Floresa.co – “Penghargaan ini bukan hanya untuk saya, tetapi untuk kita yang masih dan terus berani menyuarakan kebenaran,” kata Fransisca Christy Rosana saat menerima Udin Award dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 8 Agustus.
Ia menambahkan, penghargaan itu juga untuk jurnalis perempuan lain yang masih bertahan dengan berbagai kesulitannya.
Cica, sapaannya, merupakan redaktur di desk nasional Tempo dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik.
Ia mengalami teror berupa pengiriman kepala babi dari orang tak dikenal pada 20 Maret serta mengalami serangan digital oleh akun-akun tersembunyi yang hingga kini belum ada proses hukumnya.
Udin Award merupakan penghargaan bagi jurnalis atau kelompok jurnalis, komunitas, atau lembaga media yang menjadi korban kekerasan dalam menjalankan tugas jurnalistik secara profesional. Penghargaan ini bertujuan mendorong kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
Mengakhiri sambutannya, Cica juga berterima kasih kepada Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi yang sempat mengeluarkan pernyataan enteng terhadap teror itu, menyarankan agar “kepala babi itu dimasak saja.”
Berkat Nasbi, kata Cica, teror terhadap jurnalis di Indonesia bisa lebih terekspos di mata internasional.
Udin Award 2025 menjadi penghargaan kedua yang diperoleh Cica setelah tahun lalu ia mendapatnya bersama tim siniar Bocor Alus Politik.
Selain Cica, Udin Award tahun ini juga diberikan kepada Safwan Ashari Raharusun, jurnalis Tribun Sorong.
Beberapa waktu lalu, ia dipaksa menyerahkan ponsel serta diancam meninggalkan lokasi liputan oleh aparat TNI Angkatan Laut. Tidak lama berselang, enam orang tentara mendatangi kantornya dan meminta agar laporannya dihapus. Safwan juga pernah diserempet mobil saat hendak menyeberang jalan usai melakukan tugas jurnalistik.
Ia berkata, menjadi jurnalis di Tanah Papua “bukan hanya sebatas gaya-gayaan, tetapi sebuah kehormatan.”
Penghargaan ini, kata dia, “titik awal dari perjuangan kita agar jurnalis di Tanah Papua bisa merdeka serta menyampaikan informasi secara bebas dan akurat.”
Di Tanah Papua, katanya, banyak sekali persoalan yang terkubur karena banyak pihak yang tidak mau ada jurnalis yang mengungkapnya.
Herlambang P Wiratraman, salah satu dewan juri Udin Award berkata, teror atau ancaman terhadap jurnalis berpotensi menghambat liputan investigasi, menekan daya kritis serta menimbulkan rasa takut.
Serangan-serang tersebut, katanya, terjadi saat jurnalis sedang meliput isu yang berkaitan dengan penguatan militerisme.
Serangan juga terjadi di tengah keterbatasan perlindungan hukum bagi jurnalis, terutama di daerah-daerah terpencil dan pelosok, termasuk di Papua.
“Kurangnya perlindungan dan perisai keamanan bagi jurnalis meningkatkan risiko kerawanan,” katanya.
Ia berkata, kasus Cica dan Safwan menjelaskan bahwa serangan-serangan terhadap kebebasan pers masih jamak terjadi, termasuk menargetkan jurnalis perempuan.
Kasus keduanya, kata dia, juga merefleksikan kenyataan soal impunitas, di mana penegakan hukum tidak pernah dijalankan institusi negara secara tuntas. Realitas impunitas itulah yang menjadi penanda bahwa potensi kekerasan terhadap jurnalis akan terus dan mudah terjadi.
“Dua jurnalis ini memberikan pembelajaran berharga, bukan saja semata soal daya tahan hadapi risiko atas rangkaian teror dan serangan yang masif dan beruntun, melainkan pula mereka tak hendak sekalipun menurunkan kualitas dan dedikasi jurnalismenya,” kata Herlambang, membacakan pernyataan dewan juri.
Pemberangusan Hak dan Kriminalisasi
Selain Udin Award, dalam ajang yang bertepatan dengan ulang tahun ke-31 itu, AJI juga menganugerahkan Tasrif Award kepada Serikat Pekerja CNN Indonesia (SPCI), sebuah organisasi yang dideklarasikan pada 27 Juli 2024.
SPCI melawan keputusan sepihak manajemen media tersebut yang memotong upah mereka secara sepihak.
Resmi tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan, SPCI menjadi serikat pekerja pertama di lingkungan bisnis media milik salah satu orang terkaya di Indonesia, Chairul Tanjung. Namun, SPCI malah diberangus dengan pemecatan para deklarator sesaat setelah pemberitahuan ke manajemen.
Pemberangusan itu membuat anggota SPCI hanya menyisakan delapan orang, setelah sebelumnya mencapai 201 pekerja.
SPCI menilai pemberangusan itu sebagai sebuah paradoks karena perusahaan media yang kerap menyuarakan hak asasi manusia itu justru membungkam suara kritis dari dalam dan mengabaikan pemenuhan hak-hak para pekerjanya.
Karena itu, delapan anggota SPCI — tujuh di Jakarta dan satu di Surabaya — melawan dengan melayangkan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
PHI di Jakarta Pusat memutuskan pemotongan upah dan PHK oleh manajemen tidak sah. Sementara PHI di Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan manajemen bersalah karena memotong upah tanpa kesepakatan.
SPCI juga melaporkan manajemen ke polisi atas dugaan tindak pidana union busting atau pemberangusan serikat pekerja. Selain itu, mereka mengadukan manajemen ke Komnas HAM atas dugaan pelanggaran HAM.
Ketua SPCI, Taufiqurrahman berkata, mendirikan serikat pekerja di lingkungan perusahaan media bukan perkara mudah.
Namun, SPCI menempuh jalan panjang tersebut demi menegakkan hak berserikat agar tidak ada lagi pekerja yang takut bersuara memperjuangkan haknya.
“Ini bukan perkara melawan perusahaan yang tidak punya tradisi berserikat. Ini soal bicara kebenaran,” katanya.
Taufiqurrahman mengaku beruntung karena “AJI membersamai perjuangan kami,” kendati beberapa orang di manajemen CNN merupakan anggota senior aliansi tersebut.
Ia juga mengaku bersyukur karena AJI merupakan organisasi yang egaliter dan tidak mengkultuskan individu sehingga “kami tidak takut dengan relasi kuasa antara senior dan junior.”
“Serikat pekerja di media itu penting karena jurnalis adalah buruh. Situasi konfliktual itu terjadi dalam relasi antara bos dan bawahan sebagai jurnalis,” katanya.
Penerima Tasrif Award lainnya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang.
Selama 2024, sedikitnya 24 kasus yang ditangani oleh LBH Padang. Salah satunya kasus kematian Afif Maulana, bocah 13 tahun yang tewas di Jembatan Kuranji Padang, dalam suatu operasi kepolisian.
Terbaru, mereka ikut mengawal kasus penyerangan rumah doa umat Kristiani di daerah Padang Sarai, Kota Padang.
Perjuangan LBH Padang tak selalu lancar karena mereka juga kerap diserang balik secara kelembagaan maupun personal anggotanya. Dalam aksi demonstrasi dan pendampingan warga, sejumlah pengabdi bantuan hukum LBH Padang bahkan dipukul dan ditangkap polisi seperti saat pembubaran paksa ratusan warga Air Bangis di Masjid Raya Sumbar.
Kini, Diki Rafiki, direktur lembaga itu dan Indira Suryani, direktur sebelumnya, sedang dikriminalisasi oleh seorang hakim di Pengadilan Negeri Padang menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hakim berinisial B itu melaporkan mereka ke Polda Sumatera Barat karena mencemarkan nama baiknya dalam sebuah konten yang dipublikasi di media sosial LBH Padang.
Diki menilai kriminalisasi itu adalah sebuah ironi karena lembaga yang selama 42 tahun membela rakyat dari ketidakadilan justru menjadi “korban dari pasal karet UU ITE yang menjerat siapa yang bersuara.”
“Inilah wajah negeri kita di mana membela kebenaran dianggap ancaman, membela rakyat dianggap kejahatan.”
Kendati demikian, ia menegaskan “kami tidak akan tunduk dan diam” dan akan “melawan selama rakyat membutuhkan pembelaan, selama hukum masih dipakai untuk menindas, selama kebenaran masih berusaha dibungkam.
“Kami akan berdiri untuk itu,” katanya.
Diki berkata, “sejarah kami adalah sejarah rakyat, air mata, darah dan harapan.”
Sejak berdiri pada 1982, kata Diki, pihaknya tidak pernah memilih jalan aman karena “kami ada di ladang yang dirampas, di rumah nelayan yang diancam digusur dan di ruang sidang yang sudah berpihak bahkan sebelum palu diketuk.”
Ia berkata, “penghargaan ini bukan hanya untuk kami, tetapi juga untuk warga yang berani berkata ‘tidak’ pada penindasan, untuk korban yang memilih melawan dan untuk para jurnalis yang tak gentar mengungkap kebenaran meski berhadapan dengan ancaman, kriminalisasi bahkan maut.”
Nenden Sekar Arum, salah satu dewan juri berkata, Tasrif Award bukan sekadar bentuk apresiasi, tetapi juga solidaritas serta dukungan terhadap keberanian, integritas dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, kebebasan pers, demokrasi, rule of law (supremasi hukum) dan hak asasi manusia, termasuk hak atas informasi.
Kedua penerima Tasrif Award, kata dia, tangguh berjuang untuk hak asasi manusia, kebebasan pers dan kebebasan ekspresi, kendati menghadapi berbagai tekanan, represi, kriminalisasi, ancaman pemutusan hubungan kerja maupun tekanan internal yang dapat memicu adanya swasensor.
Kedua pemenang menunjukkan dedikasi dan semangat pantang menyerah di tengah situasi yang semakin represif.
“Setelah melalui diskusi yang mendalam, kami sepakat bahwa konsistensi, daya jangkau dan terobosan masing-masing pemenang layak menjadi inspirasi dalam advokasi kebebasan dalam independensi pers yang lebih luas,” katanya.
Nenden berkata, sepak terjang keduanya tidak diragukan di mana mereka hadir di garda terdepan dalam melawan ketidakadilan, memperjuangkan ruang-ruang kebebasan berekspresi dan memberi harapan di tengah tantangan yang semakin sulit bagi jurnalis dan masyarakat sipil.
“Ini semangat yang sejak awal diusung oleh Tasrif Award untuk menghormati mereka yang tetap berdiri tegak menjaga kebebasan ketika banyak pihak dipaksa untuk diam,” katanya.
Penghargaan untuk Perempuan Adat
AJI Indonesia juga menganugerahkan SK Trimurti Award kepada Yasinta Moiwend, perempuan dari Suku Marind-Anim, Papua Selatan.
Sri Agustini, salah satu dewan juri SK Trimurti Award menyebut “dalam dinamika perjuangan demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan pers di negeri ini, perempuan selalu mengambil peran krusial.”
“Namun, peran mereka seringkali dilupakan sejarah yang mana didominasi wacana patriarki,” kata Komisioner Komnas Perempuan itu.
Dewan juri menilai Yasinta gigih memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dalam mempertahankan tanah ulayat dari proyek skala besar di Papua, termasuk Proyek Strategis Nasional Food Estate di Merauke.
Perempuan 60 tahun itu lantang menyuarakan aspirasinya dalam aksi dan kesaksian di berbagai kantor pemerintahan dan forum publik serta dalam sebuah dokumenter berjudul “Dilema Food Estate.”
Dalam perjuangannya, Yasinta berulang kali mendapatkan ancaman maupun iming-iming hadiah agar ia menghentikan perjuangannya.
Namun, ia tidak gentar dan bertekad mempertahankan tanah ulayat Suku Marind.
Sri Agustini berkata, penghargaan SK Trimurti Award adalah pengakuan atas keberanian, integritas dan komitmen terhadap keadilan sosial, sebagaimana nilai-nilai yang dihidupkan oleh Yasinta.
Yasinta, kata dia, menjadi simbol harapan, ketahanan dan kearifan lokal yang mampu menginspirasi kita untuk membela apa yang kita yakin benar.
SK Trimurti Award diambil dari nama Surasti Karma Trimurti, seorang aktivis perempuan yang pernah dipenjara karena menyebarkan pamflet anti-kolonial Belanda dan menulis opini yang menentang penjajahan.
Jurnalis yang Terus Direpresi
Dalam ajang penghargaan tahun ini, AJI mengusung tema “Menjaga Independensi di Era Represi, Ancaman PHK dan Swasensor.”
Menurut AJI, tema itu mencerminkan tekanan berlipat kepada jurnalis dan media massa, seperti represi yang tidak berhenti, ancaman PHK dan swasensor yang bisa menggerus independensi ruang redaksi.
AJI mencatat total 74 kasus kekerasan kepada wartawan pada 2024, dan ancaman demi ancaman juga terjadi pada delapan bulan pertama tahun ini.
Beberapa di antaranya adalah kiriman potongan tubuh hewan, penyanderaan, kekerasan brutal, hingga penganiayaan terus terkonfirmasi baik oleh aparat negara maupun para penghambat kebebasan pers lainnya.
Tekanan juga datang dari pemodal. Dari riset AJI terakhir tentang ketenagakerjaan hingga 8 Agustus 2025, sebanyak 1.002 orang dari 15 perusahaan media massa online, televisi, cetak dalam bentuk grup dan jaringan terdampak PHK dengan alasan efisiensi.
Riset itu juga menunjukkan bahwa lebih dari 60% jurnalis yang di-PHK sebelumnya diupah dengan gaji di bawah UMR, tanpa mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan.
Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida dalam sambutannya menekankan bahwa pers harus kembali ke tugas utamanya, menjadi kontrol sosial dan edukasi yang independen.
“Kita mungkin tidak punya kekuasaan besar, tapi kita punya suara dan selama kita masih punya suara artinya kita tidak akan diam,” katanya.
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Bayu Wardhana mengatakan media massa bekerja berdasarkan kode etik jurnalistik dan berada di bawah payung undang-undang.
Bayu mengingatkan gelombang PHK di sektor media belakangan ini menjadi bukti ekosistem informasi publik sedang dalam kondisi kritis.
AJI pun mendesak adanya keberpihakan nyata dari pemerintah untuk menjaga keberlangsungan pers profesional.
“Sebagai pilar keempat demokrasi, media massa memerlukan dukungan konkret agar tetap hidup dan menjalankan fungsinya,” kata Bayu.
Editor: Ryan Dagur