Kekerasan Seksual terhadap Anak di Flores oleh Orang Dekat: Mengapa Terus Terjadi? Bagaimana Mencegahnya?

Dalam beberapa waktu terakhir, terungkap sejumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh ayah kandung, paman dan guru yang seharusnya menjadi pengayom 

Floresa.co – Sejumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak di Flores mengungkap sisi kontradiktif keluarga. 

Alih-alih menjadi tempat yang aman dan nyaman, unit sosial terkecil dalam masyarakat ini justru menjadi monster bagi anak-anak.

Kasus-kasus persetubuhan anak di bawah umur yang terungkap dalam beberapa tahun terakhir dilakukan oleh anggota keluarga, termasuk oleh ayah kandung yang diandaikan menjadi pengayom bagi anak-anak.

YJ, seorang ayah di Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, ditangkap polisi pada 31 Desember 2024 karena memerkosa putri bungsunya bertahun-tahun.  Aksi itu ia lakukan sejak 2016 saat putri itu masih Kelas V Sekolah Dasar.

Berdasarkan keterangan saksi, YJ juga melakukan hal serupa kepada tiga putrinya yang lain.

Di Kecamatan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur, seorang paman memerkosa keponakannya sejak 2022, saat korban berusia 12 tahun. 

Tindakan PBN, laki-laki 25 tahun yang merupakan adik ayah korban, baru dilaporkan ke Polres Manggarai Timur pada 24 Desember 2024, saat korban hamil tujuh bulan.

Masih di Manggarai Timur, pada Februari 2024, polisi juga menahan MN, 43 tahun, warga Kecamatan Borong karena memerkosa putrinya yang masih berusia di bawah umur.

MN melakukan aksinya sejak 2021 saat korban masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama atau masih berusia 15 tahun.

Pada 2023, seorang ayah di Kecamatan Elar Selatan dilaporkan memerkosa putrinya sejak berusia 10 tahun. 

Kasus ini baru terungkap karena korban selalu diancam akan dibunuh bila memberi tahu orang lain, termasuk ibunya.

Selain orang dekat dalam lingkup keluarga, pemerkosaan terhadap anak juga dilakukan oleh lingkungan terdekat lainnya seperti tetangga dan guru.

Pada Agustus 2023, Polres Manggarai Timur menetapkan seorang pria sebagai tersangka karena memerkosa seorang anak selama empat kali. 

Pelaku dan korban merupakan tetangga di sebuah kelurahan di Kecamatan Borong.

Pada Februari 2023, polisi juga menangkap Felix Heni, mantan anggota DPRD Manggarai Timur terkait pencabulan anak perempuan berusia 3,5 tahun yang merupakan tetangganya sendiri.

Sementara pada 2023, polisi menahan Pua Ibrahim, pemilik pesantren di Borong, ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Ibrahim yang juga Aparatur Sipil Negara di Kantor Kementerian Agama Manggarai Timur dilaporkan ke polisi karena memerkosa dua santri di bawah umur.

Pengadilan Negeri Ruteng kemudian memvonisnya dengan hukuman penjara 15 tahun. 

Fenomena Gunung Es

Fransiska Widyawati, dosen di Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng berkata, kasus-kasus yang terungkap ini seperti fenomena gunung es, hanya sebagian kecil yang terungkap ke publik.

“Banyak kasus lain yang mungkin belum terungkap karena ketakutan korban [untuk melapor] atau karena stigma sosial,” katanya kepada Floresa pada 12 Januari.

Ia mengaku “sangat prihatin” terhadap kasus-kasus kekerasan seksual, apalagi pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.

“Apalagi pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya melindungi dan mendukung tumbuh kembang anak,” katanya.

Fransiska bersama rekan dosennya Yohanes Servasius Lon pernah melakukan kajian tentang kekerasan di Manggarai pada 2014-2017, yang hasilnya dipublikasi dalam karya ilmiah “Lingkaran Kekerasan Terhadap Anak Dalam Masyarakat Manggarai”.

Penelitian ini menemukan bahwa 39,9 persen dari 673 responden dewasa [laki-laki 179 dan perempuan 494] pernah menjadi korban kekerasan oleh orang dewasa semasa mereka menjadi anak-anak atau berusia kurang dari 18 tahun. 

“Rumah, sekolah maupun lingkungan anak sama-sama menjadi tempat yang paling mudah terjadi kekerasan bagi anak,” membuat empat dari 10 anak sangat rentan untuk mendapat semua jenis kekerasan oleh orang dewasa.

Pelaku dominan adalah “orang tua atau anggota keluarga, guru atau mereka yang bekerja di sekolah maupun teman bermain atau teman di lingkungan tetangga anak.”

Khusus kekerasan seksual, tulis Fransiska dan Servasius, 45,43 persen responden pernah menjadi korban, menempatkannya sebagai bentuk kekerasan ketiga tertinggi, setelah kekerasan verbal [79,3 persen] dan kekerasan fisik [57 persen].

Dua bentuk kekerasan lain adalah penelantaran [9,91 persen] dan eksploitasi [7,88 persen].

Pelaku kekerasan seksual adalah orang tua dan anggota keluarga [1,04 persen], guru, kepala sekolah dan pegawai sekolah [0,59 persen] dan teman, tetangga dan orang lainnya [7,83 persen], menurut riset ini.

Sementara itu, 1,78% responden orang dewasa mengaku menjadi pelaku kekerasan seksual. 

Artinya, tulis Fransiska dan Servasius, “sekitar 1 sampai 2 dari 100 orang dewasa potensial sebagai pelaku kekerasan seksual.”

Karena kekerasan seksual adalah “kejahatan luar biasa,” mereka menegaskan, ini adalah “jumlah yang mencengangkan.” Seperti sebuah lingkaran yang tak berujung, orang-orang dewasa yang semasa kecilnya pernah mengalami tindakan kekerasan, kini berpotensi menjadi pelaku kekerasan terhadap anak, baik anak sendiri maupun anak orang lain.

Fransiska Widyawati. (Dokumentasi Pribadi)

Mengapa Orang Dekat Menjadi Pelaku?

Fransiska Widyawati yang meraih gelar Doktor dalam Studi Antaragama dan Budaya dari Universitas Gadjah Mada berkata, munculnya kasus kekerasan seksual menunjukkan adanya disorientasi nilai dan moral pelaku, sekaligus mencerminkan kegagalan sosial yang lebih luas. 

“Kita melihat bagaimana keluarga, masyarakat, elemen agama, dan pemerintah belum bekerja maksimal untuk memastikan anak-anak terlindungi,” katanya.

“Ada pekerjaan rumah bersama untuk menciptakan lingkungan yang ramah anak dan bebas kekerasan,” ujarnya.

Di sisi lain, Fransiska juga menyoroti aspek ketimpangan relasi antara pelaku dan korban.

“Pelaku memiliki posisi kuasa yang lebih tinggi, sehingga korban sering kali tidak berdaya melawan,” katanya.

Hal ini, “diperburuk oleh budaya patriarki dan kurangnya edukasi tentang kekerasan seksual.” Dalam kajiannya bersama Yohanes Servasius Lon, mereka menyampaikan, relasi yang timpang ini memiliki akar kultural. 

Keduanya menyebut beberapa padananan kata anak dalam bahasa Manggarai, seperti ro’éng, réak, mantar, ta’i yang “menunjukkan ketergantungan anak pada orangtua, statusnya yang kecil dan tidak berdaya serta rentan pada tindakan kekerasan.”

Nur Dafiq, dosen Psikologi Belajar dan Pembelajaran Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng berkata, kekerasan seksual terhadap anak sering kali berakar pada kurangnya edukasi seksual sejak dini. 

“Banyak orang tua yang menormalisasi perilaku tertentu, seperti mencium bibir anak atau memandikan anak di usia tertentu. Padahal, hal ini berisiko memicu perilaku yang tidak diinginkan,” katanya kepada Floresa pada 14 Januari.

Selain itu, faktor-faktor seperti tekanan ekonomi, stres, dan akses terhadap konten seksual di media sosial juga turut mempengaruhi.

“Kemiskinan dapat menyebabkan stres yang berujung pada perilaku buruk. Ditambah lagi, kontrol sosial yang minim membuat kejahatan lebih mudah terjadi,” tambah Dafiq.

Satrio Rahargo, anggota Tim Perlindungan Anak dari Wahana Visi Indonesia [WVI] berkata secara umum, kekerasan pada anak ini “berangkat dari minimnya pengetahuan keluarga terhadap pengasuhan anak yang baik/positif.”

“Hal ini kemudian mempengaruhi perilaku anak dan kemudian ke masyarakat,” katanya.

Hal ini, jelas Satrio, yang yang kemudian menjadi fokus WVI, termasuk dalam program-programnya di Flores, seperti dalam bentuk pelatihan pengasuhan dengan cinta pada keluarga, pelatihan pada anak tentang materi perlindungan anak, dan pengembangan kelompok perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat.

“Kami juga melakukan advokasi pada pemerintah desa dan pemerintah kabupaten untuk mengembangkan desa layak anak/desa ramah perempuan dan peduli anak,” katanya.

Satrio Rahargo, anggota Tim Perlindungan Anak Wahana Visi Indonesia. (Dokumentasi Liputan6.com)

Upaya Penanganan

Fransiska, Dafiq dan Satrio sependapat bahwa penyelesaian kasus ini memerlukan pendekatan yang menyeluruh.

Fransiska menyoroti pentingnya peran negara untuk hadir secara konsisten. 

“Negara harus memastikan lingkungan yang aman dan ramah anak melalui edukasi, advokasi, dan penegakan hukum yang tegas,” katanya.

