Surono, Geolog: Berkaca dari Erupsi Lewotobi Laki-Laki, Kesiagaan Petugas dan Literasi terkait Kegunungapian Penting untuk Mitigasi Bencana di NTT

Bekal-bekal pengetahuan yang tepat akan menurunkan risiko kepanikan warga ketika suatu gunung api meletus.

Floresa.co – Awal April pada sembilan tahun silam menandai pertemuan pertama saya dengan Surono. 

Ia saat itu menjabat kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, setelah sebelumnya menjabat kepala Pusat Vulkanologi, Mitigasi dan Bencana Geologi [PVMBG] di institusi yang sama.

Sementara saya sedang ditugasi tim editor di suatu kantor media di Jakarta untuk meliput dan menulis cerita mendalam menjelang peringatan 200 tahun erupsi Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.

Tambora meletus hebat pada April 1815. Erupsinya menimbulkan pelbagai dampak masif di nyaris seluruh negara sedunia, yang oleh warga di belahan barat Bumi kemudian diingat sebagai “tahun tanpa musim panas.”

Hari itu Surono mengajak saya bertemu langsung dalam ruang kerjanya. Saya tak langsung mengajukan pertanyaan terkait erupsi Tambora. 

Kami berdiskusi soal bentuk-bentuk muka bumi, termasuk kontur-kontur yang secara keilmuan disebut “gunung api.”

“Gunung api tak selalu berbentuk kerucut,” kata lulusan S2 dan S3 geofisika di Université Grenoble Alpes, suatu kampus di kaki Pegunungan Alpen, Perancis itu. “Bentuk apapun yang mampu mengeluarkan magma adalah gunung api,” katanya.

Di atas meja kerjanya tertumpuk kertas, yang diakui Surono “coretan sisa rapat mitigasi sepagian tadi.” Ia lalu mengambil beberapa lembar di antaranya, membalik halaman dan mulai menggambar pada sisi yang masih bersih dari coretan. 

Pada selembar kertas, ia menggambar proses terbentuknya suatu gunung api yang diawali dengan pembentukan lempeng benua dan lempeng samudra–dua material penyusun lapisan kerak Bumi.

Pada kertas yang lain, lelaki yang kini berusia 68 tahun itu menggambar lontaran material vulkanis dari suatu gunung api yang sedang aktif erupsi.

Kertas-kertas itu lalu saya bawa pulang. Sempat saya pandangi berkali-kali hingga tulisan mendalam tentang peringatan 200 tahun erupsi Tambora akhirnya terbit, sebelum saya potret dan mengirimkannya ke Surono sembari berterima kasih.

Kami tetap terhubung sesudahnya, terutama ketika mendengar kabar suatu gunung api erupsi besar dan memaksa warga sekitarnya mengungsi. 

Kini, sembilan tahun selepas pertemuan pertama di kantor Badan Geologi itu, kami kembali terkoneksi karena erupsi Lewotobi Laki-Laki.

Ia memang sudah purnatugas dari rangkaian jabatan “kepala,” tetapi tak pernah pensiun dari kegiatan mengajar. “Saya masih beri kuliah,” kata geolog itu pada pertengahan November. 

Bagi saya, setiap percakapan dengan Surono selama sembilan tahun terakhir turut mengingatkan pentingnya merawat keterhubungan dengan narasumber.

Saya jadi teringat pula perkataan Ahmad Arif, jurnalis Kompas sekaligus penulis buku Hidup Mati di Negeri Cincin Api [2012] pada beberapa tahun silam. Ia lah yang mempertemukan saya dengan Surono pada sembilan tahun silam.

“Narasumber,” kata Aik, sapaannya, “tak sekadar ‘tempat’ menggali informasi.” Dari keterhubungan yang baik dengan narasumber, “jurnalis senantiasa mendapat pelajaran baru dalam dunia yang terus berubah.”

“Bukankah menjadi jurnalis berarti pula berkehendak untuk terus belajar?,” kata Aik.

Berikut petikan wawancara dengan Surono terkait gunung-gunung api di Nusa Tenggara Timur, mitigasi yang sebaiknya dilakukan lembaga berwenang serta pengingat bagi warga yang hidup di kepulauan Cincin Api Pasifik.

Bagaimana proses pembentukan gunung-gunung api di kepulauan NTT?

Kepulauan Nusa Tenggara berada pada persimpangan tiga lempeng geologi. Masing-masing adalah lempeng Asia-Australia, lempeng Eurasia serta lempeng Pasifik. 

Lempeng-lempeng ini tersusun dari berbagai sedimen dengan ukuran partikel yang beragam. 

Puluhan juta tahun silam, lempeng-lempeng bergerak, mendekati satu sama lain, sebelum akhirnya bertumbukan. Tumbukan mengakibatkan salah satu lempeng menunjam. Daerah penunjaman itu membentuk palung dalam, menyusup ke dalam celah lempeng yang lain.

Pada saat yang sama, sebagian partikel penyusun lempeng itu meleleh. Lelehannya yang kita namai magma.

Berada pada batas tumbukan antarlempeng itu, puluhan gunung api akhirnya terbentuk dan bertumbuh di kepulauan Nusa Tenggara. Kini tercatat 25 gunung api yang masih aktif bertumbuh di NTT. Salah satunya Lewotobi Laki-Laki.

Apa yang dapat kita pelajari dari erupsi Lewotobi Laki-Laki pada November silam?

Lewotobi Laki-Laki erupsi pada lewat tengah malam. Tidak ada peringatan dini bagi warga, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. 

Mestinya hal itu dapat dicegah bila kita dapat memaksimalkan kesiagaan petugas, baik di pos pengamatan Lewotobi laki-Laki maupun PVMBG. 

Harus ada petugas yang piket memantau selama 24 jam sehari. 

Laporan peningkatan aktivitas vulkanis gunung api tak mengenal batas waktu. Hari raya keagamaan sekalipun mesti ada yang bertugas memantau ketika status suatu gunung api telah ditetapkan “Awas,” atau level tertinggi dari empat tingkatan.

Setiap data sebaiknya disampaikan ke masyarakat maksimal dua jam sesudah petugas menyerahkan laporan awal ke Kepala PVMBG. Data harus terus diperbarui dan bersifat terbuka, kecuali yang berpotensi menimbulkan multi tafsir dan menciptakan kepanikan. 

Ketika menjabat kepala PVMBG, saya nyaris tak pernah cuti. Hanya sekali, cuti selama enam hari ke Bali. 

Di tengah-tengah cuti, saya dipanggil atasan untuk mengurus peristiwa bencana di beberapa wilayah. Segera saya beli tiket pulang ke Jakarta. 

Setelah itu tidak pernah cuti lagi hingga purnatugas.

Tak lama sesudah Lewotobi Laki-Laki erupsi besar pada November, beberapa gunung api lain di Pulau Flores mencatatkan kenaikan aktivitas vulkanis yang mendorong pemerintah menaikkan statusnya. Beberapa orang kemudian mengaitkan kenaikan aktivitas vulkanis Lewotobi Laki-Laki yang disebut-sebut turut menular ke gunung-gunung api lain di sekitarnya. Benarkah demikian? 

Tidak betul. Berdasarkan catatan historis, setiap gunung api memiliki periode erupsinya masing-masing. 

Selain Lewotobi Laki-Laki, tahun ini beberapa gunung api di Flores mencatatkan aktivitas vulkanis karena memang pas periode erupsinya jatuh pada waktu-waktu ini. 

Dalam periode-periode tertentu, setiap gunung api memang butuh mengeluarkan magma. 

Erupsi merupakan bagian dari proses bertumbuh suatu gunung api. Kita tak bisa melawan itu. 

Saya pikir literasi tentang periode erupsi gunung api ini juga menjadi penting supaya warga yang hidup di sekitarnya tidak cepat panik. Apalagi, semakin kemari, masyarakat cenderung lebih cepat menerima informasi dari mulut ke mulut. 

Belum tentu yang menyampaikan informasinya telah lebih dulu mempelajari dan mengecek kebenarannya melalui situs resmi kegunungapian.

Berkaca dari mitigasi dalam peristiwa erupsi sejumlah gunung api di NTT, adakah yang menurut Anda masih memiliki ruang perbaikan?

Selain memaksimalkan kesiagaan petugas yang relevan, warga di sekitar gunung api juga mesti dibekali dengan literasi kegunungapian yang memadai. 

Bekal-bekal pengetahuan yang tepat akan menurunkan risiko kepanikan warga ketika suatu gunung api meletus.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA