Kecam Pembagian Uang Rp25 Ribu Bersamaan Kuesioner Persetujuan Warga untuk Proyek Geotermal Nage, Keuskupan: “Ini Pemaksaan Halus dan Sarat Rekayasa!”

Kuesioner dibagikan pasca sosialisasi proyek oleh PT Daya Mas Nage Geothermal, kata seorang pastor

Floresa.co – Keuskupan Agung Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur mengecam pembagian uang sejumlah Rp25.000 bersamaan dengan penyebaran kuesioner persetujuan warga terhadap proyek geotermal di Wilayah Kerja Panas Bumi atau WKP Nage, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada beberapa waktu lalu, menyebut hal itu “pemaksaan halus dan sarat rekayasa” untuk meloloskan proyek.

Dalam unggahan resmi di media sosial Facebook dengan nama akun Kkp-pmp Keuskupan Agung Ende, Keuskupan yang dipimpin Uskup Paulus Budi Kleden, SVD itu menegaskan bahwa proses konsultasi publik terkait proyek geotermal seharusnya dilakukan secara etis dan tidak menyesatkan warga.

Pembagian uang tersebut terjadi sekitar tanggal 29 Juni hingga 1 Juli, yang menyasar warga dari enam desa terdampak, yakni Desa Dariwali, Tiworiwu, Tiworiwu 1, Tiworiwu 2, Bowaru dan Nage.

Wily Sawu, salah satu kaum muda Desa Bowaru yang berbicara kepada Floresa pada 2 Juli, mengaku dirinya belum mendapatkan kuesioner tersebut, tetapi sudah mendapatkan informasi soal penyebarannya di kalangan warga.

Romo Reginald Piperno, Ketua Komisi Justice Peace and Integrity of Creation atau JPIC Keuskupan Agung Ende menilai pembagian uang tersebut sebagai “bentuk pemaksaan kehendak dan ketamakan dari pihak perusahaan dan pihak oligarki.”  

Di tengah gencarnya penolakan  warga, kata Romo Perno, sapaannya, PT Daya Mas Nage Geothermal “memaksakan kehendak dan nafsu untuk melakukan eksplorasi di Nage.”

Berbicara kepada Floresa melalui pesan Whatsapp pada 2 Juli, ia juga mempersoalkan minimnya sosialisasi proyek tersebut, yang berjarak sekitar 18 kilometer dari proyek serupa di Mataloko, Kecamatan Golewa.

Informasi terkait proyek itu baru didapat setelah dilakukan “pengeboran,” bahkan “setelah adanya pengeboran di dua titik di Nage, baru diadakan sosialisasi.”

Bagi Romo Perno, jika pemerintah dan perusahaan sungguh berniat membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL yang berkualitas, “maka seharusnya dibuat secara transparan dan tanpa membayar kuesioner dengan uang”. 

Menurutnya, praktik penyebaran kuesioner beserta uang merupakan ”pemaksaan yang halus dan upaya rekayasa untuk mendapat persetujuan masyarakat.”

Sosialisasi Yang Tidak Transparan dan Memaksa

Sementara itu, Pastor Paroki Santo Paulus Jerebu’u, Romo Gabriel Wara, yang berbicara kepada Floresa pada 2 Juli menjelaskan, sebelumnya, pada 25 Juni ada sosialisasi proyek geotermal di Kantor Camat Jerebu’u. 

Sosialisasi tersebut merupakan bagian dari konsultasi publik yang digelar oleh pemenang tender WKP Nage yakni PT Daya Mas Nage Geothermal, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTT, dan Dinas ESDM serta Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ngada.

Selain itu, beberapa ahli panas bumi, termasuk tim penyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan proyek tersebut dan perwakilan masing-masing lima orang warga dan aparat dari enam desa terdampak.

Romo Gabriel, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut berkata, kendati diundang sebagai pastor paroki, ia menegaskan kepada pemerintah dan perusahaan bahwa “saya hadir bukan sebagai tokoh agama, melainkan mewakili masyarakat terdampak yang menolak kehadiran geothermal.”

Namun, kata dia, diskusi yang dijanjikan dua sesi hanya benar-benar dibuka untuk tiga orang penanya dari kalangan warga. 

Ia juga menyebut adanya konflik kepentingan yang membuat beberapa orang mendukung proyek, yakni karena mereka berstatus sebagai aparat desa yang masih memiliki hubungan keluarga dengan pejabat Dinas ESDM NTT.

“Yang jadi masalah besar adalah setelah pertemuan itu, disebarkanlah kuesioner kepada warga, dan setiap yang mengisi diberi uang Rp25.000. Ini bukan sekadar uang, ini bentuk tekanan halus agar warga menyetujui proyek,” katanya.

“Apakah memang harus begitu? Ini malah jadi mirip praktik suap untuk mendapatkan legitimasi semu,” lanjutnya.

Ia juga mengungkapkan, kuesioner tersebut disebarkan secara diam-diam, tanpa penjelasan terlebih dahulu dalam forum resmi. 

Bahkan, beberapa warga tidak diberi ruang untuk menjelaskan alasan mereka menolak proyek. Pilihan jawaban dalam kuesioner pun sangat terbatas dan tidak mengakomodasi suara penolakan secara eksplisit.

Romo Gabriel menambahkan bahwa dalam pertemuan itu, ia secara tegas menolak untuk menandatangani daftar hadir karena berdasarkan pengalaman, daftar hadir dan berita acara sering digunakan sebagai alat legitimasi bahwa masyarakat telah menyetujui proyek.

“Saya sudah sampaikan dalam misa (ibadah) di paroki bahwa kehadiran saya bukan untuk mewakili Gereja atau menyetujui proyek. Justru saya hadir sebagai suara korban yang menolak. Tapi di tengah umat, sudah beredar kabar sebaliknya—bahwa saya mendukung,” katanya.

Selain itu, ia juga mengecam keberadaan aparat keamanan dalam pertemuan tersebut.

“Saya bilang langsung ke polisi dan tentara yang hadir untuk jangan gunakan cara-cara intimidatif. Kalau konsultasi, ya konsultasi. Jangan pakai tekanan,” ujarnya.

Area WKP Nage

Dalam proses lelang yang diumumkan Kementerian ESDM pada 17 September 2024, PT Daya Anugerah Sejati Utama, anak usaha dari Grup Sinar Mas ditunjuk sebagai pemenang yang mengelola proyek geothermal Nage.

Perusahaan tersebut adalah anak dari PT Daya Mas Nage Energi, bagian dari PT Dian Swastatika Sentosa Tbk yang bergerak di sektor energi, teknologi, dan infrastruktur digital.

Proyek ini akan dikembangkan dengan kapasitas 40 MW, mencakup wilayah seluas 10.410 hektare di kawasan hutan. Pemerintah mewajibkan pemenang lelang untuk menyediakan dana eksplorasi senilai lebih dari 10 juta dolar AS.

Namun, proyek ini muncul di tengah meningkatnya resistensi warga terhadap sejumlah proyek geothermal lain di Pulau Flores, seperti di Poco Leok Kabupaten Manggarai, Wae Sano di Manggarai Barat, Mataloko di Ngada, Sokoria di Ende dan Atadei di Lembata.

Selain itu, gelombang protes juga terjadi di berbagai lokasi lainnya, termasuk di titik-titik yang hingga kini belum terdapat aktivitas fisik proyek, seperti di Lesugolo Kabupaten Ende dan Oka Ile Ange di Flores Timur.

Jaringan Advokasi Tambang, organisasi yang aktif melakukan advokasi warga di lingkar geotermal di Flores menilai bahwa ekspansi proyek panas bumi di lokasi-lokasi itu tidak hanya menimbulkan konflik sosial dan kriminalisasi warga, tapi juga berpotensi mengancam keberlanjutan ekosistem hutan dan sumber air masyarakat. 

Proyek Nage juga menjadi sorotan karena dilakukan di tengah kritik terhadap pelonggaran regulasi panas bumi sejak revisi UU No. 27/2003, yang kini memungkinkan pengusahaan panas bumi di kawasan hutan tanpa persyaratan ketat.

Dengan rekam jejak buruk beberapa proyek geothermal di Flores dan kerentanan sosial-ekologis yang menyertainya, pengembangan WKP Nage menjadi gambaran nyata bagaimana ambisi energi terbarukan bisa berbenturan dengan hak-hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan.

Willy Sawu dari Desa Bowaru mengaku khawatir dengan pengembangan geothermal Nage, terutama karena “melihat kondisi proyek serupa di Mataloko yang berjarak tidak sampai belasan kilometer.” 

Di Desa Bowaru, ceritanya, sempat muncul retakan tanah di perkampungan adat dan di dalam dapur rumah warga, menyebabkan tiga rumah adat terpaksa dibongkar. 

“Keretakan (tanah) sudah punya sejarah dari dulu, tapi keretakan besar muncul di Bulan Februari 2025,” katanya yang mengaku beberapa kali melihat langsung lokasi semburan liar lumpur dan uap panas di proyek geotermal Mataloko.

Ia mengungkapkan, sudah ada dua titik pengeboran awal di wilayah Nage, yakni di Tude dan Nage sejak 2021.

Editor: Anno Susabun

Solidaritas untuk Kawan Kami, Mikael Jonaldi

Jonal, salah satu jurnalis Floresa, sedang butuh biaya untuk operasi jantung. Kami mengharapkan solidaritas kawan-kawan untuk ikut membantu Jonal

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA