Ngotot ‘Harus Bangun’ Proyek Geotermal Poco Leok, Nabit Klaim ‘Tidak Ada Negara yang Maju karena Pertanian,’ Persoalkan Sikap Gereja Katolik 

Nabit menyatakan energi listrik dari geotermal Poco Leok untuk pasok listrik seluruh Flores dan industrialisasi

Floresa.co –  Bupati Manggarai Herybertus G. L. Nabit bersikeras melanjutkan proyek geotermal di wilayah Poco Leok di tengah protes yang terus meluas termasuk suara penolakan Gereja Katolik yang berujung pada pernyataan Gubernur NTT menghentikan sementara seluruh proyek.

Bupati dua periode itu menekankan bahwa wilayahnya tidak akan maju kalau harus bergantung pada pertanian, tetapi pada industrialisasi.

Pernyataan Nabit muncul dalam pidato saat Musyawarah Rencana Pembangunan atau Musrenbang Penyusunan Rencana Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Manggarai Tahun 2026 di Ruteng pada 26 Maret.

Kendati pada bagian awal ia menyebut sektor pertanian sebagai “andalan” di Manggarai, ia berkata, proyek geotermal di Poco Leok harus dibangun karena “kunci kemajuan adalah industrialisasi” dan “kunci industrialisasi adalah listrik.”

Dalam Musrenbang yang disiarkan langsung melalui Youtube Diskominfo Kabupaten Manggarai itu turut hadir pimpinan dan anggota DPRD, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah, Pimpinan BUMD dan BUMN di Kabupaten Manggarai, termasuk para tokoh masyarakat.

Antara Swasembada Pangan dan Energi

Dalam pidato itu, Nabit menyinggung tiga program penting yang sedang digalakkan pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, yakni swasembada pangan, swasembada energi dan makan bergizi gratis.

Terkait swasembada pangan, ia mengafirmasi bahwa sektor pertanian menjadi andalan Kabupaten Manggarai, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

“Kita bukan kawasan pengembangan pariwisata utama, tapi kita utamanya di kawasan pangan,” katanya.

Karena itu, “segala hal yang berkaitan dengan pangan, pertanian, peternakan, perikanan menjadi penekanan pada tahun 2026 mendatang.”

Namun, saat beralih pembicaraan ke swasembada energi, ia berkata, proyek geotermal di Poco Leok harus dibangun karena “kunci kemajuan ”adalah industrialisasi” yang pasti membutuhkan listrik.

“Tidak ada negara maju karena pertanian,” kata Nabit, yang diikuti tiga kali ujaran “tidak ada.”

“Itu hanya omong untuk kasih senang-senang kita,” lanjutnya,  menyebut “negara maju karena industri, baik barang maupun jasa.”

Ia menekankan bahwa “kita kurang listrik, kalau kurang, ya harus tambah.” 

Manggarai, katanya, masih memerlukan penambahan energi listrik karena beban puncak pemakaian arus, yakni pada pukul 18.00 sore sampai 06.00 pagi mencapai 21 megawatt.

Energi itu hanya 10 megawatt yang dipasok dari PLTP Ulumbu, katanya. Sisanya berasal dari mesin berbahan bakar minyak, yakni PLTMG Labuan Bajo di Kabupaten Manggarai Barat dan Maumere di Kabupaten Sikka.

Ia menjelaskan pemakaian listrik itu baru untuk rumah tangga,  belum termasuk “kalau ada pabrik kecil-kecil”, contohnya pengelolaan ikan dengan cold storage.

“Visi kita adalah menjadi supplier energi listrik untuk seluruh Flores,” katanya, menegaskan Manggarai satu-satunya wilayah dengan potensi panas bumi hingga 40 megawatt.

Ia juga berkata, sepuluh tahun lagi pada 2035, perkiraan pemerintah, jumlah penduduk Manggarai mencapai 410 sampai 420 ribu. 

“Perkiraan PLN, pada 2035 kebutuhan mencapai 40 megawatt,” katanya.

Sembari menepuk dada, katanya, ia hanya membayangkan kabupatennya bisa memenuhi sendiri kebutuhan listrik, “supaya negara ini tidak pikir lagi kita orang Manggarai tentang listrik.”

“Harus ada-lah satu hal yang kita bisa banggakan, bahwa ‘saya bisa penuhi saya punya kebutuhan sendiri,’” katanya.

Klaim Teknologi Canggih

Selain itu, Nabit juga membantah pernyataan warga Poco Leok bahwa mereka menjadi korban pembangunan proyek tersebut, menyebut “tidak ada terminologi mengorbankan.”

Ia menjelaskan, pengalaman PLTP Ulumbu di Desa Wewo tidak mengorbankan warga sekitarnya.

“Hidup berlangsung dengan baik, orang tetap minum air dengan baik, sawah dan kebun tetap dikerjakan, cengkeh tetap menghasilkan,” katanya.

Namun, ia juga menambahkan, dampak-dampak buruk proyek itu tak terhindarkan pada 10 tahun lalu “karena teknologi pada saat itu masih teknologi yang terbatas.” 

“Teknologi hari ini sudah jauh lebih baik,” katanya.

“Kalau saya diminta hari ini harus hentikan, saya tidak mau, saya tidak mau.”

Ia juga berkata, kebutuhan lahan untuk satu lokasi pengeboran atau wellpad “dua hektare saja”.

Sementara terkait tuntutan warga yang kehilangan lahan pertanian, katanya, “kan masih ada hektare lain toh?”

“Apalagi kalau yang ribut ini bukan pemilik tanah. Pemilik tanah setuju kok,” katanya.

Persoalkan Keterlibatan Gereja

Bagian lainnya dari pidato Nabit berisi narasi yang mempersoalkan keterlibatan Gereja Katolik dalam gerakan penolakan geotermal di Flores.

“Persoalannya geotermal, dari ekonomi merambat ke soal agama. Karena agama ini kan dekat sekali dengan soal surga-neraka. Tidak ikut, neraka, kalau ikut, surga,” katanya.

Baru-baru ini, pimpinan Gereja Katolik di wilayah Nusa Tenggara dan Bali yang kompak menolak proyek geotermal dan mendukung sektor pariwisata, pertanian, perkebunan serta peternakan dan kelautan.

Salah satu yang meneken pernyataan bersama itu adalah adalah Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat.

Sikap para uskup itu membuat Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena menemui Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden pada 4 April.

Dalam pernyataan usai pertemuan ia menyatakan proyek-proyek geotermal di NTT dihentikan sementara.  Ia juga mengundang para bupati dan walikota hadir di Kupang pada 9 April membahas isu ini.

Menurut Nabit, kepentingan agama dan negara “jangan ditabrakkan” karena “negara mengatasi agama-agama yang ada.”

“Apalagi kalau omong relasi negara dan agama. Kita di Indonesia sudah selesai di 17 Agustus 1945. Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa,” katanya.

Ia mencontohkan perdebatan kelompok Islam dan para pendiri bangsa terkait dasar negara dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI], yang berakhir dengan kemenangan kelompok nasionalis.

Contoh lainnya yang diangkat Nabit adalah gerakan separatisme Dahrul Islam/Tentara Islam Indonesia atau DI/TII, yang juga tidak berhasil, meskipun “masuk akal karena mereka bagian terbesar” dalam bangsa Indonesia.

“Tiba-tiba masuk di geotermal kita bilang kalau dukung geotermal Katolik yang gagal. Enak saja kau omong,” katanya. 

“Kalau mau bawa nilai-nilai agama sebagai awasan moral, oke, tapi menentukan kebijakan-kebijakan negara dengan agama, jangan,” lanjutnya.

Pada bagian lain pidatonya, ia terhitung dua memakai kata “sembahyang” atau berdoa.

Salah satunya saat berbicara terkait pabrik pengolahan komoditas lokal sebelum dipasarkan keluar daerah yang  membutuhkan listrik.

“Tidak pakai sembahyang proses ini. Kalau pakai sembahyang, tidak perlu listrik, sembahyang kat ga [tinggal berdoa saja],katanya.

Kata itu disinggung lain saat berbicara soal berbagai risiko proyek geotermal, menyebut tidak ada sesuatu tanpa risiko “di bawah kolong langit ini.”

“Sembahyang pakai berlutut saja ada risikonya, ya to pak? Reu tu’us pe [lutut terluka],” ungkapnya.

Selain mengkritik Gereja, Nabit  juga menyatakan ada pihak tertentu yang mencari keuntungan dari polemik geotermal Poco Leok.

“Polemik harus panjang, ada banyak pihak yang ingin dapat untung dari yang panjang itu. Ada banyak sponsornya, jadi perputaran keuangan juga lancar. Makin lama ribut kan makin banyak yang untung,” katanya.

Ngotot di Tengah Penolakan Warga

Proyek geotermal Poco Leok merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu yang berjarak sekitar tiga kilometer di sebelah barat.

Nabit menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Lokasi proyek itu pada Desember 2022. 

Warga Poco Leok terus menentang proyek itu. Nabit menjadi salah satu sasaran protes mereka, menuntutnya mencabut surat penetapan lokasi.

Aksi terakhir terjadi pada 3 Maret di Ruteng oleh Komunitas Pemuda Poco Leok, yang diwarnai insiden kerusakan pagar kantor bupati.

Nabit kemudian memerintahkan bawahannya melapor warga yang kini tengah diproses oleh Polres Manggarai.

Pada 9 Maret Nabit juga ikut dalam studi banding proyek geotermal di PLTP Lahendong, Sulawesi Utara. Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh, Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai Fauzi dan Komandan Kodim 1612 Manggarai Budiman Manurung juga ikut dalam rombongan, termasuk pimpinan DPRD, Sekretaris Daerah Fansy Aldus Jahang dan beberapa kepala dinas.

Selain berunjuk rasa di Ruteng, upaya lainnya yang dilakukan warga Poco Leok adalah adalah menyurati lembaga-lembaga negara, di antaranya Ombudsman, Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 

Mereka juga melakukan aksi demonstrasi di kementerian tersebut di Jakarta beberapa waktu lalu, juga di Kedutaan Besar Jerman.

Ombudsman dan Komnas HAM telah  mengunjungi wilayah itu untuk menginvestigasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.

Selain itu, desakan terhadap pendana proyek yakni Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau membuat mereka mengirim tim independen untuk memeriksa proyek tersebut pada September 2024. 

Hasil investigasi tim tersebut menunjukkan proyek geotermal Poco Leok, yang dikerjakan PT PLN tidak sesuai standar sosial dan lingkungan internasional.

Tim itu juga merekomendasikan penghentian sementara proyek tersebut, termasuk meminta PT PLN memulai kembali proses-prosesnya sejak awal.

Selain di Poco Leok, proyek geotermal lain juga terdapat di sejumlah wilayah di Flores, yang sudah ditetapkan sebagai pulau panas bumi oleh pemerintah pusat pada 2017.

Menurut pemerintah, Flores memiliki potensi panas bumi hampir 1000 megawatt, hal yang mendorong eksplorasi dan eksploitasi di belasan titik, bagian dari program nasional peningkatan elektrifikasi 35.000 megawatt.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik mendukung kami, Anda bisa memberi kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

TERKINI

BANYAK DIBACA