Kekuatan Argumentasi Penolakan Geotermal Warga Flores Jauh Melampaui Narasi Energi Bersih 

Investasi baru di daerah yang berdampak luas bagi kehidupan masyarakat tidak bisa dipaksakan semudah menorehkan narasi keindahan konsep energi bersih di atas kertas pidato pejabat

Oleh: Ronny P Sasmita

Narasi pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah tentang transisi menuju energi bersih untuk meyakinkan masyarakat Flores yang menolak proyek geotermal tentu tak salah. 

Toh, geotermal memang salah satu sumber energi yang hari ini digadang-gadang sebagai sumber energi masa depan, yang  dianggap bersesuaian dengan zeitgest alias jiwa zaman kekinian. 

Namun, perkara penolakan masyarakat di Flores, seperti yang muncul di Poco Leok dan titik-titik proyek lainnya, sejauh pemahaman saya selama ini berurusan dengan berbagai konflik dan penolakan sosial, tak terkait dengan konsep ideal energi bersih, yang juga disebut baru terbarukan.

Kehadiran investasi baru di daerah, yang akan memakan lahan tidak sedikit, disertai penebangan hutan tentunya, penggunaan bahan kimia yang juga berpotensi mendatangkan efek samping terhadap kesehatan dan dan seterusnya, tidak bisa dipaksakan semudah menorehkan narasi keindahan konsep energi bersih di atas kertas pidato pejabat. 

Hal itulah yang kini kita saksikan dengan kencangnya perlawanan warga, termasuk kepada Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena yang tampak berusaha memaksakan proyek-proyek ini, sejalan dengan ambisi pemerintah di Jakarta. 

Soal polemik ini, kita bisa membuat analogi tentang pesawat yang mendarat di lintas pacu sebuah bandara.  Sebelum pesawat mendarat, segala sesuatu harus terlebih dahulu dinyatakan layak. Jika tidak, pesawat tidak akan pernah mendarat, kecuali kecelakaan.

Hal yang sama juga berlaku untuk investasi yang masuk ke daerah. PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN) sebagai investor dan pemerintah provinsi dan kabupaten sebagai penguasa kawasan dan “pemilik daerah” tidak bisa mendaratkan investor geotermal begitu saja di daerah, padahal landasan pacunya belum sesuai. 

Jikapun syarat-syarat formal dan potensialnya telah terpenuhi, toh landasan pacu dan bandaranya harus tetap dibangun terlebih dahulu. Dan, landasan pacu beserta bandaranya harus sesuai dengan tipe pesawat yang akan mendarat.

Dengan kata lain, untuk investasi energi bersih, yang di satu sisi masih terbilang sebagai konsep baru bagi publik negeri ini dan di sisi lain dengan modal yang terbilang tidak kecil, landasan pacunya haruslah benar-benar disiapkan secara matang. 

Hal yang perlu disiapkan tidak saja syarat formal dan potensial, seperti hasil studi cadangan geotermal, dampak lingkungan dan studi kelayakan bisnis. Hal yang juga wajib adalah hasil kajian kelayakan sosial, kajian kelayakan dari sisi keadilan ekonomi dan kajian kelayakan budaya. Prasyarat-prasyarat terakhir ini tak kalah penting dibanding dengan prasyarat formal dan potensial. 

Dengan logika komparatif pesawat tadi, syarat-syarat tersebut bahkan masuk ke dalam keberadaan “bandara” sebelum pesawat bisa mendarat. Studi kelayakan sosial sangat dibutuhkan untuk sebuah investasi di satu daerah untuk keberlanjutan jangka panjang.

Toh pembangkit listrik tenaga panas bumi di Flores akan beroperasi lama, mungkin melebihi umur warga yang saat ini menolak kehadiran proyek. Dengan demikian, akseptabiltas publik mutlak didapatkan terlebih dahulu. 

Dan catatan pentingnya, akseptabilitas tersebut tak bisa direkayasa begitu saja, misalnya dengan kampanye public relation ala pencitraan yang kerap digunakan oleh para politisi. 

Akseptabilitas sejatinya hadir dalam bentuk sense of belonging atau rasa memiliki yang muncul dalam diri masyarakat. Untuk sampai ke tahap itu, maka narasi energi bersih adalah narasi paling minimalis karena tidak akan membangun sense of belonging masyarakat. 

Logikanya, percuma menghadirkan energi bersih jika daerah dan kawasan seperti di Poco Leok rusak, nilai kultural lahannya disepelekan begitu saja, adat istiadatnya dilangkahi, harga diri masyarakatnya tak dianggap, bahkan bicara dari hati ke hati pun tak pernah dilakukan dan seterusnya. 

Dari sisi keadilan ekonomi pun demikian. Hitung-hitungan ekonomi harus dibuat antara pemilik proyek, pemerintah daerah dan masyarakat. 

Sudah tak terhitung banyaknya contoh kasus di dunia di mana terjadi “kutukan sumber daya” atau resources curse, istilah yang diperkenalkan oleh Ricahrd Auty pada tahun 1990an. 

Kita bisa menyaksikan fenomena itu dalam kasus tambang lithium di Amerika Latin seperti di Chili, emas dan permata di Afrika, minyak di Timur Tengah, nikel di Sulawesi, Cobalt di Congo. 

