pasal yang menegaskan bahwa pungutan tidak berlaku bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu secara ekonomi, serta tidak boleh dikaitkan dengan syarat akademik seperti penerimaan peserta didik baru, penilaian hasil belajar maupun kelulusan.

Darius juga menyoroti pengaturan Iuran Pengembangan Pendidikan (IPP), yang dalam draf disebut sebagai satu-satunya bentuk pungutan yang diperbolehkan di sekolah. 

“IPP adalah bentuk partisipasi sukarela orang tua untuk mendukung pembiayaan pendidikan yang belum atau tidak sepenuhnya tercakup oleh anggaran dari pemerintah,” katanya.

Selain itu, katanya, IPP juga tidak bisa digunakan untuk membiayai tugas tambahan guru jika beban kerja tersebut sudah diatur dalam regulasi atau telah didanai melalui tunjangan profesi dan anggaran negara. 

Di luar itu, lanjutnya, pungutan untuk delapan standar pendidikan, uang pembangunan, atau pengadaan fasilitas fisik seperti pagar, gapura dan paving block tidak boleh lagi dilakukan.

Menurut Darius, draf ini juga menunjukkan keberpihakan terhadap prinsip keadilan dan pencegahan praktik diskriminatif. 

“Hal ini tampak dalam larangan terhadap pungutan yang dilakukan secara memaksa, bersifat diskriminatif, atau dimotori oleh komite sekolah—baik secara perorangan maupun kolektif,” katanya. 

Draf itu juga melarang praktik penjualan perlengkapan pendidikan di sekolah, yang menurutnya dapat mencegah komersialisasi pendidikan yang bertentangan dengan prinsip keterjangkauan dan inklusivitas.

Ia juga menambahkan bahwa orang tua yang memiliki lebih dari satu anak di sekolah yang sama cukup membayar IPP untuk satu anak saja, sebagaimana diatur dalam ketentuan pembebasan sebagian. 

“Ini bentuk perlindungan agar pendidikan benar-benar tidak menjadi beban tambahan bagi rumah tangga dengan tanggungan lebih,” katanya.

“Harapan kami, dengan peraturan gubernur ini, biaya pendidikan menengah akan jauh lebih murah, sehingga akses pendidikan bisa meningkat dan angka tidak sekolah di NTT—yang saat ini mencapai 145 ribu orang—dapat ditekan,” tambahnya. 

Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTT, Darius Beda Daton. (Foto: Situs resmi Ombudsman)

Pembahasan draft peraturan Gubernur ini merespons temuan Ombudsman yang mengaku menerima banyak keluhan dari orang tua terkait tingginya biaya pendaftaran ulang murid baru di sejumlah sekolah di NTT. 

Temuan itu muncul menjelang berakhirnya tahap pendaftaran ulang murid baru Tahun Ajaran 2025 pada 25 Juni.

Salah satunya terkait pungutan di SMA Negeri 5 Kupang yang mencapai Rp2,2 juta per siswa. 

Pungutan tersebut menjadi sorotan publik karena dinilai membebankan orang tua.

Karena itu, dalam pertemuan bersama para kepala sekolah di Kota Kupang pada 3 Juli, Wakil Gubernur Johni Asadoma meminta klarifikasi Kepala SMA Negeri 5 Kupang, Veronika Wawo.

Dalam klarifikasinya, Veronika mengklaim “pungutan itu berdasarkan kebutuhan sekolah dan telah disepakati orang tua siswa.”

“Semua pembiayaan disampaikan kepada orang tua dan dari 395 orang tua yang hadir pada saat rapat sosialisasi, tidak ada yang keberatan,” katanya. 

Dalam pernyataan kepada Pos Kupang pada 25 Juni, Veronika menyebut salah satu komponen biaya yang disepakati adalah IPP sebesar Rp150.000 per bulan untuk siswa kelas X, XI dan XII, yang biasanya dibayarkan setiap tiga bulan sekali.

Kesepakatan lain, katanya, adalah terkait kontribusi untuk pengembangan delapan standar pendidikan, termasuk perbaikan pagar sekolah dan pembangunan panggung kreasi.

“Kebutuhan-kebutuhan itu tidak bisa terakomodasi dari dana BOS atau dana IPP sehingga kami komunikasikan kepada orang tua untuk mendukung secara bersama,” katanya.

Veronika mengklaim “item-item pembiayaan itu tidak ada di dalam juknis (petunjuk teknis) yang diterima dari dinas, tetapi kesepakatan sekolah, komite dan orang tua.”

Kendati tak merinci, ia mengklaim dana Rp2,2 juta itu paling banyak digunakan membiayai kebutuhan anak-anak.

“Pembiayaan ini sudah berlangsung sebelum saya jadi kepala sekolah,” katanya, sehingga “kami hanya meneruskan hal-hal yang telah diberlakukan kepala sekolah sebelumnya.” 

Kendati demikian, Johni Asadoma menilai “pungutan itu terlalu besar dan bisa memberatkan orang tua siswa yang kondisi ekonominya berbeda-beda.”

“Ini mengusik perasaan publik, makanya ribut semua,” kata Johni.

Editor: Anno Susabun

Solidaritas untuk Kawan Kami, Mikael Jonaldi

Jonal, salah satu jurnalis Floresa, sedang butuh biaya untuk operasi jantung. Kami mengharapkan solidaritas kawan-kawan untuk ikut membantu Jonal

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA