Floresa.co – Warga lingkar proyek geotermal di Flores dan pegiat sosial mengkritik langkah anggota DPRD NTT yang mengadakan kunjungan ke Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Jawa Barat, menyebutnya sebagai “studi abal-abal.”
Mereka juga menduga ada praktik gratifikasi oleh PT PLN yang membiayai perjalanan tersebut.
Antonius “Tony” Anu, pemuda dari lingkar proyek geotermal Mataloko, Kabupaten Ngada mempersoalkan pilihan DPRD melakukan studi banding tersebut sebab hingga kini mereka tidak pernah turun langsung ke lokasi proyek di NTT.
“Apakah mereka tahu permasalahan di lapangan? Apakah pernah bertemu warga? Jawabannya tidak pernah,” katanya kepada Floresa pada 29 Agustus.
Sementara pegiat sosial Gabriel Sola Goa menilai kunjungan tersebut “menimbulkan tanda tanya soal siapa yang membiayainya.”
“Kalau (dibiayai) oleh pemerintah, kan sekarang sedang ada efisiensi anggaran. Kalau oleh PT PLN ini patut diduga gratifikasi,” katanya.
Dalam kunjungan pada 21 Agustus itu, pimpinan dan anggota Komisi IV DPRD NTT didampingi perwakilan Direktorat Energi Baru Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, PT PLN dan pengelola PLTP Kamojang PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).
Ana Waha Kolin, salah satu peserta studi banding berkata, kunjungan tersebut menjadi kesempatan belajar untuk melihat langsung pengelolaan proyek geotermal.
“Pembangunan panas bumi memberikan dampak besar bagi masyarakat. Mulai dari kemajuan ekonomi rumah tangga, perekrutan tenaga kerja lokal, pengurangan pengangguran, hingga penyediaan listrik yang ramah lingkungan,” katanya dalam rilis yang disebarluaskan PT PLN.
Ana mengklaim salah satu poin pembelajaran usai kunjungan itu adalah perlunya edukasi dan sosialisasi proyek geotermal di NTT agar warga memahami manfaatnya dan mengurangi konflik.
Sementara Ketua Komisi IV Petrus Christian Mboeik menyebut kunjungan itu menambah keyakinan bahwa pembangunan panas bumi aman jika dikelola dengan baik.
Ia mendorong PLN dan pengembang proyek untuk konsisten memberikan informasi yang transparan kepada warga agar pemanfaatan geotermal di Flores dapat berjalan optimal dan berkontribusi pada pembangunan di NTT.
“Akal-akalan dan Tidak Relevan”
Tony Anu berkata kunjungan yang bertujuan studi banding itu “hanya akal-akalan perusahaan untuk mencari legitimasi.”
Ia menilai studi banding merupakan cara perusahaan untuk mendapat dukungan dari tokoh masyarakat, DPRD dan lembaga-lembaga pemerintahan, bahkan wartawan.
”Mereka peduli kepentingan diri sendiri, cari duit untuk isi perut, bukan untuk rakyat,” katanya menyebut peserta studi banding sebagai “pion perusahaan.”
“Apakah setelah studi banding otomatis proyek berjalan aman? Jawabannya tidak,” lanjutnya.
Ia berkata, jika DPRD benar-benar memiliki niat untuk mengetahui dampak proyek ini, seharusnya mereka mengunjungi lokasi proyek di Flores dan bertemu dengan seluruh anggota komunitas adat.
Romo Reginald Piperno, Ketua Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) Keuskupan Agung Ende menyayangkan pilihan DPRD studi banding ke Pulau Jawa karena “tidak relevan dengan konteks Flores.”
“Flores bukan Kamojang. Situasi sosial, kultural, struktur tanah Flores tidak sama,” katanya kepada Floresa.
“Bagi saya, studi banding untuk anggota DPRD itu bagian dari jalan-jalan dan pesiar. Tidak mungkin mereka melakukan analisis mendalam atas berbagai dampak yang dialami masyarakat,” lanjutnya.
Hal senada disampaikan Koordinator Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores (Alter-BKGF) Pater Felix Baghi, SVD.
Ia menyebut langkah DPRD sebagai bentuk pengabaian terhadap suara warga terdampak geotermal di Flores.
“Itu penipuan publik. Mereka mengabaikan fakta penderitaan rakyat,” katanya.
“Ini hal yang sangat aneh,” katanya, sembari menegaskan “sebagai bagian dari warga terdampak yang menolak proyek, kita tidak menghiraukan itu.”
Gabriel Sola Goa berkata, langkah DPRD itu serupa dengan studi banding Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai ke PLTP Lahendong di Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara pada Maret.
“Mereka lalu pulang dengan klaim bahwa geotermal baik-baik saja,” katanya.
Dalam kunjungan tersebut, yang dilakukan di tengah konflik yang memanas dengan warga Poco Leok, PT PLN membawa Bupati Herybertus GL Nabit, Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh, Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai Fauzi dan Komandan Kodim 1612 Manggarai Budiman Manurung.
Selain itu Sekretaris Daerah Fansy Aldus Jahang, Asisten Bidang Perekonomian Marianus Yosef Djelamu, Kepala Badan Kesbangpol Gondolpus B. Nggarang dan Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Livinus Vitalis Liven juga turut serta.
Dari unsur legislatif, ada Ketua DPRD Paulus Peos, Ketua Komisi B Aventinus Mbejak dan Ketua Komisi C, DPRD Klementinus Malis.
PLN juga membawa beberapa masyarakat Poco Leok yang mendukung proyek dan wartawan yang selama ini bekerja sama dengan korporasi itu.
Hendra Mokorowu, seorang wartawan di Sulawesi yang berbicara kepada Floresa kala itu berkata warga lingkar PLTP Lahendong mengakui terdapat banyak masalah proyek tersebut.
Beberapa di antaranya adalah kerusakan lingkungan, tidak adanya realisasi beasiswa yang dijanjikan perusahaan dan menurunnya produktivitas pertanian.
Warga, kata dia, juga mengaku pernah ditipu tim Universitas Sam Ratulangi tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ternyata tidak pernah terealisasi.
Gabriel berkata, “menyedihkan bahwa anggota-anggota dewan ini malah ke Jawa.”
“Mereka tidak mau tahu kondisi rakyat di NTT yang mereka wakili,” katanya.
Ia juga menyoroti DPRD NTT yang hingga kini tidak pernah membicarakan polemik proyek geotermal di ruang sidang.
“Malah sekarang habis (kunjungan) di Jawa, omong banyak soal manfaat geotermal. Mereka seharusnya tahu dan dengar baik-baik apa saja alasan warga di Flores, yang juga telah membuat para uskup bersuara,” katanya.
Floresa menghubungi Ketua Komisi IV DPRD NTT, Petrus Christian Mboeik, dan anggota komisinya Ana Waha Kolin pada 30 dan 31 Agustus untuk menanyakan sejumlah hal, antara lain apakah studi banding ini merupakan inisiatif DPRD atau usulan pemerintah provinsi, serta siapa yang menanggung biaya perjalanan tersebut, apakah sepenuhnya bersumber dari APBD atau ada pembiayaan lain.
Floresa juga menanyakan tanggapan kedua anggota tersebut atas kritik publik yang menyebut mereka tidak datang ke lokasi proyek geotermal di Flores yang berkonflik, tetapi memilih kunjungan ke proyek geotermal Kamojang, Jawa Barat.
Kendati demikian, hingga berita ini diturunkan, keduanya tidak menggubris permintaan konfirmasi tersebut.
Pemerintah sedang berusaha menggarap sejumlah proyek geotermal di Flores, bagian dari rencana transisi energi untuk memenuhi target infrastruktur listrik Indonesia sebesar 35.000 megawatt.
Pada 2017 pemerintah menetapkan Flores sebagai Pulau Panas Bumi dan mengidentifikasi 16 lokasi proyek.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pulau Flores memiliki potensi sebesar potensi 902 megawatt atau 65 persen dari total potensi di NTT.
Namun, proyek-proyek ini memicu resistensi warga lokal, karena lokasinya berdekatan dengan pemukiman dan lahan pertanian mereka.
Selain itu, mereka juga berkaca pada kegagalan proyek di Mataloko yang dikerjakan sejak dua dekade lalu, kini menyemburkan lumpur panas yang terus meluas dan merusak lahan-lahan warga.
Di sejumlah lokasi lain, seperti di Sokoria juga terjadi persoalan lingkungan, termasuk tercemarnya dan matinya mata air, yang menurut warga terjadi usai hadirnya proyek.
Laporan ini dikerjakan oleh Dominiko Djaga dan Elkelvin Wuran
Editor: Anno Susabun