Selain itu, “korban harus mendapatkan perlindungan dan pendampingan psikologis untuk pemulihan.”

Dafiq menambahkan bahwa pendidikan seks sejak dini harus menjadi prioritas. 

“Anak-anak harus diajarkan batasan-batasan tertentu dalam interaksi fisik. Selain itu, keluarga perlu menerapkan pola asuh yang demokratis, di mana anak merasa aman untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan,” ujarnya.

Pada tingkat masyarakat, Dafiq menyarankan pembentukan unit-unit khusus di sekolah dan desa untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual.

“Misalnya, sekolah dapat memiliki unit penanganan kekerasan seksual, dan desa dapat bekerja sama dengan bidan, perawat, atau Polres untuk mengedukasi masyarakat tentang dampak dan pencegahan kekerasan seksual,” ujarnya.

“Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, dan organisasi agama untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar aman bagi anak-anak.”

Satrio Rahargo, anggota Tim Perlindungan Anak dari Wahana Visi Indonesia mengusulkan beberapa langkah penting dalam upaya memperkuat perlindungan terhadap anak, khususnya dari kekerasan seksual.

Pertama, pengembangan mekanisme yang dapat diakses dengan mudah oleh anak dan masyarakat untuk melaporkan kasus serta mendapatkan layanan yang dibutuhkan korban. 

Salah satunya adalah pembentukan kelompok atau satuan tugas atau satgas perlindungan anak di tingkat desa, yang dapat menjadi ujung tombak perlindungan anak.

“Mereka bisa menjadi penghubung pertama untuk anak yang membutuhkan perlindungan, baik dari sisi pelaporan maupun akses ke layanan yang dibutuhkan,” jelas Satrio.

Langkah kedua adalah penguatan layanan pada Unit Pelaksana Teknis Daerah Pemberdayaan Perempuan dan Anak [UPTD PPA].

Untuk itu, “perlu ada peningkatan anggaran untuk UPTD PPA untuk memastikan korban mendapatkan pendampingan yang memadai, baik secara fisik maupun psikologis, serta memastikan keberlanjutan pendidikan mereka.”

“Penting untuk memastikan bahwa korban kekerasan seksual mendapat perhatian lebih dalam hal pemulihan. Ini bukan hanya tentang mengobati luka fisik, tapi juga melibatkan proses pemulihan psikologis serta mengakomodasi kebutuhan pendidikan mereka yang tertunda,” ujar Satrio.

Satrio juga menekankan pentingnya penguatan pengetahuan tentang pengasuhan positif di keluarga, termasuk pengetahuan tentang kekerasan seksual. 

Menurutnya, hal ini harus dimasukkan dalam materi wajib saat persiapan pernikahan dan sebagai bagian dari program penguatan keluarga.

“Seringkali kasus kekerasan dalam keluarga terjadi karena kurangnya pengetahuan tentang cara mengasuh anak dengan baik. Pemerintah harus mendorong pengetahuan ini sejak dini dan lembaga keagamaan bisa menjadi mitra penting dalam menyampaikan materi ini,” tegasnya.

Selain itu, Satrio juga mendukung program-program yang digagas oleh pemerintah, seperti Pusat Pembelajaran Keluarga [Puspaga] dan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak [DRPP], yang “sangat penting untuk membangun kesadaran masyarakat tentang hak anak dan perlindungan mereka.”

“Desa yang peduli pada perempuan dan anak akan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi mereka,” katanya.

Selain itu, mengingat kekerasan seksual termasuk kejahatan luar biasa, ia mengingatkan pentingnya hukuman tegas bagi pelaku, sejalan dengan penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.  

“Pemerintah harus memastikan adanya mekanisme koordinasi yang solid antara UPTD PPA dan unit PPA di kepolisian, agar ada kesamaan pandangan dan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan serius,” katanya.

Ia juga menekankan pentingnya rumah aman bagi penyintas korban seksual untuk “memberi perlindungan pada anak dari intimidasi atau ancaman kekerasan lainnya, dan tentunya membantu pemulihan anak baik secara psikologis maupun fisik.”

“Korban KS selain mengalami trauma juga rentan mengalami intimidasi atau perundungan dari lingkungan sekitarnya,” katanya.

“Kehadiran rumah aman menjadi jaminan dukungan berkelanjutan dari pemerintah bagi anak korban,” kata Satrio.

Fransiska Widyawati mengingatkan, “kita harus lebih peduli terhadap kehidupan tetangga dan keluarga di sekitar kita.”

“Lihat di mana potensi kejahatan bisa terjadi, dan kita hadir untuk mencegahnya,” katanya.

“Anak-anak adalah masa depan kita, dan melindungi mereka adalah tanggung jawab bersama,” tambah Fransiska.

Editor: Petrus Dabu dan Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA