Judul Novel: Menunggu Matahari Melbourne; Penulis: Remy Sylado; Jumlah halaman: iv + 202; Tahun terbit: 2004; Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
Enam jam menunggu penerbangan yang tertunda bisa jadi membosankan. Namun, pada suatu sore di Bandara I Gusti Ngurah Rai di Bali, Joko Trianto merasa sebaliknya.
Hatinya penuh dengan refleksi. Indranya tergugah untuk menggugat mereka yang melanggengkan korupsi dan menutup mata terhadap permasalahan rakyat kecil.
Sore itu ia tak sendirian. Di sebelahnya duduk Mary Jane Storm, seorang mahasiswi asal Australia.
Joko menunggu pesawat ke Melbourne, Negara Bagian Victoria di Australia. Sementara Mary menanti penerbangan kembali ke Adelaide, Negara Bagian Australia Selatan.
Keduanya berumur sekitar 27 tahun. Sama-sama sedang menempuh pendidikan S2 di Australia.
Mary digambarkan sebagai perempuan yang menghargai waktu, blak-blakan dan tak mudah memercayai orang. Sementara Joko dicitrakan sebagai lelaki yang suka basa-basi dan skeptis, bahkan terhadap negeri sendiri.
Meski baru beberapa jam duduk bersebelahan, keduanya berbagi nilai, keresahan dan kritik sosial.
“Sudah kacau begitu, pemerintahannya tidak peka pula,” kata Joko kepada Mary ketika menyoal korupsi yang telah merambah ke lapisan masyarakat.
“Jadi,” kata Joko,”kalau kamu mengira kami sudah merdeka, sebetulnya kami masih dijajah. Di negeri ini pemerintahannya ‘gemuk’ sendiri, sementara rakyat setengah mati ingin merdeka.”
Menggugat Primordialisme
Joko dan Mary merupakan dua tokoh utama dalam Menunggu Matahari Melbourne, novel karya Yapi Panda Abdiel Tambayong, yang dikenal dengan nama pena Remy Sylado.
Novel itu terbit pada 2004, dua tahun pascaperistiwa Bom Bali I. Tiga tahun kemudian terjadi tiga pengeboman di Kuta dan Jimbaran yang lantas disebut Bom Bali II.
Sebanyak 44 persen dari 202 korban meninggal dalam Bom Bali I merupakan warga Australia, alasan yang membuat Remy menghadirkan sosok Mary dalam novelnya.
Mary dikisahkan datang ke Bali untuk menabur bunga, mengenang dua kerabatnya yang meninggal dalam peristiwa tersebut.
Menunggu Matahari Melbourne hadir di sela-sela masa reformasi yang bermula dari kejatuhan Soeharto pada 1998.
Tahun-tahun itu rakyat berharap terlepas dari segala bentuk penyensoran, diskriminasi serta kekerasan terhadap pemeluk keyakinan tertentu.
Namun, yang terjadi malah melenceng dari harapan.
Meski tak lagi terjadi pembredelan media seperti pada masa Orde Baru, praktik penyensoran ternyata “masih langgeng” dengan bentuk yang berbeda.
Fenomena lain adalah muncul sejumlah “media karet gelang.”
Serupa istilah pasal karet, “media karet gelang” mengacu pada media massa yang pemberitaannya tanpa standar jelas seperti diatur dalam Kode Etik Jurnalistik.
Tumbuh pada era reformasi, barisan “media karet gelang” mengaburkan gagasan tentang media sebagai alat kontrol sosial. Pengabaian terhadap fungsi kontrol sosial turut mengekalkan diskriminasi disertai kekerasan terhadap pemeluk keyakinan tertentu.
Remy berupaya mengungkapkan keprihatinannya terhadap situasi tersebut melalui dialog antara Joko dan Mary.
Dialog keduanya berkembang menjadi silang pendapat yang menarik untuk diikuti. Tak seorang pun di antara mereka ingin menjadi yang benar, melainkan menemukan kebenaran.
“Indonesia-mu memang aneh sekali,” kata Mary menanggapi cerita Joko tentang kekerasan terhadap pemeluk keyakinan tertentu.
“Ateisme dianggap bahaya,” katanya seiring langit yang menggelap di Denpasar, “sementara primordialisme agama yang tumbuh bersama dengan sentimen-sentimen kesukuan dan berkembang menjadi terorisme dengan bom, dianggap bukan bahaya.”
Merindu Isyarat Kebaikan
Saya baru membaca novel karangan penulis kelahiran Sulawesi Selatan itu pada akhir 2024.
Meski terpaut dua dekade semenjak tahun penerbitannya, menurut saya, halaman demi halaman perdebatan antara Joko dan Mary masih relevan dengan situasi yang hari ini berlangsung di Indonesia, dan Nusa Tenggara Timur [NTT] khususnya.
Terkait sentimen yang mengatasnamakan agama, misalnya. Sepanjang 2024, lembaga pemonitor hak asasi manusia Imparsial menemukan 23 kasus pelanggaran kebebasan beragama di pelbagai wilayah Indonesia.
Salah satu pelanggaran terakhir menimpa jemaat minoritas Ahmadiyah pada awal Desember.
Saat itu sekitar 6.000 jemaat telah sampai di depan lokasi pertemuan akbar di Kuningan, Jawa Barat. Tiba-tiba polisi memblokade mereka, termasuk sejumlah jemaat asal NTT.
Disitir dari Tempo, Kepala Seksi Humas Polres Kuningan, Jawa Barat, Ajun Komisaris Mugiyono membantah telah memblokade ribuan jemaat, berdalih “hanya mengamankan, takutnya massa melakukan aksi anarkis.”
Dengan jumlah kasus yang tetap dari setahun sebelumnya, Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mencatat “pemerintah hanya berpangku tangan dalam nyaris semua pelanggaran terhadap kebebasan beragama.”
Padahal, katanya, “pemerintah punya tanggung jawab guna memastikan hak berkeyakinan warga negara tidak direnggut.”
Melalui penokohan seorang malaikat, Remy yang berpulang pada 2022 menulis: ”Fanatisme berakibat pada benturan antaragama, lantaran manusia mau menunjukkan dan memamerkan kesalehannya hanya pada jangkauan kuantitas, bukan kualitas.”
Padahal, tulisnya pada halaman 21-22 Menunggu Matahari Melbourne, “religiusitas merupakan kualitas seseorang secara individual dan spiritual untuk melakukan isyarat-isyarat kebaikan di hadirat Tuhan.”
Ia menilai fanatisme yang berkembang dan menular “ternyata tidak hanya dengan simbol-simbol lahiriah, misalnya pada atribut yang dipakai, tapi juga akhirnya dengan bom.”
Sementara itu, “yang jarang dilihat dengan kepala dingin dan hati terbuka ialah bahwa terorisme di Indonesia berkaitan erat dengan masalah ekonomi.”
“Terlalu banyak orang miskin di sini,” tulisnya.
Saking terlalu letih dengan kemiskinan, “mereka jadi mudah terhasut dan menganggap pelanggaran pidana sebagai keniscayaan untuk menghajar orang-orang kaya yang sombong.”
“Berpenampilan Sok Nabi”
Petang telah lewat. Joko akhirnya berada dalam pesawat yang akan menerbangkannya ke Melbourne.
Dalam pesawat, seorang laki-laki yang tak disebutkan namanya mengajak berkenalan. Berikutnya Joko tahu, lelaki itu seorang anggota legislatif. Ia terbang ke Melbourne untuk berjudi.
Sejumlah surat kabar berbasis di Jakarta acapkali menuliskannya “seorang moralis yang menuntut supaya tempat-tempat hiburan, yang ia sebut tempat-tempat maksiat, ditutup.”
“Seorang malaikat lalu mencabut nyawanya,” tulis Remy.
Sementara tak banyak yang tahu dari mana anggota legislatif itu memperoleh modal berjudi, hingga sebelum suatu stasiun televisi di Melbourne mengungkap, demikian: “Sepanjang petualangannya ia tak pernah beruntung. Tak ada yang tahu bahwa uang yang dipakainya berjudi adalah hasil pemerasannya dari keturunan Tionghoa yang berbisnis hiburan di Indonesia. Sudah dapat diduga bahwa partainya akan menutup-nutupi kelakuan dan kematiannya.”
Begitu keras kritikan Remy, hingga ia menulis: “Di dalam negeri berpenampilan sok nabi. Di luar negeri, kelakuannya seperti babi.”
Kritikannya pada 20 tahun silam bersangkut-paut dengan praktik serupa yang hari ini masih merajalela, tak hanya pada level nasional melainkan juga NTT.
Pada 9 Desember, Kejaksaan Tinggi NTT di Kupang melaporkan 76 perkara korupsi telah diajukan ke pengadilan sepanjang 2024. Kerugian negara dari keseluruhan perkara itu ditaksir hingga Rp137,7 miliar.
Sementara di Manggarai, skandal proyek tong sampah di Ruteng menyeret dua eks direktur PT MMI ke Rutan, Kerugian negara dalam perkara tersebut mencapai nyaris Rp2 miliar.
Kelatenan korupsi mencapai puncaknya, tepat pada pengujung 2024. Pada 31 Desember, Organized Crime and Corruption Reporting Project [OCCRP] menetapkan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo sebagai salah satu finalis tokoh Kejahatan Terorganisir dan Korupsi 2024.
“Dalam semua rezim–mulai Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi, Indonesia tetap sakit,” tulis Remy.
Jadi, “adakah kata yang sepantasnya menggantikan ‘Indonesia’ agar tidak sakit-sakitan lagi? Hanya waktu yang terus berproses akan menjawabnya.”
Sastra yang Bermanfaat
Menurut pandangan saya, elemen sastra yang ditulis Remy sejalan dengan teori yang dikemukakan Alan Swingewood dan Diana Laurenson.
Dalam The Sociology of Literature yang terbit pada 1972, kedua sosiolog menulis “sastra tak sekadar menggambarkan imajinasi kreatif yang dibangun dari ide pengarang. Lebih dari itu, sastra merupakan refleksi kehidupan suatu masyarakat.”
Oleh karenanya, tulis Swingewood dan Laurenson, “karya sastra dapat digunakan sebagai alat kontrol sosial terhadap pelbagai pelanggaran dalam hidup bermasyarakat.”
Pertemuan Joko dan Mary melahirkan kritik sosial akibat gejala kehidupan yang tidak selaras, yakni kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Kritik mereka tak hanya berisi kecaman dan celaan, melainkan juga solusi yang diharapkan dapat menciptakan keseimbangan sosial.
Karya sastra yang baik tidak hanya merekam realitas, tetapi juga memberikan tanggapan terhadap fakta-fakta tersebut.
Lewat Menunggu Matahari Melbourne, Remy mampu menafsirkan realitas tanpa sedikit pun gagap mengkritik penguasa.
Kemunculan novel ini ibarat lontaran kritik tajam terhadap para penulis sastra yang gugup mengungkap realitas, apalagi mengkritik para pembesar.
Sebaliknya, mereka kerap terlena dengan pujian dari berbagai penjuru yang makin menumpulkan kemampuan mengkritik.
Bagi saya, Menunggu Matahari Melbourne tak bisa dibaca hanya dengan kasatmata. Remy telah membuat para pembaca–setidak-tidaknya saya–menggugah diri untuk kembali memikirkan pelbagai kesenjangan di negeri ini.
Selain itu, Remy juga telah menghidupkan dulce et utile pada karya sastra, yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan manfaat.
Lima tahun sesudah menerbitkan Menunggu Matahari Melbourne, Remy pernah berucap: “Bagi saya, karya sastra harus bisa memberikan penghiburan dan pengharapan bagi pembacanya. Bila tidak memuat keduanya, buang saja sastra itu ke tempat sampah.”
Arif Harmi Hidayatullah, biasa dikenal Abim Gondrong, merupakan penulis dan peneliti yang tumbuh dan berkembang bersama kawan-kawan muda di Rumah Baca Aksara, Ruteng
Editor: Anastasia Ika