Dinilai Lebih Relevan Bagi Kaum Muda, Mahasiswa di Yogyakarta Dorong Kampanye Kesetaraan Gender Lewat Media Sosial

Media sosial bisa menjadi ruang produksi narasi-narasi perlawanan terhadap budaya patriarki

Floresa.co – Di tengah masifnya penggunaan media sosial saat ini, termasuk di kalangan kaum muda, platform tersebut bisa dimanfaatkan untuk kampanye isu kesetaraan gender.

Penggunaan media sosial dalam gerakan perempuan, menurut Rindi Astika Yuliana, Ketua Himpunan Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) ‘APMD’  Yogyakarta, mensyaratkan pembaharuan, modifikasi, sambil tetap adaptif dengan perkembangan zaman, tanpa menghilangkan substansi.

Substansi gerakan itu, kata dia, berbasis pada semangat visioner dan revolusioner seperti yang sudah dimulai sejak zaman Raden Ajeng Kartini. 

Ia berkata, membentuk persepsi dan mengampanyekan kesetaraan gender harus konsisten, berkelanjutan, tekun pada proses, bukan dengan sikap instan.

Kampanye itu, katanya dalam diskusi bertajuk “Media Sosial dan Reaktualisasi Gerakan Perempuan” pada 9 Agustus, dilakukan dengan memproduksi konten berkualitas yang dikemas dengan semenarik mungkin.

Konten demikian bisa disebarluaskan di akun organisasi maupun pribadi sehingga meningkatkan jumlah penonton.

Ia berkata, perempuan bisa melakukannya dengan membuat konten-konten yang sederhana, dekat dan relevan dengan kehidupan mereka.

“Misalnya konten yang menjelaskan kalau perempuan sedang dalam masa menstruasi dan terjadi gangguan hormon sehingga emosi tidak stabil. Dengan begitu, laki-laki yang menonton konten itu bisa paham dan lebih peka dan pengertian dengan kondisi perempuan,” katanya dalam diskusi daring yang diinisiasi Dewan Pimpinan Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPK-GMNI) STPMD ‘APMD.’ 

Tanggung Jawab Pengguna Media Sosial

Rindi mengingatkan satu hal penting yang tidak boleh diabaikan oleh setiap aktor/pengguna media sosial adalah soal tanggung jawab. 

“Jangan sampai hanya karena mengejar uang di media sosial, kita mengunggah konten-konten yang menyesatkan,” katanya. 

“Media sosial harus dapat memanusiakan manusia dengan mengubah pola kebiasaan dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi yang lebih mendidik dan mencerdaskan orang lain,” tambahnya.

Vansianus Masir, Ketua DPK GMNI STPMD ‘APMD’ berkata, media sosial menjadi platform yang kuat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu gender.

Namun, kata dia, media sosial bagai pedang bermata dua, yang bila digunakan secara arif dan bijaksana bisa menajamkan pikiran, memperhalus perasaan dan meneguhkan hati. 

Di sisi lain, katanya, bila digunakan secara sembrono tanpa orientasi yang jelas, media sosial dapat menjerumuskan penggunanya ke dalam jurang kehancuran dan krisis eksistensial akut.

“Membanjirnya informasi serta tontonan di media sosial hari-hari ini membuat generasi muda sering membandingkan diri dengan apa yang dipertontonkan di jagat maya sehingga mengalami kebingungan, depresi, keputusasaan, merasa rendah diri, tidak berharga dan bahkan tidak sedikit yang berujung bunuh diri,” katanya.

“Dampak lainnya yakni terbentuknya mental instan, pragmatis, individualis dan konsumtif,” tambahnya. 

Menurutnya, konten-konten di media sosial juga akan lebih banyak diisi dengan hal-hal sensasional, ketimbang sesuatu yang edukatif untuk mempromosikan kesetaraan gender.

Maria Sertiana Naus, salah satu peserta diskusi berkata, saat ini media sosial bisa jadi senjata ampuh untuk mendorong gerakan perempuan. 

Kalau dipakai secara konsisten, kata dia, media sosial dapat membuat isu kesetaraan gender tersebar cepat dan membuat banyak orang peduli, menekan pihak berwenang dan membawa perubahan nyata. 

Lewat media sosial, katanya, gerakan perempuan juga bisa lebih kreatif dan relevan dengan bahasa kaum muda. 

“Misalnya lewat video pendek atau kampanye yang gampang diikuti. Ini bisa bikin pesan lebih mudah diterima dan tidak terkesan kaku serta formal,” katanya.

Maria berkata, media sosial bukan hanya alat komunikasi, melainkan juga wadah solidaritas dan pemberdayaan yang bisa sampai ke siapa saja dan di mana saja. 

Dengan kekuatan ini, kata dia, publik dapat memahami dengan baik kesetaraan gender seraya mendorong perubahan sosial.

Hairunia Regita Putri, peserta lainnya berkata, media sosial hari ini telah menjadi semacam ruang publik digital yang tidak hanya memberi suara kepada yang sebelumnya terpinggirkan, tetapi juga membangun jejaring solidaritas lintas batas. 

Dalam konteks perjuangan hak perempuan dan kampanye kesetaraan gender, kata dia, platform ini ibarat panggung global yang terbuka, di mana narasi-narasi perlawanan dan penguatan dapat diproduksi, dibagikan dan dikonsolidasikan secara masif.

Namun, ia mengingatkan bahwa kekuatan ini harus diimbangi dengan literasi digital yang kritis, strategi komunikasi yang terencana dan komitmen untuk menghubungkan gerakan daring dengan langkah-langkah nyata di dunia nyata.

“Dengan begitu, perjuangan yang kita gaungkan tidak sekadar menjadi gema di ruang maya, tetapi menjelma menjadi perubahan yang berkesinambungan di masyarakat,” katanya. 

Laporan ini ditulis Meynovianti Nauw, Wakil Komisaris Bidang Kesarinahan DPK-GMNI STPMD ‘APMD’ Yogyakarta

Editor: Herry Kabut

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA