Floresa.co – Hingga dua tahun lalu, warga di dekat lokasi PLTP Sokoria, Kabupaten Ende masih bisa memanfaatkan air dari sebuah mata air yang hanya berjarak puluhan meter dari kampung mereka.
Kini, mereka harus mengambil air di tempat yang lebih jauh setelah mata air itu tercemar, lima tahun usai proyek geotermal yang selalu digadang-gadang bagian dari energi baru dan terbarukan berjalan.
“Kami sudah lama sengsara ambil air di tempat jauh,” kata Yasinta We’e, warga Kampung Boti, Desa Sokoria.
“Yang punya sepeda motor bisa bawa air pakai kendaraannya. Orang yang tidak punya kendaraan, pakai pikul, junjung,” tambah ibu berusia 50 tahun itu.
Desa Sokoria, berpenduduk 1.050 jiwa yang tercakup dalam Kecamatan Ndona Timur berjarak sekitar 30 kilometer arah tenggara Ende. Desa itu berada di tapak pengeboran atau well pad C PLTP Sokoria.
Yasinta mengatakan mata air yang berjarak sekitar 30 meter dari well pad C itu dan dari rumah pertama di ujung timur Kena Guka, kampung di sisi utara Detu Boti, mulai ketahuan tercemar pada September 2021.
Mulanya, cerita Yasinta, ia mencuci pakaian di rumahnya menggunakan air dari mata air tersebut. Namun, detergen yang ia pakai tidak kunjung berbusa.
Ia sempat meneliti setiap kata yang ditulis pada kemasannya, sebelum berkesimpulan “mungkin karena habis masa berlakunya sehingga tidak berbusa.”
Ia baru sadar ada masalah dengan air itu saat mengecek kamar mandi. Air di bak kamar mandi terlihat berminyak.
“Kami cuci pakaian, cuci piring tidak berbusa, biar sebanyak apapun detergen,” katanya.
Saat mencoba meminum air itu, rasanya sudah berbeda, pahit, ceritanya.
Padahal, kata dia, mata air itu jadi sandaran tidak hanya bagi warga di Kampung Detu Boti, tetapi juga di Kampung Kopo One, Desa Sokoria Selatan.
Sadar dengan ‘bencana lingkungan’ itu, warga mulai melakukan protes kepada PT Sokoria Geothermal Indonesia [PT SGI], perusahaan yang mengerjakan proyek dan menangani PLTP itu.
Albertus Wanda, Kepala Desa Sokoria Selatan mengatakan, ia merupakan salah satu warga yang ikut memprotes ketika itu.
“Saat itu saya belum jadi kepala desa,” katanya kepada Floresa.
Setelah protes itu, PT SGI mendatangkan air ke kedua kampung itu menggunakan mobil tangki, dibagikan kepada warga.
Namun, kata Yasinta, hal itu hanya berjalan hingga Desember 2021 dan air tersebut hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi.
Untuk kebutuhan lain, seperti mencuci pakaian dan mandi, “kami harus berjalan jauh mengambilnya.”
Setahun kemudian PT SGI berjanji membangun jaringan air bersih, sembari meminta masyarakat terdampak untuk “mencari mata air baru.”
Mereka lalu memilih mata air di pegunungan yang masuk dalam kawasan Taman Wisata Alam Kelimutu, sekitar tiga kilometer arah utara, dekat dengan Danau Kelimutu yang terkenal sebagai danau tiga warna.
Perusahaan hanya menyiapkan material seperti pipa, pasir, dan semen, sementara untuk pengerjaan jaringan dibebankan kepada warga.
Namun, kata Yasinta, proyek itu mandek karena pipa-pipa yang disiapkan belum bisa menjangkau Kampung Detu Boti dan Kopo One.
Ia juga berkata, “sampai saat ini, masih banyak material yang perusahaan belum sediakan. Apa kendala mereka, kami masyarakat tidak tahu.”
Seorang warga Desa Sokoria yang pernah bekerja di PT SGI berkata kepada Floresa, perusahaan itu bersama Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ende pernah mengambil sampel air tersebut untuk diteliti.
“Tapi sampai sekarang, kami belum tahu hasilnya seperti apa,” kata warga itu, yang meminta namanya tidak dipublikasi.
Berdampak pada Tanaman Pertanian
Selain pencemaran mata air, pengerjaan proyek geotermal Sokoria juga berdampak pada rusaknya tanaman pertanian, kata warga.
Anastasius Lala Tesi, warga Kampung Nua Noka, Desa Sokoria Selatan mengatakan cabai-cabai di kebunnya rusak sejak proyek itu berjalan.
“Daunnya kusut dan mengerut, tidak berbuah lagi,” katanya.
Anis, sapaan pria berusia 57 tahun itu, menanam cabai di kebun berukuran 50×200 meter. Lokasinya di sebelah barat PLTP Sokoria.
Ia menduga, tanaman cabai rusak karena terkena asap dari PLTP yang ditiup angin ke arah kebun itu.
Dugaannya merujuk pada perbandingan hasil cabai sebelum dan sesudah PLTP itu beroperasi.
“Sebelum pembangkit listrik beroperasi, saya panen setiap hari paling rendah 50 gelas. Kalau diuangkan, Rp500 ribu per hari. Hanya karena proyek itu, jadi hancur,” katanya.
Urbanus Bata Kota, salah satu warga Desa Sokoria menduga PLTP itu juga penyebab tanaman kopi dan cengkih di kebunnya tidak berbuah.
“Dahulu, Sokoria ini daerah penghasil kopi. Tetapi, setelah ada proyek ini, kopi sudah tidak berbuah lagi,” katanya.
“Kopi untuk diminum sendiri saja sekarang sudah susah,” kata Urbanus, 49 tahun.
Dampaknya, kata dia, kemudian berlapis, dari kehilangan pendapatan, hingga tidak bisa menyekolahkan anak.
“Anak-anak kami yang duduk di bangku SMA tidak bisa lanjut kuliah karena kopi dan cengkih tidak berbuah.”
Urbanus yang ditemui di sela-sela aktivitasnya mengecor jalan rabat beton menuju Kampung Nua Ria mengatakan, sumber nafkahnya kini bergantung pada pekerjaan sebagai buruh kasar.
“Untuk beli beras, kami kerja proyek begini,” katanya, merujuk proyek jalan dengan menggunakan dana desa itu.
Cerita warga tentang tanaman kopi yang diduga terdampak itu juga disaksikan Floresa di kebun-kebun warga.
Pohon-pohon kopi arabika tampak meranggas di sisi kiri kanan jalan di arah timur dan selatan lokasi PLTP.
Kecemasan terhadap keberadaan geotermal itu juga sempat diutarakan pelaku wisata di Ende, terkait dampaknya terhadap Danau Kelimutu.
Pada 2021, Perkumpulan Pelaku Pariwisata Moni-Kelimutu [P3MK] melaporkan informasi penurunan debit air danau itu, diduga karena aktivitas pengeboran geotermal Sokoria.
Mereka sempat meminta kepada DPRD Ende untuk mendesak pemerintah melakukan penelitian terkait hal ini.
Dugaan Manipulasi dan Muslihat Sejak Awal
Berbeda dengan proyek geotermal di wilayah lainnya di Flores, seperti di Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat dan Poco Leok, Kabupaten Manggarai yang resistensi warganya cukup kencang, suara perlawanan di Sokoria nyaris tidak terdengar.
Kepada Floresa, warga mengatakan hal itu bukan karena tidak ada masalah dengan proyek itu, tetapi karena tidak ada yang mau menyampaikan suara mereka.
Saat Floresa mendatangi Sokoria pada September, mereka awalnya menolak untuk diwawancarai.
“Banyak wartawan datang,” kata seorang di antaranya, “namun tidak ada yang kemudian menulis tentang kegetiran kami.”
Mereka baru bersedia diwawancarai setelah mengecek situs Floresa, lalu berterus terang mengungkap berbagai dugaan manipulasi informasi dan dugaan muslihat sejak awal masuknya proyek ini.
Mikael Exan Asfes, Sekretaris Desa Sokoria bercerita, dia masih ingat betul saat sosialisasi awal proyek itu pada 2016.
Dalam sosialisasi di Gereja Katolik Sokoria itu, kenangnya, perwakilan PT SGI “menceritakan hal yang baik semua” dan “tidak ada cerita dampak negatifnya.”
Ketika saat itu ada warga yang bertanya tentang dampak negatif dari proyek tersebut terhadap air, kata pria berusia 42 tahun itu, “mereka jawab, oh tidak ada.”
Sementara itu, Lodovikus Galu, 58 tahun, warga Kampung Nua Ria mengatakan, setiap kali ada sosialisasi tentang proyek itu, tidak semua warga dilibatkan.
Yang diundang, kata dia, hanya pewaris atau pemilik lahan, mosalaki, sebutan untuk tetua adat dan aparatur desa.
Dugaan manipulasi lain, cerita Ludovikus, terjadi saat proses pengadaan lahan proyek tersebut.
Ia berkata, pemilik lahan dan mosalaki dikibuli oleh PT SGI.
Awalnya, jelas Ludovikus, disepakati bahwa lahan untuk PLTP itu akan dikontrak selama 30 tahun dan biayanya akan dibayar setiap tiga bulan.
“Namun, perusahaan kemudian maunya dihibahkan dan ganti rugi lahan dibayar satu kali untuk 30 tahun,” katanya.
Menurutnya proses hibah tanah itu juga diduga penuh pembohongan terhadap empat Mosalaki Pu’u di Sokoria. Mosalaki Pu’u sebutan untuk mosalaki yang mempunyai kekuasaan tertinggi, termasuk dalam hal urusan tanah ulayat.
Keempat mosalaki itu, kata dia, dijemput perusahaan menggunakan mobil dan dibawa ke Ende pada 13 Oktober 2020.
“Satu mosalaki satu mobil. Mereka tidak menumpang mobil yang sama,” katanya.
Sesuai informasi dari keempat mosalaki itu, kata dia, mereka dibawa ke Komando Distrik Militer [Kodim] Ende dan “di sana mereka diminta tanda tangan persetujuan untuk hibahkan tanah.”
“Mereka masuk ruangan yang berbeda-beda. Di dalam ruangan itu, setiap mereka diberi tahu bahwa tiga teman mosalaki yang lain sudah setuju dan tanda tangan,” katanya.
Hal itu, jelas dia, membuat setiap mosalaki itu terpaksa tanda tangan, mengira ketiga teman mereka sudah tanda tangan.
Floresa menemui salah satu dari empat mosalaki itu, yang kemudian mengafirmasi cerita Lodovikus.
“Saya masih petik cengkih saat dijemput waktu itu,” katanya. “Di Kodim itu, kami dibawa ke ruangan yang berbeda-beda.”
Mosalaki itu yang meminta namanya tidak disebut karena takut berurusan dengan aparat keamanan mengatakan ia terpaksa menandatangani dokumen persetujuan hibah tanah itu karena “menurut mereka, tiga mosalaki yang lain sudah setuju dan tanda tangan.”
Arkadeus Soba, mantan Kepala Desa Sokoria dua periode pada 2007-2019 juga membenarkan cerita Ludovikus dan mosalaki itu.
Ia merupakan orang yang yang memfasilitasi semua proses terkait proyek ini di desa, termasuk mendekati para mosalaki.
Arkadeus berkata kepada Floresa, sejak awal ia sebenarnya berniat mengundang seluruh masyarakat untuk mengikuti sosialisasi terkait proyek tersebut.
“Tetapi, karena trik investor, makanya begitu, tidak semua warga bisa ikut sosialisasi,” katanya.
Namun, ia tidak menjelaskan rinci terkait trik investor yang ia maksud.
Janji yang Diingkari
Di sisi lain, warga juga menyebut perusahaan ingkar janji, sesuai dengan isi kesepakatan yang tertuang dalam dokumen Nota Kesepahaman antara PT SGI dan masyarakat Sokoria itu.
Dalam dokumen itu yang salinannya diperoleh Floresa, terdapat beberapa poin permintaan masyarakat yang dinyatakan sanggup dipenuhi oleh perusahaan.
Beberapa dari sejumlah permintaan itu termasuk mendukung pembangunan jalan dari lokasi menuju dua kampung adat sesuai dengan kemampuan perusahaan setelah masa produksi atau menghasilkan listrik.
Poin lainnya adalah memberdayakan putra daerah Desa Sokoria sebagai pekerja perusahaan dan atau kontraktor perusahaan sesuai dengan kebutuhan, keahlian, kemampuan serta memenuhi aturan Community Development and Community Relations [CDCR].
Nota Kesepahaman yang dibuat pada 10 Desember 2016 itu ditandatangani oleh Marselinus Langi, Mosalaki Pu’u; Arkadeus Soba, Kepala Desa Sokoria; Birean Sagala, SGI Site Manager; dan Ahmad Taufik, SGI CDCR.
Arkadius mengatakan, selain permintaan yang tertuang dalam Nota Kesepahaman itu, PT SGI juga membuat janji tertulis dengan Pemerintah Desa Sokoria terkait perbaikan jalan menuju dan di dalam wilayah Desa Sokoria yang rusak karena dilintasi oleh truk-truk besar milik perusahaan.
“Janji-janji perusahaan itu baru beberapa yang mereka laksanakan, salah satunya bantuan alat tulis untuk anak sekolah, pemeriksaan dan pembagian obat gratis untuk masyarakat,” katanya.
Sedangkan terkait pengerjaan jalan, kata dia, sampai saat ini belum terealisasi.
“Padahal listriknya sudah produksi, tetapi belum ada niat baik perusahaan untuk memenuhi janji-janji mereka dulu,” katanya.
Sementara itu, Lodovikus mengatakan tidak semua warga lokal bisa bekerja di PT SGI.
“Yang bekerja di sana itu hanya pemilik lahan,” katanya.
Ia mengatakan banyak pekerja yang bukan tenaga ahli, justru didatangkan dari luar daerah, seperti dari Jawa dan Sumatra.
“Pekerja dari luar itu mengerjakan hal yang sebenarnya warga di sini bisa kerjakan, seperti tarik kabel dan gali tanah,” katanya.
Pipa-pipa Panas di Depan Rumah Warga
Asap putih terlihat terus mengepul dari dua cerobong besar di dalam pembangkit listrik itu, seperti disaksikan Floresa. Bau belerang menyengat hidung.
Pipa-pipa berukuran besar silang melintang di lokasi itu. Di dekat pipa-pipa itu, ada sebuah kolam berukuran besar.
Sejumlah bangunan juga tampak berdiri kokoh di area pembangkit listrik, beberapa di antaranya terhubung dengan pipa-pipa besar tersebut.
Salah satu sisi lokasi pembangkit listrik itu yang berbatasan langsung dengan jalan umum dipagari dengan tembok beton dan jaring kawat.
Area pembangkit listrik itu berada persis di pintu masuk dari arah utara Desa Sokoria yang berbatasan langsung dengan Taman Wisata Alam Kelimutu.
Di luar pagar pembangkit listrik itu, tampak terpampang sebuah plang bertuliskan “Area Panas Bumi Sokoria, Objek Vital Nasional Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral.”
Saat Floresa tiba di lokasi itu pada September, beberapa pria berseragam hitam dibalut rompi hijau tampak berjaga-jaga di gerbang masuk.
Sebuah pipa dengan ukuran besar yang terhubung dengan pipa-pipa di dalam pembangkit listrik tersebut dipasang persis di sisi jalan, di depan beberapa rumah warga yang hanya berjarak 20 hingga 70 meter di arah barat lokasi itu.
Pada beberapa titik di pipa berwarna putih itu tertulis “Awas Pipa Panas.”
Pipa itu yang juga melintasi kebun-kebun warga, terhubung dengan pipa-pipa besar di area Well Pad C.
Saban hari warga melintasi jalan umum di samping pembangkit listrik dan pipa-pipa panas tersebut. Kebanyakan warga berjalan kaki saat pergi dan pulang dari kebun.
Lalu lintas kendaraan bermotor juga cukup ramai di jalan yang merupakan jalur penghubung Kecamatan Ndona Timur dengan Kota Ende itu.
Urbanus Bata Kota mengatakan perusahaan mengambil jalan pintas, memasang ‘pipa panas’ di bahu jalan umum, karena warga tidak memberi izin lahan mereka dilalui pipa tersebut.
“Dulu sudah survei lokasi untuk pemasangan pipa, tetapi karena masyarakat tidak berikan lahan, perusahaan memilih pasang di bahu jalan,” kata Urbanus yang bekerja di PT SGI saat pemasangan pipa itu.
Sementara seorang warga Sokoria lain mengatakan, “perusahaan sebenarnya pasang pipa panas di bahu jalan karena warga meminta ganti rugi lahan.”
“Kalau lewat di badan jalan kan tidak dibayar,” kata warga tersebut.
Klaim Perusahaan
Cerita miris warga muncul di tengah klaim kesuksesan PLTP Sokoria, yang sudah mulai beroperasi pada tahun lalu, meski target awalnya pada 2020.
Pembangunan PLTP Sokoria dimulai sejak 2010 oleh PT Bakrie Power Corp. Pada 2016, proyek tersebut kemudian diakuisisi oleh KS Orka Renewables Pte. Ltd, yang berbasis di Singapura, induk dari PT SGI.
KS Orka adalah juga pemilik 95 persen saham PT Sorik Marapi Geothermal Power [SMGP] di Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara yang memiliki rekam jejak beberapa kali mengalami kecelakaan karena kebocoran gas beracun H2S dan menelan korban nyawa.
Dalam insiden kebocoran gas pada 25 Januari 2021 di lokasi PT SMGP, lima warga meninggal, dua di antaranya anak-anak dan 49 warga dirawat di rumah sakit. Sementara pada 14 Mei 2021, terjadi ledakan dan kebakaran di lokasi proyek, memaksa warga harus mengungsi. Insiden terbaru pada 6 Maret 2022 saat terjadi kebocoran gas H2S membuat 58 warga harus dirawat karena mengalami mual, pusing, muntah hingga pingsan.
PLTP Sokoria mulai dikembangkan sejak 2016, setahun setelah PT SGI mendapat izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk wilayah kerja panas bumi seluas 42.570 hektare. Perusahaan menggelontorkan dana 212,85 juta dolar Amerika Serikat untuk pengerjaanya, setara dengan sekitar Rp3,3 triliun.
Unit 1 PLTP Sokoria terealisasi pada Maret 2022 untuk energi berkapasitas 5 MW dan unit 2 pada pada 28 Juli 2023, dengan kapasitas 3 MW. Totalnya kini 8 MW dari target 30 MW.
PT SGI mengklaim akan terus melakukan pengembangan PLTP Sokoria, dengan membangun unit 3. Target daya terpasang adalah 11 MW.
Floresa menghubungi PT SGI pada awal November, mengutarakan berbagai keluhan warga Desa Sokoria tentang proyek itu.
Dalam surat elektronik balasannya, Yan Tang, direktur utama PT SGI membantah semua cerita warga, mengklaim tidak ada masalah sejak proyek itu mulai digarap.
Ia mengatakan, PLTP Sokoria “merupakan proyek strategis nasional yang diprioritaskan untuk mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan,” serta menekankan adanya dukungan dari Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Kabupaten Ende, “termasuk dalam kegiatan pengadaan lahannya.”
Ia menjelaskan, sesuai dengan Power Purchase Agreement (PPA) dengan PT PLN, PLTP Sokoria akan diserahkan kepada PLN setelah masa eksploitasi 30 tahun berakhir dan akan menjadi aset negara.
Perihal pengadaan lahan yang kemudian dilakukan melalui proses hibah, ia berkatadalam PPA itu ada ketentuan bahwa untuk mencapai Commercial Operation Date [COD] Unit I 5 MW, PT SGI harus memiliki lahan.
Hal itulah, kata dia, yang membuat mereka melakukan negosiasi lahan itu dengan warga.
Yan mengklaim untuk memenuhi ketentuan peraturan hukum adat yang berlaku di Sokoria, pengalihan tanah adat dilakukan melalui hibah yang kemudian pembayarannya dilakukan oleh PT SGI sesuai taksiran dari Kantor Jasa Penilai Publik [KJPP]. Ia tidak merinci nominal taksiran KJPP itu.
Yan tidak memberi penjelasan spesifik terhadap pertanyaan Floresa terkait proses hibah yang tidak transparan, termasuk soal dugaan manipulasi terhadap mosalaki yang dibawa ke Kodim Ende.
Sementara terkait PT SGI yang belum menjalankan kesepakatan untuk memperbaiki jalan di Desa Sokoria, ia menyebutnya “tidak benar.”
Ia berkata, sampai dengan 8 November 2023, perusahaan telah melakukan kegiatan perbaikan jalan di Dusun Lelepodo, Dusun Loka, dan Dusun Leledala, sebagaimana tertuang dalam Nota Kesepahaman tanggal 10 November 2016 dan juga dalam Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan Jalan tanggal 25 Agustus 2016.
“PT SGI menyadari pentingnya kondisi jalan yang baik dalam kegiatan sehari-hari komunitas sekitar. Namun, di sisi lain perlu dipahami bahwa pemeliharaan jalan yang rutin merupakan sebuah proses yang berkelanjutan,” katanya.
Sementara terkait masalah mata air yang tercemar, Yan mengklaim telah dilakukan sosialisasi hasil sampel mata air oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ende pada 6 Desember 2019 di Kantor Desa Sokoria Selatan.
“DLH Kabupaten Ende telah mengeluarkan Laporan Hasil Investigasi Nomor DLH.660.1/PPKLH/509/XI/2019 yang menyimpulkan bahwa benar terjadi penyimpangan parameter secara fisik, tapi bukan akibat dari dan tidak berkaitan dengan aktivitas SGI dan tidak membahayakan kesehatan masyarakat,” klaimnya.
Sementara terkait konsultasi publik yang tidak melibatkan semua masyarakat, kata dia, juga tidak benar, karena “konsultasi publik adalah bagian integral dari pendekatan kami dengan masyarakat dalam pengembangan proyek PLTP Sokoria.”
“Konsultasi yang menyampaikan dampak positif dan negatif dari pengembangan panas bumi telah dilakukan beberapa kali sebelum dimulainya kegiatan operasi di PLTP Sokoria dan melibatkan perwakilan Pemerintah Kabupaten Ende serta masyarakat secara luas,” jelasnya.
Ia menyebut sejumlah kegiatan konsultasi publik tersebut, seperti konsultasi publik dalam rangka Studi Dokumen Lingkungan Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Sokoria Kapasitas 30 MW dan Sarana Penunjangnya yang dilakukan di wilayah Saga Ende pada 9 Oktober 2016, di wilayah Wolotolo pada 10 Oktober 2016, dan di wilayah Sokoria pada 13 November 2016.
Selain itu, kata dia, adalah sosialisasi Kegiatan dan Rencana Pembebasan Lahan di Kantor Desa Sokoria pada 27 September 2018; sosialisasi Pengembangan Proyek Panas Bumi di Wilayah Mutubusa pada 29 September 2018; sosialisasi Proyek SGI di Wilayah Kurulimbu pada 6 November 2018 dan sosialisasi proyek SGI di wilayah Puutuga pada 8 November 2018.
“Kami ingin menekankan bahwa kami secara rutin melakukan sosialisasi untuk setiap kegiatan yang kami jalankan,” katanya.
“Ini adalah bagian dari komitmen kami untuk menjaga transparansi dan memastikan masyarakat memiliki pengetahuan yang cukup tentang setiap tahap proyek.”
Sebagai contoh, kata Yan, beberapa sosialisasi terakhir yang perusahaan lakukan adalah terkait bahaya H2S sebelum kegiatan pembukaan sumur MTB-A untuk dusun terdekat pada 18 November 2021; dan sosialisasi Pengenalan Panas Bumi di SDK 1 Sokoria, SDK 2 Sokoria dan SMP Sokoria pada bulan Juni 2021.
Sementara terkait pipa panas yang dipasang di pinggir jalan umum, kata dia, itu “telah dirancang dan dikonstruksi dengan mempertimbangkan aspek keselamatan.”
“Salah satu fitur keselamatan utama dari pipa panas bumi adalah penggunaan bahan kalsium silikat sebagai isolator yang berfungsi sebagai penghalang yang mencegah kontak langsung panas yang berasal dari fluida di dalam pipa dengan lingkungan eksternal,” klaimnya.
Selain itu, lanjutnya, “untuk memastikan keamanannya, kami juga melakukan pressure test dan radiography test pada tanggal 26 Juni 2020 dalam upaya kami untuk memverifikasi kekuatan dan ketahanannya terhadap tekanan dan menjaga integritasnya.”
PT SGI, kata dia, “telah menerima izin dari Pemda Kabupaten Ende, Bupati Ende Drs. Djafar H. Achmad, MM. yang tertuang dalam surat nomor BU.620/PUPR.07/256/IV/2020 tanggal 3 April 2020 perihal Persetujuan Prinsip Izin Pembangunan/Penempatan Bangunan dan Jaringan Utilitas.”
“Penggunaan bahu jalan ini dilakukan setelah pertimbangan matang, mengingat kebutuhan pasokan listrik di Pulau Flores,” katanya.
“Kami sangat menghargai dukungan dari Pemda Kabupaten Ende dalam upaya kami untuk menyediakan sumber energi listrik terbarukan yang andal bagi masyarakat Pulau Flores,” tambahnya.
Floresa sudah berupaya untuk meminta penjelasan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ende terkait pencemaran mata air yang diduga akibat pemboran panas bumi tersebut, tetapi belum berhasil.
Pertanyaan konfirmasi yang dikirim melalui alamat surat elektonik resmi instansi itu, dinyatakan gagal terkirim.
Dihubungi melalui nomor telepon admin yang tercantum di website Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ende, penerima telepon mengatakan bahwa ia bukan admin instansi itu, lalu buru-buru mematikan telepon.
“Pernyataan Perusahan Hanya untuk Kepentingan Mereka”
Floresa kembali meminta tanggapan warga Desa Sokoria terhadap klaim-klaim PT SGI.
Arkadeus Soba menyebut pernyataan perusahaan itu “hanya untuk kepentingan mereka.”
“Coba mereka membuat pernyataan seperti itu di depan seluruh masyarakat,” katanya.
Ia mengatakan, sampai saat ini, “tidak pernah ada sosialisasi terkait hasil uji laboratorium sampel air yang tercemar itu,” seperti yang diklaim Yan.
Sementara Anis mengatakan klaim-klaim PT SGI itu “omong kosong karena tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan.”
Ia mengatakan, jalan yang diklaim diperbaiki PT SGI merupakan jalur yang selalu dilintasi oleh kendaraan perusahaan itu.
“Jadi jalan yang diperbaiki itu sebenarnya bukan untuk kepentingan masyarakat. Itu untuk kepentingan mereka,” katanya.
Menurutnya, jalan yang diperbaiki oleh PT SGI itu juga hanya pada beberapa titik yang rusak parah.
“Kalau mereka bilang ‘menyadari pentingnya kondisi jalan yang baik dalam kegiatan sehari-hari komunitas sekitar’, itu bohong semua itu,” katanya.
“Justru sampai sekarang kami merasakan jalan ini rusak terus. Sekarang kerja jalan itu pakai dana desa, bukan dana perusahan,” tambahnya.
Anis juga mempertanyakan klaim PT SGI yang menyebutkan bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ende telah melakukan sosialisasi terkait hasil uji laboratorium sampel air yang tercemar.
“Siapa-siapa yang hadir saat sosialisasi?” katanya. “Omong kosong sekali.”
Ia mengatakan, kalau perusahan mengklaim bahwa air yang tercemar tidak berbahaya, seperti klaim Yan, “coba suruh dia yang omong itu datang minum itu air.”
“Gara-gara pengeboran panas bumi, air jadi rasa aneh-aneh, warna aneh-aneh,” katanya.
Anis mengatakan, perusahaan “boleh pintar membikin administrasi dan mengklaim bahwa konsultasi publik melibatkan masyarakat luas.”
Tetapi, faktanya, kata dia, “hanya orang-orang tertentu yang diundang ikut konsultasi publik.”
“Bohong kalau mereka bilang melibatkan semua masyarakat,” katanya.
“Jangan bantah masyarakat yang sekarang merasakan imbas dari pengeboran geotermal itu,” kata Anis.
Gusar dengan Masa Depan
Di tengah berbagai kisah pelik warga yang hidup berdampingan dengan PLTP Sokoria itu, pemerintah dan PT SGI gencar mempromosikan kesuksesan proyek tersebut.
Penelusuran Floresa, lebih dari 10 berita yang diterbitkan sejumlah media yang berbasis di luar Flores terkait peresmian unit 2 PLTP Sokoria pada Juli tahun ini.
Dalam pemberitaan-pemberitaan itu, sama seperti saat sosialisasi awal di Sokoria, pemerintah dan perusahaan hanya membicarakan hal-hal baik dari proyek tersebut.
Sementara itu, warga di Desa Sokoria kini hidup dalam kecemasan dengan masa depan mereka.
Yasinta mengatakan, jika dalam kondisi terdesak, warga terpaksa mengonsumsi air yang tercemar itu.
“Mau bagaimana lagi. Kita minum saja,” katanya.
Sementara Anis cemas akan keberlangsungan hidup keluarganya karena cabai yang merupakan sumber pendapatan terbesarnya sudah tidak produktif.
“Kalau sudah begini, saya mau makan apa?” katanya.
Urbanus mengatakan kini ia memilih pasrah saja dengan banyak soal yang mereka alami setelah masuknya proyek itu.
“Kami tidak tahu harus mengadu ke mana,” katanya.
Sementara Arkadius mengatakan, ia menyesal melihat dampaknya kini, sementara dahulu ia yang memfasilitasi masuknya proyek itu saat sebagai kepala desa.
“Itu kesalahan saya,” katanya. “Sekarang, ketika perusahaan tidak menepati semua kesepakatan dengan masyarakat, kita berdiri bersama untuk menyuarakan itu.”
Liputan ini dikerjakan oleh Rosis Adir dan Anno Susabun, bagian dari seri liputan Panas Dingin Proyek Strategis Nasional di Pulau Panas Bumi.
Editor: Ryan Dagur