Floresa.co – Warga dari sebelas Gendang atau kampung adat di Poco Leok, Kabupaten Manggarai meminta dukungan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] dalam perjuangan mereka melawan upaya paksa pemerintah dan perusahaan meloloskan proyek geotermal di wilayah itu.
Hal tersebut disampaikan warga dari Kampung Adat Mucu, Mocok, Mori, Nderu, Ncamar, Cako, Mesir, Lungar, Tere, Racang, dan Rebak di hadapan komisioner dan staf Komnas HAM dalam pertemuan akbar di halaman Kampung Lungar pada 3 Maret.
Selain meminta dukungan, warga juga meminta pihak Komnas HAM untuk menjamin perlindungan dari tindak kekerasan serta kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Agustinus Egot, warga Kampung Mesir mengatakan sebagai warga Poco Leok ia merasa khawatir sejak awal rencana proyek geotermal di wilayah itu karena mengancam keselamatan tempat tinggal, lahan pertanian, serta kuburan nenek moyang keluarganya.
“Di Kampung Mesir, lahan yang mereka setujui [titik pengeboran] itu adalah kubur leluhur kami. Saya bilang, jangan bangun di atas kubur nenek moyang saya,” ungkapnya di hadapan tim Komnas HAM.
Ia mengatakan, karena sikap penolakan tersebut dirinya pernah dipanggil polisi dari Polres Manggarai di Ruteng pada 6 Oktober 2023, di mana dia ditanyai alasan penolakan dan orang-orang yang menyuruhnya menolak proyek tersebut.
Pemanggilan oleh polisi, tindak kekerasan aparat terhadap warga, dan situasi sosial yang berpotensi menimbulkan konflik antarwarga, kata dia, membutuhkan intervensi Komnas HAM, sebab warga sebenarnya memiliki hak untuk mempertahankan tanahnya.
“Apakah kami orang Poco Leok punya hak [menolak geotermal]? Karena itu dengan kehadiran Bapak, semoga hak kami dilindungi,” ungkapnya.
Ia juga mengutarakan harapannya agar proyek tersebut tidak dilanjutkan, mengingat topografi wilayah Poco Leok yang “kiri kanan semuanya tebing, seperti tinggal di dalam kuali”.
“Harapan kami, pembangunan geotermal yang direncanakan itu tidak jadi, ke mana lagi kami pergi, anak kami akan ke mana di masa depan,” lanjutnya.
Sementara itu, Kampianus Jebaru, warga lainnya dari Kampung Lungar mengisahkan tindak kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga Poco Leok pada Juni tahun lalu, di mana ia dan beberapa warga mengalami cedera hingga dilarikan ke Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng, di ibu kota Kabupaten Manggarai.
“Saya jatuh tersungkur sekitar tiga meter dengan posisi kepala ke bawah, tengkuk saya langsung bengkak,” kisahnya.
Selain Kampianus, lebih dari lima orang warga, termasuk kaum perempuan menjadi korban kekerasan aparat saat aksi penghadangan terhadap aktivitas pematokan dan penanaman pilar oleh pegawai badan pertanahan di lahan ulayat mereka, Lingko Tanggong pada 21 Juni 2023.
“Harapan kami saat ini ada pada tim Komnas HAM, karena pemerintah sekarang ini tidak peduli pada masyarakat bawah,” ungkapnya.
Elisabeth Lahus, salah satu dari lima perempuan korban kekerasan tersebut juga menceritakan kronologi aksi penghadangan yang mereka lakukan selama tahun 2023.
“Kami merasa sengsara, dalam dua puluh tiga kali aksi, kami berhadapan dengan kekerasan aparat polisi, TNI, dan Pol PP,” ungkapnya sambil meneteskan air mata di hadapan ratusan warga dan tim Komnas HAM.
Elisabeth, perempuan 57 tahun dan ibu dari delapan orang anak itu, adalah sosok yang saat kejadian 21 Juni terpaksa melakukan aksi telanjang dada demi menghentikan proses pengukuran lahan dan aksi represif aparat.
“Kami mengira polisi, TNI dan Pol PP datang mengamankan dan menjaga masyarakat di kampung. Ternyata mereka datang injak-injak dan dorong kami,” katanya.
Ia berharap kedatangan Tim Komnas HAM akan membantu warga, agar “polisi dan aparat keamanan lainnya berhenti datang” dan proyek tersebut tidak dilanjutkan, sebab “tanah ini bukan milik mereka, tetapi milik kami”.
Tim Komnas HAM yang hadir dalam kunjungan tersebut berjumlah enam orang, yakni Uli Parulian Sihombing sebagai Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, beserta lima orang staf.
Tim tersebut diterima secara adat di Kampung Ndajang pada pukul 10.00 Wita, lalu bersama ratusan warga berarak menuju Rumah Adat Lungar.
“Biarpun Negara Sudah Hancur, Adat Kami Tetap Berjalan”
Joniardus Junar, wakil warga Gendang Tere yang juga berkesempatan berbicara di hadapan Komnas HAM menegaskan posisi penting ruang hidup budaya bagi warga adat Poco Leok.
“Kampung itu tidak bisa berubah jadi apa-apa, ini kampung ulayat. Tanpa ada kampung, belum tentu ada pemerintah,” ungkapnya.
Ia mengatakan kampung sebagai bagian dari ruang hidup masyarakat, juga budaya yang dipegangnya memiliki posisi yang lebih penting ketimbang pemerintah dan negara.
“Biarpun bupati meninggal, atau hancur negara ini, ritual adat kami masih berjalan. Biarpun Paus [pemimpin Gereja Katolik sedunia] tidak ada, presiden tidak ada, ritual adat kami tetap berjalan. Itu harga mati,” lanjutnya.
“Pemimpin-pemimpin kampung bukan seperti pemerintah. Kalau hari ini Jokowi, besoknya Prabowo, tapi Tua Adat tidak bisa diganti dengan orang lain,” ungkapnya menyinggung adanya informasi pengangkatan Tua Adat bayangan versi pemerintah dan PT PLN di wilayah itu.
Selain itu, ia juga mengatakan merasa heran dengan adanya program sertifikasi atas lahan ulayat, yang menurutnya tidak bisa dilakukan, dan “tidak pernah terjadi selama hidupnya yang hampir lima puluh tahun.”
Hal lainnya yang diangkat Joniardus adalah kondisi menurunnya debit air di wilayah tersebut sejak beroperasinya PLTP Ulumbu pada tahun 2011. Lokasi pembangkit listrik tersebut berada sekitar tiga kilometer sebelah barat Poco Leok.
“Tahun 1990-an, kalau hujan satu dua bulan, air bertahan sampai musim kering. Sekarang, biarpun hujan sebulan, setelah itu kering selama seminggu. Air hilang total,” ungkapnya.
Posisi penting ruang hidup kampung dan lahan garapan ulayat juga ditekankan Petrus Jehaput, tetua Kampung Mocok, yang menjelaskan proses upacara adat Penti atau syukuran hasil panen tahunan.
“Kami tolak geotermal yang melakukan pengeboran di Lingko [lahan ulayat] karena acara Penti kami adakan di kebun, lalu mata air, dan kemudian kami memberikan sesajian kepada leluhur di Compang [altar di tengah halaman kampung]. Selanjutnya kami adakan upacara di dalam rumah adat,” ungkapnya.
Ia juga mengisahkan kejadian ‘penangkapan secara adat’ yang dua kali dilakukannya bersama warga terhadap tim survei dari pihak pemerintah dan PT PLN yang memasuki lahan ulayat mereka tanpa izin.
Selain itu, semua perwakilan warga dari kampung adat lainnya juga berkesempatan berbicara di hadapan Komnas HAM, menyatakan alasan-alasan penolakan dan menuntut penghentian tindak kekerasan aparat keamanan.
Menanggapi pernyataan-pernyataan warga tersebut, Uli Parulian Sihombing mengungkapkan terima kasih karena telah diberi kesempatan “untuk mendengarkan fakta-fakta terkait dengan proyek geotermal di Poco Leok.”
“Tentu testimoni tadi sangat bermanfaat buat kami, sehingga kami punya gambaran dan fakta-fakta sebenarnya apa yang terjadi di Poco Leok,” ungkapnya.
Ia mengatakan telah menerima aduan terkait kasus Poco Leok pada Oktober tahun lalu, dan pihaknya telah “memanggil PT PLN, Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] asal Jerman – sebagai pendana -, dan beberapa pihak yang dipandang perlu, termasuk Bank Dunia.”
Pemanggilan tersebut, kata dia, “untuk menjelaskan proyek geotermal tersebut”.
“Kami datang ke sini untuk mencari fakta-fakta, ingin melihat titik wellpad dan mendengar dari bapak ibu sekalian,” ungkapnya.
Terkait pengaduan warga tentang tanah ulayat, dampak geotermal terhadap ruang hidup, produktivitas pertanian, juga kekerasan dan pelecehan seksual oleh aparat keamanan, ia mengatakan “akan coba diinventarisasi dan diidentifikasi permasalahan dampak dari proyek geotermal di Poco Leok.”
Ia juga secara khusus menyinggung soal jarak yang sangat dekat antara perkampungan warga dan titik pengeboran geotermal.
“Dalam proyek ini, sebetulnya masyarakat yang harus didengar. Sebelum proyek dilakukan, harus betul-betul masyarakat didengar. Ada partisipasi yang bermakna, mekanisme seperti itu yang kami dorong,” ungkapnya.
Ia juga mengaku “sangat kagum dengan warga yang mempertahankan tanah adat dan lingkungannya”, yang menurutnya “sangat jarang dilakukan masyarakat.”
“Komnas HAM men-support itu. Kami juga punya concern terhadap masyarakat adat. Masyarakat adat juga punya hak atas tanahnya, kehidupannya, juga adat istiadat, dan hukum adatnya harus dihormati oleh negara,” ungkapnya.
“Sebelum Indonesia merdeka, masyarakat adat sudah ada,” tambahnya.
Pernyataan Sikap Kaum Muda
Selain perwakilan tetua adat dan korban kekerasan aparat, dalam pertemuan tersebut kaum muda Poco Leok juga membacakan pernyataan sikap mereka yang menolak kehadiran proyek geotermal di wilayah itu.
“Sejak lebih dari lima tahun silam, setelah kami mendengar kabar akan hadirnya proyek geotermal perluasan PLTP Ulumbu Unit 5-6 di Poco Leok, kecemasan menghantui kami kaum muda adat Poco Leok,” ungkap Trisno Arkadeus, mewakili kaum muda membacakan pernyataan sikap itu.
Poin-poin pernyataan sikap tersebut berbicara terkait penolakan proyek geotermal yang mengancam keutuhan ruang hidup warga Poco Leok, penolakan terhadap cara-cara kekerasan yang dilakukan aparat keamanan, dan permintaan kepada Komnas HAM untuk “memperhatikan persoalan ini secara serius dan bertanggung jawab, menunjukkan keberpihakan pada kami sebagai korban pembangunan dan kekerasan negara.”
“Kami meminta supaya pihak Komnas HAM berdiri bersama kami warga yang tertindas,” demikian poin terakhir pernyataan sikap tersebut.
Pertemuan tersebut ditutup pada pukul 15.00 Wita, di mana tim Komnas HAM langsung mengunjungi tiga lokasi yang direncanakan sebagai titik pengeboran [wellpad], yakni wellpad D di Lingko Tanggong, wellpad E di Lingko Lelak, sebelah Kampung Cako, dan wellpad F di Lingko Mesir.
Selain tim Komnas HAM, hadir pula dalam pertemuan itu perwakilan dari beberapa lembaga advokasi yang selama ini turut mendampingi warga adat Poco Leok, yakni lembaga Gereja Katolik JPIC SVD Ruteng dan JPIC OFM, Wahana Lingkungan Hidup [Walhi NTT], dan Sunspirit for Justice and Peace.
Sebelumnya, pada 20 Oktober 2023, lembaga-lembaga tersebut, yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Poco Leok mengirimkan pengaduan kepada pihak Komnas HAM, menyebut Polres Manggarai telah melakukan “intimidasi dan kriminalisasi” terhadap warga yang sedang mempertahankan tanah mereka.
Selain itu, Jaringan Advokasi Tambang [Jatam] juga melayangkan pengaduan pada 10 Agustus 2023, yang diterima Komnas HAM pada 14 Agustus 2023, juga JPIC SVD Ruteng yang surat pengaduannya diterima lembaga itu pada 29 Agustus.
Sebagai tindak lanjut, pada akhir Oktober 2023 Komnas HAM melayangkan surat permintaan klarifikasi kepada sejumlah pihak, yakni PT PLN, Badan Pertanahan Nasional [BPN], dan Gubernur NTT terkait dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam proyek geothermal di Poco Leok.
Proyek geothermal di Poco Leok, perluasan dari PLTP Ulumbu, menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.
Proyek ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional, bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.
Saat ini, pemerintah dan PT PLN gencar mengadakan sosialisasi Padiatapa atau FPIC di berbagai tempat, baik di wilayah Poco Leok maupun di sekitar PLTP Ulumbu.
Sosialisasi terakhir diadakan di Kampung Lengkong, 300 meter sebelah timur PLTP Ulumbu, di mana warga setempat membantahnya, mengatakan “mereka hanya bicara dampak perubahan iklim, bukan dampak proyek geotermal Poco Leok”.
Sementara itu, warga dari belasan kampung adat di Poco Leok tetap tegas menyatakan penolakan.
Beragam upaya dilakukan warga, di antaranya pengiriman surat aduan kepada pendana proyek, Bank KfW.
Mereka juga menulis surat kepada pihak pemerintah dan Kantor Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional [ATR/BPN] Manggarai, di samping berbagai aksi penghadangan terhadap aktivitas perusahaan dan unjuk rasa di sejumlah lokasi, seperti di Ruteng, Kupang dan Jakarta.
Editor: Ryan Dagur