Seruan dari Pulau Sumba: Ganti Total UU Kehutanan dan Sahkan RUU Masyarakat Adat

Seruan itu menjadi kesimpulan dari forum yang mempertemukan masyarakat adat, mahasiswa, organisasi masyarakat sipil dan DPRD

Floresa.co – Forum masyarakat di Pulau Sumba, NTT menyerukan agar pemerintah mengganti total Undang-Undang (UU) Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 karena dinilai gagal menjamin perlindungan hak masyarakat dan mengesahkan Rancangan UU Masyarakat Adat.

Seruan itu merupakan kesimpulan dari forum pada 29 Agustus 2025 di Waingapu, Kabupaten Sumba Timur yang mempertemukan masyarakat adat, akademisi, mahasiswa, organisasi masyarakat sipil dan anggota DPRD.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Cabang Nusa Tenggara Timur (Walhi NTT), bagian dari rangkaian persiapan menuju Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup Indonesia (PNLH) ke XIV.

Menurut para peserta, UU Kehutanan tidak hanya gagal dalam praktik, tetapi juga sejak dari dasar filosofis dan konseptualnya. 

Alih-alih menjadi payung hukum yang melindungi hutan dan rakyat, menurut forum itu, UU ini justru memposisikan negara sebagai pemilik tunggal kawasan hutan, sementara masyarakat adat yang turun-temurun menjaganya dianggap sebagai pengganggu.

Triawan Umbu Uli Mehakati dari Yayasan Koordinasi Pengkajian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Koppesda) berkata, pengetahuan adat seharusnya menjadi dasar pengelolaan hutan. 

“Pengelolaan berbasis kearifan lokal telah terbukti menjaga keberlanjutan hutan. Sayangnya, UU Kehutanan tidak memberi ruang untuk itu. Maka revisi pasal demi pasal tidak cukup, yang dibutuhkan adalah ubah total,” katanya.

Akademisi Universitas Kristen Wira Wacana, Umbu Pajaru Lombu juga menyoroti pasal hak menguasai negara dalam UU itu. 

Menurutnya, pasal itu masih berwatak kolonial karena memberi kesan negara memiliki tanah dan hutan. 

“(Padahal), negara (seharusnya) hanya diberi wewenang mengatur, mengurus dan menyelenggarakan, bukan memiliki,” katanya.

Namun, jelas Umbu, “pasal ini dijadikan alasan untuk mengeluarkan izin-izin skala besar yang merusak hutan.”

“Negara justru menjadi pelaku utama perusakan,” tegasnya.

Bagi Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, kegagalan UU Kehutanan juga terlihat dari bagaimana mendefinisikan hutan semata-mata secara teknokratis. 

“Bagi masyarakat adat, hutan adalah ruang hidup, bagian dari identitas dan spiritualitas. Namun UU ini hanya melihat hutan sebagai kayu dan sumber produksi,” katanya.

Ia menambahkan, proses penetapan kawasan hutan juga kerap mengabaikan dialog partisipatif maupun survei etnografi, sehingga legal secara formal tetapi kehilangan legitimasi sosial. 

“Secara yuridis pun, UU ini compang-camping karena tidak selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi,” katanya meski tanpa merinci putusan dimaksud.

“Karena itu, penggantian total mutlak dibutuhkan,” tambah Uli.

Di tengah desakan penggantian total UU Kehutanan, forum publik di Sumba juga menegaskan bahwa lahirnya UU Masyarakat Adat merupakan kebutuhan mendesak yang tidak bisa lagi ditunda. 

UU ini dipandang sebagai pijakan penting untuk memastikan pengakuan resmi terhadap hak-hak masyarakat adat yang selama ini terus diabaikan negara.

Pengakuan itu bukan hanya soal status identitas, tetapi juga hak atas ruang hidup, hutan, dan tanah yang telah mereka kelola selama turun-temurun. 

“Selama ini masyarakat adat dianggap tidak ada, padahal mereka yang menjaga hutan,” ujar Triawan Umbu Uli Mehakati dari Yayasan Koppesda. 

Menurutnya, jika UU Masyarakat Adat disahkan, maka revisi UU Kehutanan bisa disinkronkan agar berpihak pada rakyat.

Sementara itu, Umbu Tamu Ridi Djawawara, anggota DPRD Sumba Timur, menyoroti arah revisi oleh DPR RI yang lebih condong pada kepentingan pangan dan energi. 

“Kalau hanya itu tujuannya, jelas akan salah jalan. Kita ingin UU yang melindungi rakyat dan hutan,” katanya. 

Ia menambahkan, hutan di NTT bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi penyangga kehidupan. 

“Air, tanah, udara semua bergantung pada hutan. Jangan lagi dipandang hanya sebagai lahan produksi,” tegasnya.

Uli Arta Siagian dari Walhi berkata, UU Masyarakat Adat bisa memperbaiki akar persoalan. 

“UU Kehutanan gagal karena tidak mengakui masyarakat adat. Kalau UU ini hadir, pengelolaan bisa berbasis pengetahuan lokal,” ujarnya.

Dorongan ini juga lahir dari pengalaman panjang konflik tenurial di NTT, kata Umbu Tamu.

Penetapan kawasan hutan yang dilakukan sepihak, katanya, membuat masyarakat adat sering terpinggirkan, bahkan dikriminalisasi. 

“Selama negara tidak mengakui masyarakat adat, konflik tidak akan berhenti,” katanya.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA