Floresa.co – Puluhan mobil dump truck lalu lalang di depan Kantor Desa Radabata pada siang yang terik pada pertengahan September.
Dilengkapi kode nomor urut di kaca bagian depan, mobil-mobil tersebut mengangkut tanah dari lokasi pertanian Wio, Desa Radabata menuju lokasi lainnya di Desa Ulubelu.
Di Wio, tampak sebuah lubang galian seperti selokan besar, dengan tumpukan tanah yang menggunung di sampingnya. Sebuah alat berat sedang mengeruk tanah, lalu memindahkannya ke dalam dump truck.
Beberapa pekerja memandu mobil keluar masuk lokasi tersebut, sementara beberapa lainnya berada di sekitar alat berat.
Pada lahan seluas dua hektare tersebut, yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah warga yang terdekat, tampak beberapa plang peringatan keselamatan kerja serta sebuah tulisan: Wellpad B.
Pemandangan itu menandakan pengerjaan kembali proyek panas bumi di Mataloko, setelah kegagalan berulang sejak mulai dirintis lebih dari dua dekade lalu.
Hendra, pengawas lapangan PT Cipta Bangun Nusantara [PT CBN], yang kini mendapat kontrak pengerjaan proyek itu bersama PT Perusahaan Listrik Negara [PT PLN] berkata mereka masih menjalani fase konstruksi awal.
“Ada lima titik yang sedang dikerjakan, empat lokasi pengeboran dan satu warehouse piping atau tempat perbaikan pipa,” ungkapnya kepada Floresa di lokasi ujung timur Desa Radabata yang berpenduduk 1.707 jiwa itu.
Lokasi pengeboran terdiri atas masing-masing satu titik di Desa Radabata dan Desa Dadawea, dan dua titik di Desa Ulubelu. Ketiga desa itu terletak di Kecamatan Golewa, yang berjarak antara 15-18 kilometer dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada.
Dirintis 1998, Gagal Berulang Kali
Proyek geothermal Mataloko mulai dikerjakan pada 1998. Pengeboran awal dilakukan di Desa Ratogesa – kini setelah pemekaran menjadi wilayah Desa Wogo – dan Desa Ulubelu.
Namun, proyek itu gagal, di mana berbagai lubang bekas pengeboran mengeluarkan lumpur panas dan merusak kebun-kebun warga.
Felix Pere, 79 tahun, warga Kampung Turetogo, Desa Wogo mengatakan ingatannya akan kegagalan pada pengeboran awal lebih dari dekade lalu itu masih menyisakan trauma.
“Waktu itu bor yang pertama di sebelah bawah kali,” katanya kepada Floresa, merujuk ke titik berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Pengeboran, kata dia, dilakukan para pekerja usai mengadakan survei dan menentukan titik serta radius bor. Salah satu tiang penanda radius terluar pengeboran tampak masih ada di depan rumahnya hingga sekarang.
Felix mengenang insiden ledakan pada suatu malam sekitar pukul sembilan. Saking kaget mendengar ledakan, semua warga berhamburan keluar rumah, lari ke lokasi di ketinggian, katanya.
Dari kejauhan, Felix yang ikut berusaha menyelamatkan diri bersama warga lainnya melihat cahaya lampu di tempat pengeboran. Setelah bunyi ledakan berhenti, ia memutuskan untuk melihat dari dekat.
“Di situ saya lihat sesuatu yang menyala seperti bola listrik, muncul dan menyala dari dalam tanah, menyembur hingga ketinggian 15 sampai 30 meter,” katanya.
Ia mengenang kata-kata para pekerja kala itu bahwa titik yang dibor itu “terlalu dekat ke danau,” yang sebagai orang awam, dia menduga hal itu merujuk ke lokasi gas bawah tanah.
Menurut Felix, lubang hasil pengeboran tersebut kemudian ditutup kembali oleh para pekerja.
Angelina Baka, bungsu dari empat anak pasangan Felix dan Evimia Deru, 63 tahun, yang kala kejadian itu sedang di bangku kelas V Sekolah Dasar mengatakan ledakan dari tempat pengeboran tersebut seperti bunyi “gunung meletus”.
“Kami semua lari karena kaget, ini ledakan apa?,” kenang Angelina, kini berusia 36 tahun.
Usai ledakan itu, titik pengeboran lalu dipindahkan sekitar 200 meter ke tempat yang lebih tinggi.
Di tempat ini, sekitar tahun 2000, diadakan ritual adat “potong kerbau” sebelum dilakukan pengeboran, di mana Felix dan warga lainnya turut diundang.
