Nur Dafiq, Dosen Unika St Paulus Ruteng: Perlu Kesadaran Bersama Melawan Kekerasan Seksual, termasuk di Lingkungan Kampus

Sejumlah kasus pelecehan seksual terungkap di Flores dalam beberapa tahun terakhir, dengan pelaku orang-orang terdekat korban. Di Unika St. Paulus Ruteng sudah muncul mahasiswa yang berani melapor

Floresa.co – Sejumlah kasus persetubuhan anak di Flores yang terungkap dalam beberapa tahun terakhir justru dilakukan anggota keluarga, termasuk oleh ayah yang seharusnya melindungi dan mengayomi anak-anaknya.

Selain itu, kasus tersebut melibatkan orang dekat yakni tetangga dan guru.

Dalam menjalankan aksinya, para pelaku kerap menebar ancaman akan membunuh korban jika melaporkan kelakuan mereka kepada orang lain.

Nur Dafiq, pengajar Psikologi Belajar dan Pembelajaran Universitas Katolik Indonesia [Unika] Santu Paulus Ruteng mengatakan kekerasan seksual terhadap anak seringkali terjadi karena kurangnya edukasi seksual sejak dini.

Tekanan ekonomi, stres, dan akses terhadap konten seksual di media sosial, kata lulusan Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 2016 ini, juga dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual terhadap anak.

“Kemiskinan dapat menyebabkan stres yang berujung pada perilaku buruk. Ditambah lagi, kontrol sosial yang minim membuat kejahatan lebih mudah terjadi,” katanya.

Nur Dafiq lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat pada 9 Juli 1988. Ia menyelesaikan pendidikan strata satu di Program Studi Psikologi Universitas Merdeka Malang pada 2010 dan Program Studi Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 2016.

Pada 2018, ia mulai menjadi pengajar di Sekolah Tinggi Kesehatan [Stikes] St Paulus Ruteng, yang kemudian melebur menjadi Unika St Paulus Ruteng.

Selain mengajar, ia juga menjadi ketua unit Bimbingan dan Konseling Stikes Santu Paulus Ruteng (2018) dan menjadi tim Bimbingan Konseling Unika Santu Paulus Ruteng (2019-sekarang).

Arivin Dangkar dari Floresa mewawancarai Nur di kantornya di Unika Santu Paulus Ruteng pada 14 Januari.

Berikut petikannya.

Mengapa kasus persetubuhan anak di bawah umur sering terjadi di Flores? Bagaimana hal ini dapat dijelaskan dari sudut pandang psikologi?

Pelecehan seksual memiliki berbagai bentuk. Kategori pelecehan seksual misalnya mengibas-ibas rambut lawan jenis, menyentuh bahu dan bokong atau memeluk tanpa izin. 

Pelecehan seksual terhadap anak kecil juga sering terjadi dan dinormalisasi. Misalnya, seorang ayah mencium bibir anak perempuannya dengan alasan, ‘itu anak saya.’

Tidak boleh ada area-area tertentu yang disentuh, seperti pipi, dada, bahu, perut, paha, dan bokong. 

Bahkan, seorang ayah tidak boleh memandikan anak perempuannya yang berusia tiga tahun karena ada potensi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. 

Namun, praktik ini sering kali dianggap wajar dengan alasan kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. 

Kita perlu menyadari bahwa hasrat laki-laki berbeda dari perempuan. 

Hasrat laki-laki lebih mudah terpicu, bahkan setiap dua menit sekali. Hal-hal yang terlihat biasa saja sebenarnya tidak boleh dilakukan.

Bagaimana memperhatikan pola asuh anak dalam keluarga? Apa pentingnya pendidikan seksual bagi anak sejak dini?

Dalam kasus seorang ayah di Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur yang memerkosa anaknya yang masih berusia 15 tahun, pola asuh juga perlu diperhatikan, mengingat pelaku dan korban tinggal serumah.

Menanamkan pendidikan seks sejak usia dini sangat penting. Misalnya, anak harus diajarkan bahwa mereka tidak boleh tidur bersama keluarga setelah mencapai usia tertentu dan harus memiliki kamar sendiri. 

Hal ini mencegah anak melihat hubungan seksual antara orang tua mereka atau mencegah orang tua melihat anak dalam keadaan yang tidak pantas, seperti saat selimut tersingkap.

Pendidikan seks sejak usia dini juga mencakup pembatasan antara laki-laki dan perempuan.

Misalnya, anak perempuan harus bertanya kepada ibunya tentang menstruasi, sedangkan anak laki-laki bertanya kepada ayahnya tentang mimpi basah. Hal ini membangun kedekatan antara anak dan orang tua. 

Selain itu, anak harus diajarkan untuk berbicara dan menyampaikan apa yang mereka rasakan. 

Pola asuh demokratis memungkinkan anak menyatakan ketidaksukaannya, yang harus ditanggapi oleh orang tua. 

Sayangnya, dalam budaya kita yang cenderung otoriter, pendapat anak seringkali diabaikan, sehingga kemampuan mereka untuk berbicara dan menyampaikan sesuatu menjadi terhambat.

Faktor apa saja yang mendorong lingkungan terdekat melakukan perbuatan menyimpang ini?

Salah satu faktor utama adalah relasi kekuasaan atau otonomi yang dimiliki pelaku. 

Hal ini membuat korban, terutama anak-anak, tidak memiliki daya untuk menolak, terlebih jika ada ancaman atau tekanan dari pelaku.

Misalnya, anak diancam akan dibunuh atau mendapat ancaman lain, sehingga mereka merasa takut.

Selain itu, tekanan yang terus-menerus diberikan kepada korban, baik berupa ancaman fisik maupun psikologis, menjadi salah satu faktor penyebab perilaku menyimpang ini. 

Kekerasan fisik, ancaman, dan intimidasi lainnya membuat korban tidak berdaya dan sulit melawan.

Apa saja langkah konkret yang dapat diambil oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk mencegah sekaligus menanggulangi kasus-kasus serupa di masa depan?

Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual. 

Di tingkat instansi pemerintahan dan pendidikan, misalnya; sekolah harus lebih terbuka terhadap isu kekerasan seksual. 

Perlu ada unit khusus untuk penanganan kekerasan seksual seperti di kampus Unika St. Paulus Ruteng.

Berapa jumlah korban kekerasan di kampus Unika St. Paulus Ruteng selama tahun 2024?

Unit penanganan kekerasan seksual terbentuk pada tahun 2024 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknolohi.

Jika melihat kasus di kampus Unika St. Paulus Ruteng, ada dua hingga tiga korban yang berani muncul, sementara yang lain masih belum berani karena takut nilai mereka akan berkurang.

Sebagian dari mereka lebih memilih diam demi menyelamatkan skripsi dan nilai mata kuliah mereka, meskipun harus menerima perlakuan buruk dari pegawai, dosen, maupun sesama mahasiswa.

Sebagai pihak yang menerima laporan kasus seperti itu, apakah selama ini ibu telah menyebarluaskan informasi mengenai dampak dari kasus pelecehan?

Kami langsung mengadakan seminar tentang kekerasan dan bullying

Dalam seminar, kami menjelaskan definisi, jenis, bentuk, dan contoh kekerasan maupun bullying. 

Kami juga memberikan panduan tentang langkah yang harus diambil jika mengalami kejadian tersebut, termasuk tempat untuk melapor dan tips pencegahan, dengan tujuan agar para peserta terhindar dari hal-hal seperti itu.

Biasanya tiga kali dalam setahun. Karena setiap fakultas memiliki banyak program studi [Prodi], kami belum dapat menjangkau semuanya. 

Kami memutuskan untuk fokus terlebih dahulu pada fakultas ini atau prodi ini. 

Pada saat itulah, kami melakukan promosi dan mengingatkan bahwa jika ada masalah, jangan ragu untuk melapor kepada kami.

Apakah selama ini ibu sudah secara langsung memberitahu mahasiswa bahwa jika mereka melapor, identitas mereka akan dirahasiakan dan tidak akan memberitahu dosen pelaku?

Unit kami memiliki kode etik. Ketika seseorang melapor, ada SOP [Standard Operating Procedure], yang harus diikuti. Misalnya, kami tidak akan memanggil langsung dosen pelaku, tetapi laporan tersebut akan kami teruskan ke Wakil Rektor Bidang Kepegawaian [Warek]. 

Nantinya, dari bagian kepegawaian akan dilakukan klarifikasi. Jika laporan terbukti benar, sanksi akan dijatuhkan, mulai dari surat peringatan [SP] pertama sampai ketiga, yang dapat berujung pada pemecatan.

Kami juga tidak memberikan toleransi terhadap tindakan semacam itu. Bahkan jika pelaku adalah seorang rohaniwan, kami tetap akan melaporkannya, tanpa pengecualian.

Unit serupa sebaiknya juga ada di Sekolah Dasar [SD], Sekolah Menengah Pertama [SMP], dan Sekolah Menengah Atas [SMA], untuk menampung cerita dan aduan tentang kekerasan seksual.

Di tingkat desa, kepala desa dapat bekerja sama dengan bidan, perawat, atau sarjana kesehatan masyarakat untuk mengadakan penyuluhan tentang pencegahan kekerasan seksual pada anak usia dini. 

Kerja sama dengan pihak kepolisian juga penting untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. 

Hal ini memberikan efek jera bagi pelaku dan mendorong masyarakat untuk lebih waspada.

Stakeholder dari berbagai bidang, seperti kesehatan, pemerintahan, dan pendidikan perlu bersinergi untuk turun ke desa-desa, sekolah, dan posyandu. 

Mereka harus mengedukasi masyarakat tentang dampak dan pencegahan kekerasan seksual, sambil memberikan contoh kasus dan langkah konkret yang dapat diambil untuk menanggulangi masalah ini.

Editor: Petrus Dabu

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA