Komnas HAM Minta Klarifikasi PT PLN, Gubernur NTT dan BPN Terkait Dugaan Pelanggaran Hukum dan HAM dalam Proyek Geothermal Poco Leok

Komnas HAM merespons pengaduan dari pihak yang mewakili warga Poco Leok.

Baca Juga

Floresa.co – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] meminta klarifikasi kepada sejumlah pihak, termasuk PT Perusahaan Listrik Negara dan Badan Pertanahan Nasional [BPN] terkait dugaan pelanggaran hukum dan HAM dalam proyek geothermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai.

Dalam surat resmi, yang salinannya diperoleh Floresa pada 1 November, Komnas HAM juga meminta klarifikasi kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur [NTT].

Surat itu dikirim kepada Melky Nahar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang [Jatam], yang sebelumnya atas nama warga Poco Leok, menyampaikan pengaduan resmi kepada Komnas HAM.

Pengaduan serupa, yang juga disampaikan oleh Pastor Simon Suban Tukan dari Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan atau Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC)  SVD Ruteng, terkait sejumlah persoalan dalam pelaksanaan proyek geothermal Poco Leok, pengembangan dari Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] Ulumbu, sekitar tiga kilometer ke arah barat.

Melky melayangkan pengaduan pada 10 Agustus 2023, yang diterima Komnas HAM pada 14 Agustus 2023, sementara pengaduan Simon diterima Komnas HAM pada 29 Agustus.

Dalam suratnya, Komnas HAM meminta ketiga pihak – Direktur Utama PT. PLN, Gubernur NTT dan Kepala Kantor Wilayah BPN NTT  – memberikan keterangan mengenai sejumlah hal.

Beberapa di antaranya adalah terkait dampak kesehatan, sosial, dan ekonomi aktivitas PLTP Ulumbu terhadap masyarakat adat Gendang Poco Leok, juga apabila terjadi perluasan dan pengembangan PLTP itu; dan izin lingkungan (Amdal, RKL, KHS, dll) sekaligus dampak lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas PLTP Ulumbu dan perluasannya.

Komnas HAM juga meminta klarifikasi terkait tidak adanya jawaban atas penolakan warga terhadap proyek itu dan dugaan intimidasi dan kekerasan terhadap.

Keterangan tersebut, kata Komnas HAM dalam surat bertanggal 16 Oktober itu, disampaikan 30 hari kerja sejak surat diterima.

Dalam salinan surat pengaduan Melky yang diperoleh Floresa, ia menerangkan ada upaya paksa pemerintah dan PT PLN di tengah meluasnya penolakan warga terhadap proyek ini.

Dampaknya, kata dia, situasi kian mencekam, warga yang menentang proyek mengalami kekerasan dan intimidasi hingga pelecehan yang semuanya diduga melanggar HAM.

Dalam surat itu, Melky mengadukan adanya dugaan pelanggaran hukum dan HAM saat survei dan pematokan lahan di wilayah Poco Leok, di antaranya pelanggaran hak atas informasi, pelanggaran hak untuk tidak disiksa dan penganiayaan terencana, dan hak atas rasa aman, hak atas properti pribadi serta  perlindungan.

Melky mengadukan beberapa pihak yang diduga terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai yang sudah mengeluarkan SK HK/417/2022 tentang izin Lokasi Proyek Geothermal Poco Leok yang sama sekali tidak diketahui dan tidak melibatkan warga.

Ia juga menilai Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan PT PLN terus memaksa proyek ini yang menimbulkan kekacauan, konflik, dan kemarahan bagi warga.

Sementara Pemerintah Provinsi NTT, dalam pengaduannya dinilai “terkesan melakukan pembiaran aktivitas PLN yang cacat prosedur.”

Pemerintah menargetkan perluasan PLTP Ulumbu ke Poco Leok menghasilkan energi listrik 2×20 megawatt, meningkat dari 10 megawatt yang sudah beroperasi saat ini.

Proyek ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional, bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.

Warga Poco Leok terus melakukan perlawanan terhadap proyek yang berada di tanah ulayat dan dekat dengan pemukiman mereka.

Mereka terlibat dalam beberapa kali upaya penghadangan aparat dan perusahaan yang mendatangi wilayah mereka, selain dengan menggelar rangkaian unjuk rasa.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini