Floresa.co – Yustinus Mahu dan Maksimilianus Haryatman mengenakan rompi merah muda saat keluar dari gedung Kejaksaan Negeri Manggarai pada 19 Desember petang.
Kedua eks direktur BUMD Kabupaten Manggarai, PT Manggarai Multi Investasi [PT MMI] itu langsung ditahan di Rutan Carep di sisi timur kota Ruteng.
Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai, Fauzi berkata, YM–merujuk ke Yustinus dan MH-merujuk ke Maksimilianus “diduga kuat terlibat dalam skandal belanja instalasi Pengolahan Sampah Non-organik yang dibiayai oleh PT MMI.”
“Barang yang dibelanjakan ternyata tidak sesuai dengan spesifikasi teknis pengadaan sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara,” jelas Fauzi dalam keterangan tertulis.
Ia menjelaskan, kerugian negara dalam proyek itu mencapai Rp1.294.236.543.
Saat skandal itu terjadi pada 2019, Yustinus berperan sebagai direktur utama, sedangkan Maksimilianus sebagai direktur operasional.
Yustinus menjabat sebagai direktur utama BUMD itu sejak 2013. Mantan bankir sebuah bank milik negara itu mengundurkan diri dari jabatanya pada Juli 2021, menyusul terkuaknya skandal piutang macet PT MMI, di mana ia termasuk dalam daftar debiturnya.
PT MMI bukanlah kontraktor dalam proyek “Pengadaan Instalasi Pengolahan Sampah Non Organik di Lingkup Kecamatan Langke Rembong Tahun Anggaran 2019.”
Kontraktor proyek itu adalah CV Patrada, milik Edward Sonny Kurniady Darung.
Sejak kejaksaan mengumumkan penetapan tersangka, Floresa beberapa kali menghubungi Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Manggarai, Zaenal Abidin Simarmata untuk meminta penjelasan soal keterkaitan PT MMI dengan proyek itu.
Namun, Zaenal tidak memberikan penjelasan. Mengaku sedang cuti akhir tahun, ia hanya mengirimkan siaran pers yang ia teken saat pengumuman tersangka Yustinus dan Maksimilianus.
Polemik Proyek Tong Sampah
Meski belum ada penjelasan gamblang dari kejaksaan, keterkaitan PT MMI dengan proyek tong sampah itu dapat dilacak dalam sebuah putusan perkara gugatan CV Patrada.
Putusan Pengadilan Negeri Ruteng Nomor 2/Pdt.G/2021/PN Rtg itu, yang dokumennya dimiliki Floresa, terkait gugatan Sonny Darung terhadap Kristianus Dominggo [tergugat I] selaku Pejabat Pembuat Komitmen [PPK] dan Bupati Manggarai, khususnya Camat Kecamatan Langke Rembong [tergugat II].
Dalam gugatannya, CV Patrada menyatakan tergugat melakukan wanprestasi atau cidera janji setelah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja [PHK] pada 16 Desember 2019, tatkala pengerjaan proyek tong sampah itu hampir rampung.
Keputusan PPK menerbitkan PHK terjadi karena CV Patrada gagal menuntaskan proyek itu hingga 120 hari yang ditentukan, sejak 18 Juni 2019 hingga 16 Oktober 2019.
Penerbitan surat PHK itu juga menyusul langkah Polres Manggarai yang melakukan penyelidikan pada awal Desember, dengan memeriksa CV Patrada, PPK dan beberapa orang lainnya.
Tak hanya melakukan PHK, PPK juga meminta CV Patrada “mengembalikan uang muka ke kas negara.” Uang muka senilai Rp 499.800.000 atau 30 persen dari total proyek setelah dipotong pajak itu telah diserahkan ke CV Pradata usai penandatangan kontrak pada Juni 2021.
Dengan penerbitan surat PHK, CV Patrada juga masuk dalam daftar hitam atau blacklist yang tidak mempunyai hak untuk mengikuti pelelangan selama dua tahun.
Walaupun keberatan dengan PHK itu, CV Patrada mengklaim, demi untuk menghindari proses pidana, mereka mengembalikan uang muka.
Setelah pengembalian uang itu, penyelidikan oleh Polres Manggarai dihentikan.
Dengan PHK itu, pihak tergugat tidak membayar kewajiban ke penggugat sesuai kontrak. Padahal, menurut CV Patrada, realisasi proyek sudah mencapai 95,01% atau senilai Rp1.767.764.610.
Sementara itu, dalam jawabannya atas gugatan CV Patrada, PPK menyatakan sudah memberikan surat peringatan tiga kali sebelum surat PHK.
Alasannya, pembuatan tong sampah dan umpak itu dilakukan di luar masa kontrak selama 120 hari kalender.
“Lagipula pengadaan barang-barang tersebut tidak memenuhi syarat/spesifikasi yang diperjanjikan sehingga tidak dapat diterima atau tidak dapat dilakukan serah terima barang,” tulis PPK dalam jawaban pada 3 Maret 2021.
Di Pengadilan Negeri Ruteng, gugatan perdata ini dimenangkan oleh CV Patrada.
Dalam penilaiannya, majelis hakim berpendapat, seharusnya 14 hari kalender sebelum melakukan PHK, PPK menyampaikan pemberitahuan rencana pemutusan kontrak secara tertulis kepada CV Patrada.
Majelis hakim menyatakan, tidak ada satu pun bukti surat maupun saksi yang menunjukkan PPK telah melakukan pemberitahuan rencana pemutusan kontrak itu.
Majelis hakim menghukum tergugat membayar kepada penggugat sebesar Rp988.906.358. Nilai ini berasal dari 405 unit tong sampah yang sudah dipasang CV Patrada sebelum adanya surat PHK pada 16 Desember 2019. Sebanyak 405 unit tong sampah ini berdasarkan pemeriksaan setempat yang dilakukan majelis hakim.
Nilai hukuman ini lebih kecil dari tuntutan CV Patrada yaitu Rp2.767.764.610 yang terdiri atas Rp1.767.764.610 nilai pekerjaan yang sudah selesai atau 95,01% dari nilai kontrak dan kerugian immateril sebesar Rp1 miliar. CV Patrada mengklaim, jumlah unit tong sampah yang sudah terpasang 724 unit.
Tergugat kemudian melakukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Ruteng Nomor 2/Pdt.G/2021/PN Rtg tersebut.
Hasilnya, majelis hakim pengadilan tinggi Kupang dalam putusan Nomor 135/PDT/2021/PT KPG yang dibacakan pada 20 September 2021, “menerima permohonan banding dari Para Pembanding” atau PPK.
Dengan demikian, Pengadilan Tinggi Kupang “membatalkan putusan Pengadilan Negeri Ruteng Nomor 2/Pdt.G/2021/PN.Rtg yang diucapkan pada tanggal 23 Juni 2021.”
Bagaimana Keterlibatan PT MMI?
Putusan banding hakim Pengadilan Tinggi Kupang menjadi bencana tidak hanya bagi CV Patrada, tetapi juga bagi PT MMI.
Meski bukan kontraktor, tetapi PT MMI adalah pihak yang menyediakan 762 unit tong sampah untuk CV Patrada.
Maksimilianus Haryatman, dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri Ruteng, mengungkapkan, satu unit terdiri atas dua tong sampah.
Artinya, jumlah tong sampah yang dipesan sebanyak 1.524 tong sampah.
Total dana yang dikeluarkan oleh PT MMI untuk pengadaan 1.524 tong sampah itu, kata Maksimilianus, mencapai Rp1,3 miliar.
Keterlibatan PT MMI dalam pengadaaan tong sampah itu, kata Maksimilianus, berdasarkan Surat Perjanjian Nomor: 009/MMI/Juli/2019 antara PT MMI dan CV Patrada yang dibuat pada 2 Juli 2019.
Masalahnya, modal untuk pembelian 1.524 tong sampah itu tak dibayar oleh CV Patrada, setelah PPK menjatuhkan sanksi PHK kepada perusahaan itu.
Inilah yang disebut kejaksaan merugikan keuangan negara.
Soal keterlibatan PT MMI dalam proyek ini, Direktur Utama PT MMI, Yustinis Mahu pernah mengakuinya saat diwawancara Floresa pada Februari 2021.
Yustinus juga berkata, perusahan milik Pemkab Manggarai itu membeli barang tersebut di Surabaya sesuai permintaan CV Patrada.
“Prinsipnya, kami datangkan barang sesuai permintaan CV Patrada. Mereka minta tong sampah dari drum bekas, ya kami datangkan tong sampah dari drum bekas,” katanya.
Debitur Bandel
Seperti diulas Floresa dalam sejumlah artikel sebelumnya, PT MMI kini didera piutang macet yang sulit ditagih sebesar Rp6,97 miliar.
Debitur ‘nakal’ yang tak membayar kewajibannya itu terdiri atas direksi dan komisaris PT MMI sendiri, anggota DPRD, sekretaris daerah, dan kontraktor.
CV Patrada, kontraktor proyek tong sampah, juga tercatat sebagai salah satu debitur.
Bahkan nilai piutang MMI ke perusahaan yang dipimpin Edward Sonny Kurniady Darung mencapai Rp1.419.777.328. Jumlah ini setara dengan 20,3 persen dari total piutang macet PT MMI.
Tak hanya CV Patrada, Edward Sonny Kurniady Darung sendiri juga namanya tercatat dalam daftar 107 debitur nakal itu.
Berdasarkan dokumen hasil audit, Sonny memiliki kewajiban ke PT MMI sebesar Rp137.673.136 per 31 Desember 2022.
Floresa sudah menghubungi Sonny Darung terkait penetapan tersangka dua direksi PT MMI terkait proyek tong sampah yang dikerjakannya.
Namun, panggilan telepon melalui WhatsApp yang dilakukan pada 23 Desember tak direspons Sonny.
Floresa juga mengirimkan pesan WhatsApp, termasuk terakhir pada 26 Desember, namun tak direspons.
Sebelumnya, 22 April 2024, Sonny kepada Floresa mengatakan, tidak mau berkomentar soal kewajiban ke PT MMI tersebut karena mengaku akan diperiksa kejaksaan.
Laporan ini dikerjakan oleh Petrus Dabu dan Arivin Dangkar
Editor: Ryan Dagur