“Waktu itu hadir juga Bupati Ngada,” katanya merujuk pada Yohanes Samping Aoh, yang berkuasa pada periode 1994-1999. Namun, pengeboran itu gagal lagi.
Pada 2004, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral – pernah melakukan evaluasi terhadap kegagalan proyek. Hasilnya dipresentasikan dalam The 33rd Annual Convention & Exhibition 2004, Indonesian Association of Geologist di Bandung pada 29 November – 1 Desember 2004.
Dalam dokumen hasil kajian bertajuk “Evaluasi Lapangan Panas Bumi Mataloko”, peneliti Rina Wahyuningsih dan Kastiman Sitorus menyatakan sumur MTL-01 dan MT-1 di proyek itu ditutup dengan semen “karena adanya semburan liar uap panas dan gas.”
Dua sumur tersebut, yaitu sumur landaian suhu dan sumur eksplorasi, terletak di dekat mata air panas. Sebelum aktivitas proyek dimulai, tempat itu sering digunakan warga sebagai tempat mandi dan pengobatan penyakit kulit.
Dokumen evaluasi tersebut juga menyimpulkan bahwa dua sumur tersebut “tidak memenuhi syarat sebagai pemasok uap PLTP Mataloko” yang menargetkan pasokan uap sekitar 40 ton/jam untuk kapasitas listrik 2,5 MW,
“Perlu dilakukan pengeboran sumur-sumur tambahan dengan total kedalaman antara 1000 meter hingga 1500 meter,” tulis dokumen tersebut.
Kegagalan pengeboran pertama itu, juga diakui oleh Arifin Kana, Pelaksana Harian PLTP Mataloko.
“Kondisi uap yang tidak sesuai maka sumur MT-1 ditutup kembali oleh pihak pengebor,” ungkapnya.
Kerusakan tersebut, kemudian diperbaiki, yang membuat PLTP Mataloko bisa beroperasi pada 2010. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena pada tahun berikutnya terjadi kerusakan pada sistem pembangkit.
Pada 2013 hingga 2015, PLTP kemudian kembali beroperasi, sebelum kemudian tidak berfungsi lagi karena uap berkapasitas 5 MW tidak dapat menggerakkan turbin.
Setelah kegagalan itu, pada 2019, pengerjaannya dimulai kembali. Namun, target operasi dari proyek di lokasi yang menyimpan potensi panas bumi 60 MW cadangan terduga tersebut dihentikan pada tahun berikutnya karena kembali memunculkan belerang.
Merusak Lahan Pertanian Warga
Bekas-bekas lubang proyek yang gagal itu kini terus mengeluarkan semburan lumpur.
Pantauan Floresa, dari belasan lubang dengan lebar yang bervariasi itu terdengar bunyi menderu. Selain lumpur, tampak pula asap yang mengepul.
Felix berkata, semburan lumpur panas mulai muncul pada 2006, menyisakan sebuah kawah berukuran besar. Setelah itu, muncul belasan lubang lainnya di lokasi berbeda, yang terus-menerus mengeluarkan lumpur panas.
Salah satu lubang semburan itu muncul persis di daerah saluran air yang mengairi sawahnya. Air itu berasal dari mata air, sekitar satu kilometer di sebelah barat lahannya. Sejak jalur air itu rusak, sawahnya ketiadaan air.
“Kini sudah tidak ada air lagi yang mengalir ke sawah saya,” ungkapnya sambil menunjuk area persawahan itu pada 30 Oktober.
Tak hanya itu, semburan lumpur panas tersebut juga menjadi ancaman bagi warga kampung Turetogo, karena kawah yang hanya berjarak sekitar 300 meter di belakang deretan rumah mereka.
Kepada Floresa, Felix sempat menunjukkan rumah iparnya di ujung barat Kampung Turetogo yang kini hanya menyisakan fondasi beton, berjarak kurang lebih 80 meter dari lahan pertanian yang telah dipenuhi semburan lumpur panas.
Ia mengatakan, rumah tersebut telah ditinggalkan iparnya sejak 2006. Iparnya pindah ke Desa Dadawea karena khawatir akan semburan lumpur panas dan kerusakan pada seng atap rumah “akibat gas beracun.”
Felix menambahkan sejak proyek itu berjalan, jenis tanaman pertanian yang menjadi sumber penghidupan warga, seperti kopi dan kemiri mengalami penurunan produktivitas.
Ia memiliki dua lahan yang ditanami kopi, dan semuanya sudah tidak lagi menghasilkan buah seperti sebelumnya.
Ia juga menyesalkan respons pemerintah atas kondisi ini, yang ia sebut “tidak melakukan apapun.”
“Mereka tidak datang beri tahu kami apa penyebab [penurunan produktivitas] dan bagaimana cara menangani masalah ini,” lanjutnya.
Martina Sola, 45 tahun, perempuan asal Desa Wogo mengatakan sebelum adanya proyek geothermal, terdapat permandian air panas yang sering “ramai dikunjungi warga, termasuk dari luar wilayah Mataloko.”
Lokasi tersebut berada di dekat titik pengeboran pertama yang kemudian gagal dan ditutup kembali.
“Orang yang mengalami kudis, gatal-gatal, mandi di situ langsung sembuh,” ungkapnya.
Namun saat ini, kata dia, warga tidak lagi mandi di air panas tersebut karena takut adanya percampuran dengan unsur lain yang berasal dari semburan lumpur panas.
Ia juga mengatakan, sejak adanya pengeboran, air sungai di belakang rumah mereka, yang menjadi pembatas antara kawasan permukiman dengan bekas sawah yang telah menjadi titik semburan lumpur panas, mengalami penurunan debit.
Saat hujan, kata dia, warnanya juga menjadi putih, bercampur dengan lumpur yang keluar dari lubang semburan di lahan pertanian sekitarnya.
Angelina Baka mengatakan, pada 2008 pernah terjadi penyakit kulit massal yang menyerang warga, termasuk anak-anak usai mandi di kali tersebut. Mereka mengalami gatal-gatal, lalu muncul bintik-bintik di badan.
“Dinas Kesehatan sempat datang cek airnya, tetapi kami masyarakat kecil tidak tahu hasilnya,” lanjut Angelina.
Sementara itu, seng atap rumah warga, kata dia, hanya bertahan “kadang satu sampai dua bulan, apalagi dengan kualitas seng sekarang yang agak tipis.”
“Mulai dari ujung, keropos, lalu lubang,” katanya.
Sebuah laporan Tirto pada 2022 mengungkapkan setidaknya 11 desa terdampak bencana akibat kegagalan proyek itu, memicu kerusakan 1.579 rumah warga.
Sementara itu, penelitian Justice Peace and The Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum [JPIC OFM], sebuah lembaga Gereja Katolik yang turut melakukan kajian dan pendampingan warga Mataloko pada 2017 menemukan bahwa “sekitar 30-an orang yang kehilangan lahan pertanian” akibat semburan uap dan lumpur panas.
Dikerjakan Kembali
Proyek di atas lahan seluas 210.700 meter persegi kini dilanjutkan, dengan target menghasilkan listrik pada 2024.
Dalam laman resmi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi energi [EBTKE] dijelaskan bahwa pengembangan PLTP Mataloko masuk dalam program 35 ribu MW, bagian dari prioritas pemerintah dalam bidang infrastruktur kelistrikan”.
Proyek tersebut, bagian dari Proyek Strategis Nasional, menargetkan energi listrik sebesar 2×10 Megawatt.
Pengerjaannya dilakukan PT PLN berdasarkan SK Menteri ESDM Nomor 4824 K/30/MEM/2015, dengan besaran dana 101,8 miliar rupiah.
Pantauan Floresa di lokasi PLTP Mataloko pada 11 September situasinya sepi, hanya beberapa orang pegawai dan kurang dari lima mobil milik PT PLN diparkir di dalam kompleks berpagar tembok dan jaring-jaring besi tersebut.
Di depan gerbang tampak sebuah plang yang sudah cukup usang, berukuran besar, bertuliskan “Area Panas Bumi Mataloko, Objek Vital Nasional Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004, Keputusan Menteri ESDM Nomor 77 K/90/MEM/2019”, disertai logo Kementerian ESDM dan PT PLN.
Joshua Simanungkalit, General Manager Unit Induk Pembangunan (UIP) Nusa Tenggara mengatakan, “pembangunan PLTP Mataloko merupakan bentuk komitmen PLN dalam mendukung upaya pemerintah meningkatkan peran EBT pada bauran energi nasional yang ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025.”
Pembangunan kembali dan perluasannya di beberapa titik pengeboran baru diklaim telah mengantongi Izin Prinsip, Izin Kesesuaian Tata Ruang, UKL-UPL Eksplorasi dan Izin Lingkungan Efektif dari Pemerintah Kabupaten Ngada, serta sudah melalui tahapan pembebasan lahan pada 2022.
Lokasi proyek itu kini dijaga ketat oleh aparat. Ketika pada 12 September mendatangi kantor PT CBN, 300 meter sebelah barat PLTP Mataloko, Desy, staf yang menerima Floresa sempat melarang mengambil foto di lokasi yang sedang dikerjakan, termasuk mengambil foto dari jalan umum.
Ketika ditanya alasannya, ia balik merespons: “Kalau foto, ini beritanya mau seperti apa?”
Ia mengatakan, seharusnya ada polisi yang bertugas untuk “keamanan kita di sini,” yang bisa memberi izin. Polisi tersebut sedang tidak ada di tempat hari itu.
Desy lalu mengarahkan Floresa menghubungi Niko, bagian hubungan masyarakat PT CBN, yang hari itu juga tidak berada di kantor, untuk memberi penjelasan terkait proyek itu.
Niko, yang dihubungi pada 22 November mengatakan sudah diganti Mohamad Yakob. Sementara Yakob tidak merespons permintaan wawancara, mengklaim baru memulai menjalankan tugasnya dan “baru masuk ke lokasi” Mataloko.
Ia sempat menanggapi soal aksi staf yang tidak memberi izin mengambil gambar pada 12 September. Ia berkata perlu berkoordinasi dengan PT PLN, karena “ini proyek PLN” dan PT CBN “cuma kontraktor”.
Pada 23 November, Floresa telah mengirim surat elektronik permintaan penjelasan kepada PT CBN, namun tidak mendapat jawaban.
Tanpa Sosialisasi, Warga Kian Cemas
Sementara itu, warga mengaku, pengerjaan kembali proyek itu tidak melalui sosialisasi yang memadai, seperti yang juga terjadi sejak dirintis pertama kali.
Damianus Dowa, 57 tahun, warga Desa Wogo mengatakan “belum pernah ada sosialisasi kepada seluruh masyarakat terkait proyek tersebut, baik pada saat pembangunan awal PLTP tersebut pada awal 2000-an, maupun beberapa waktu belakangan saat dikerjakan kembali.”
“Saya di sini bertahun-tahun, tidak pernah sosialisasi dengan masyarakat. Mereka [perusahaan] langsung dengan tuan tanah, tiba-tiba sudah ukur [lahan],” lanjutnya.
Senada dengan itu, Martina Sola juga berkata informasi mengenai proyek tersebut hanya diperoleh sebagian warga dari pembicaraan di antara mereka, bukan melalui sosialisasi yang resmi oleh pemerintah dan pihak perusahaan.
“Tidak pernah diberi tahu [dampaknya]. Mereka hanya bilang ‘kamu senang kalau ini sudah jadi, kamu akan dapat listrik,’” katanya.
Felix Pere juga berkata, ia hanya mendengar bahwa pemilik lahan dan pemerintah desa yang dilibatkan dan pernah diundang untuk sosialisasi di Bajawa.
“Dua minggu lalu ada pekerja yang melakukan pengeboran di lahan saya. Mereka bilang mau ambil sampel tanah, tanpa terlebih dulu memberi tahu saya,” ungkapnya.
Dengan kisah kegagalan berulang sebelumnya, lalu-lalang mobil dump truck yang melewati halaman kampung di beberapa desa hari-hari ini membuat warga semakin waswas.
Mereka khawatir karena tidak ada jaminan bahwa proyek baru ini bisa bernasib berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
Dalam beberapa waktu terakhir, fakta kegagalan proyek di Mataloko, telah menjadi area studi banding bagi warga lainnya di Flores yang sedang menentang proyek geothermal. Warga dari Wae Sano di Manggarai Barat dan Poco Leok di Manggarai sudah pernah berkunjung ke lokasi ini, yang kemudian memperkuat perlawanan mereka.
Martina Sola mengatakan hari-hari mereka dihantui kecemasan andai “tiba-tiba semburan lumpur baru akan muncul.”
Tinggal berdekatan dengan lokasi semburan lumpur panas tersebut, kata dia, juga membuat khawatir andai nanti semburan akan terjadi di kawasan permukiman.
“Maunya kami sebagai masyarakat tahu terlebih dulu jika akan ada kemungkinan terjadi masalah seperti itu,” katanya, berharap pemerintah dan perusahaan memberi mereka informasi yang memadai tentang dampak proyek itu.
Liputan ini dikerjakan oleh Anno Susabun dan Rosis Adir, bagian dari seri liputan Panas Dingin Proyek Strategis Nasional di Pulau Panas Bumi.
Editor: Ryan Dagur