Di lokasi-lokasi tersebut, masyarakat sekitarnya justru menderita dengan tingkat kemiskinan tinggi. Sangat miris. Sumber daya alam di tanah mereka dikeruk, dengan narasi “potensi daerah, keunggulan daerah atau kebanggaan daerah” dan lainya, tapi taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat sekitar justru tak membaik.

Artinya, hitung-hitungan keadilan ekonomi ini juga harus dibicarakan dari hati ke hati dengan masyarakat setempat. 

Beberapa pertanyaan ini mesti mendapat jawaban yang pasti: Manfaat apa yang bisa mereka terima, seberapa besar peluang anak daerah bisa ikut berpartisipasi di dalam proyek, terutama sebagai tenaga kerja resmi? Seberapa besar UMKM lokal akan dilibatkan sebagai mitra proyek, mulai dari awal sampai proyek berjalan? Seberapa besar peran investor untuk ikut di dalam memajukan daerah ring 1, 2, 3, dan seterusnya? Seberapa besar investasi sosial perusahaan untuk memastikan bahwa kehadiran proyek tidak merusak stabilitas sosial terjaga? Seberapa besar investasi lingkungan perusahaan sejak awal proyek sampai proyek berjalan, jika operasi perusahaan berimbas lingkungan? Seberapa besar investasi sosial kesehatan perusahaan jika operasi perusahaan ternyata berimplikasi kepada kesehatan masyarakat? Dan seterusnya. 

Pertanyaan-pertanyaan ini sangat wajar. Toh tak berbeda dengan pertanyaan-pertanyaan yang melatari hadirnya studi kelayakan lingkungan seperti Analisis Mengenai Dampak 

Pun dari sisi kajian kelayakan budaya juga tak kalah pentingnya. Lahan, terutama di kampung-kampung, tidak saja sebagai faktor produksi, tapi juga sebagai manifestasi budaya dan nilai-nilai luhur yang eksis sejak ratusan, bahkan ribuan tahun lalu. 

Karena itu, kompatibilitas proyek dan nilai-nilai kultural yang melekat pada lahan juga harus dijamin bersesuaian. 

Pengalaman saya meneliti konflik lahan antara “peternak lepas” di Savana Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan perusahaan gula mengindikasikan hal tersebut secara jelas. 

Dua belas tahun lebih, sejak pertama kali perusahaan datang ke Dompu, ketegangan antara perusahaan dan komunitas peternak lepas di savana tak pernah selesai. 

Peternak menganggap lahan savana yang diberi konsensi untuk perkebunan tebu memiliki nilai budaya bagi masyarakat setempat. Walhasil, perkebunan tebu di lahan konsesi tak berjalan sampai tahun lalu karena diduduki dengan berbagai cara oleh ternak-ternak.  Pembiaran ternak yang dilepaskan di lahan konsesi menjadi simbol perlawanan warga Dompu.

Sejatinya, kondisi tersebut bisa diatasi dengan pendekatan dialogis interaktif secara berkelanjutan untuk mendapatkan poin-poin utama keberatan masyarakat, yang kemudian dirumuskan ke dalam kebijakan perusahaan maupun kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah. 

Bahkan, akan lebih baik melibatkan kalangan profesional yang sudah berpengalaman dalam masalah sosial semacam ini. Pihak yang dilibatkan adalah mereka yang  memahami situasi sehingga bisa lahir rekomendasi penyikapan dan rekomendasi kebijakan yang benar-benar berkorelasi dengan fakta yang ada di lapangan. Upaya mencari jalan keluar tidak bisa muncul dari asumsi-asumsi umum dan sebelah pihak dari tim khusus atau sejenisnya yang diklaim telah melakukan kajian lapangan.  

Sayangnya, perasaan apriori dari kekuasaan dan korporat atas fakta yang ada di lapangan membuat bahasa “kekuasaan” menjadi pilihan utama yang selalu digunakan. Padahal, pendekatan dan bahasa kekuasaan telah terbukti menjadi salah satu masalah baru di dalam relasi konfliktual yang sudah ada. 

Perkara pertama tentu berasal dari persepsi dan sikap perusahaan maupun pemerintah bahwa segala sesuatunya bisa diselesaikan dengan bahasa “kekuasaan,” boleh jadi di dalamnya termasuk “uang”  alias kekuasaan dalam bentuk lain. 

Dan, nyatanya yang terjadi tak demikian,  justru sebaliknya. Dalam kasus di Dompu, dari hari ke hari masyarakat setempat justru semakin tidak suka, bahkan semakin dendam, perasaan yang sewaktu-waktu bisa meledak dalam bentuk yang bisa destruktif. 

Pendeknya, urusan narasi energi bersih, narasi kebanggaan masyarakat dan kebanggaan daerah, serta narasi persuasif-manipulatif lainya yang digunakan oleh korporat dan kekuasaan pada kasus geotermal di Floress adalah hanya satu hal dari banyak hal lainya yang harus jadi fokus perhatian penguasa maupun korporat. 

Geotermal memang adalah salah satu dari berbagai pilihan energi bersih dan agenda transisi dari energi fosil. Namun, penolakan masyarakat jauh melampau narasi energi bersih tersebut. 

Karena itu, bukan masyarakat yang harus belajar banyak tentang energi bersih, tapi korporat dan penguasa daerah lah yang harus belajar lebih banyak dan lebih mendalam lagi tentang masyarakatnya.

Ronny P Sasmita adalah Analis Senior dan Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI)

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING