Oleh: Elisabeth Irma Novianti Davidi
Tahun Ajaran 2025/2026 di sekolah-sekolah kita sebentar lagi akan dimulai. Di tengah momentum yang seharusnya bernafas transformatif itu, praktik-praktik kuno seperti kebijakan mengulang kelas dan pemindahan siswa secara sepihak masih menjadi masalah kronis di banyak sekolah.
Kebijakan-kebijakan kontroversial ini tidak hanya merugikan perkembangan akademik siswa, tetapi juga bertentangan secara fundamental dengan kebutuhan pengembangan kecakapan hidup (life skills) abad ke-21, seperti daya lentur mental (resilience), kreativitas, kolaborasi dan kemampuan beradaptasi. Ini adalah kompetensi-kompetensi kunci di era disrupsi teknologi dan ketidakpastian global yang semakin kompleks.
Tulisan ini mengajak kita berpikir kritis di awal tahun ajaran sekolah, dengan mengajak seluruh pemangku kepentingan pendidikan untuk berefleksi mendalam tentang keselarasan praktik pendidikan kita dengan tuntutan zaman, terutama dalam konteks implementasi Kurikulum Merdeka yang mengusung semangat pembelajaran mendalam (deep learning) dan merdeka belajar.
Ana Lorena Fábrega dalam bukunya The Learning Game (2024) secara tajam mengkritik sistem pendidikan tradisional yang terlalu berfokus pada “hukuman” ketimbang pemahaman, menciptakan apa yang ia sebut sebagai “permainan kegagalan” yang justru menghambat pengembangan potensi sejati peserta didik.
Konsep tentang butterfly effect menjadi semakin relevan dalam konteks ini, bahwa setiap keputusan sepihak sekolah untuk mengulang kelas atau memindahkan siswa bukan sekadar urusan administratif semata, melainkan bentuk investasi (atau lebih tepatnya dis-investasi) terhadap masa depan sumber daya manusia Indonesia. Butterfly effect atau efek kupu-kupu sederhananya merujuk pada kekacauan kecil di suatu tempat yang berdampak pada kekacauan yang lebih besar di tempat lain dan di masa depan.
Di tengah gelombang revolusi industri 4.0 menuju era digitalisasi 5.0, di mana pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan menjadi prioritas, sistem pendidikan kita seharusnya berfokus pada pembangunan pola pikir berkembang (growth mindset) dan kemampuan belajar sepanjang hayat (lifelong learning), bukan sekadar memenuhi standar kognitif usang yang sudah tidak relevan.
Ironi Merdeka Belajar
Kurikulum Merdeka yang digadang-gadang sebagai terobosan pendidikan abad 21 seharusnya menggeser paradigma evaluasi dari yang semula berorientasi pada hasil (outcome-based) menuju pemahaman terhadap proses belajar (process-oriented learning).
Namun ironisnya, praktik ulang kelas dan pemindahan siswa secara sepihak justru mengabadikan sistem peringkat (ranking) dan stigmatisasi yang bertentangan secara diametral dengan filosofi deep learning – sebuah konsep pembelajaran yang menekankan pemahaman mendalam melalui pengalaman otentik, pembelajaran berbasis masalah dan refleksi kritis.
Dari sudut pandang pedagogis kontemporer, kebijakan-kebijakan evaluasi semacam ini merupakan warisan dari sistem behavioristik yang sudah usang dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan teori pembelajaran mutakhir.
Penelitian longitudinal yang dilakukan di Finlandia (2022) mengungkap temuan mencengangkan bahwa siswa yang mengalami pengulangan kelas di masa pendidikan dasar cenderung memiliki growth mindset yang lebih rendah dan kemampuan beradaptasi yang lebih lemah ketika mereka memasuki usia dewasa: dua kompetensi kunci yang justru paling dibutuhkan di dunia kerja modern yang penuh ketidakpastian.
Temuan ini sejalan dengan kritik Fábrega yang menegaskan bahwa pendidikan seharusnya berfungsi sebagai “simulator kehidupan” yang melatih elastic thinking (kemampuan berpikir fleksibel) dan pemecahan masalah kompleks, bukan menjadi “penjara” yang membatasi imajinasi dan kreativitas melalui standarisasi berlebihan.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka, ketidakselarasan antara filosofi progresif kurikulum dengan praktik evaluasi yang masih konservatif ini menciptakan disonansi kognitif di kalangan pendidik dan peserta didik.
Dilema antara Idealisme Pedagogis dan Realitas Lapangan
Pada praktiknya, para praktisi pendidikan seringkali terjebak dalam dilema yang kompleks antara memegang teguh idealisme pedagogis dan menghadapi realitas sistemik yang ada.
Sebagai contoh, salah satu kepala sekolah berpengalaman 20 tahun di Jakarta mengakui bahwa dampak psikologis negatif dari kebijakan mengulang kelas memang telah disadari sepenuhnya oleh kalangan pendidik.
Namun, katanya, muncul kekhawatiran mendalam ketika menghadapi situasi di mana seorang siswa ternyata belum menguasai kompetensi dasar yang menjadi prasyarat kenaikan kelas.
Dalam kondisi seperti ini, mempromosikan siswa tersebut ke tingkat berikutnya tanpa memberikan intervensi khusus dianggapnya sebagai langkah yang patut dipertanyakan pertanggungjawabannya.
Beberapa sekolah progresif di Bandung dan Jakarta telah mulai menerapkan alternatif-alternatif evaluasi yang lebih manusiawi dan efektif. Sekolah-sekolah tersebut mengembangkan program Learning Recovery yang revolusioner, mengganti sistem mengulang kelas tradisional dengan pendekatan berbasis proyek (project-based learning), sistem mentoring sebaya (peer mentoring) dan penilaian autentik melalui portofolio.
Hasilnya sungguh menggembirakan. Dalam kurun tiga tahun terakhir, sekolah-sekolah tersebut berhasil menurunkan angka pengulangan kelas hingga 85 persen, sekaligus secara signifikan meningkatkan keterampilan kolaborasi, kreativitas dan pemecahan masalah kompleks pada peserta didik.
Namun demikian, implementasi model-model evaluasi alternatif semacam ini masih menghadapi banyak tantangan struktural.
Salah satu guru Matematika di Surabaya mengungkapkan tantangan yang dihadapi dalam menerapkan sistem penilaian alternatif. Menurutnya, meskipun pihak sekolah telah berupaya mengimplementasikan asesmen formatif dan metode penilaian berbasis portofolio, justru sering muncul penolakan dari orang tua siswa.
Para orang tua tersebut kerap mempertanyakan mengapa anak-anak mereka tidak lagi menerima nilai konvensional seperti yang biasa diberikan. Menurut pengamatan guru tersebut, hal ini menunjukkan betapa kuatnya ekspektasi masyarakat terhadap sistem penilaian pendidikan tradisional yang sudah mengakar selama bertahun-tahun.
Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan pemahaman yang lebar antara kebijakan kurikulum progresif dengan ekspektasi masyarakat yang masih terbelenggu paradigma pendidikan konvensional – sebuah tantangan yang membutuhkan upaya sosialisasi dan edukasi yang masif dan berkelanjutan.
Dampak Psikososial dan Penguatan Ketimpangan Pendidikan
Dari sudut pandang orang tua dan masyarakat luas, kebijakan mengulang kelas dan pemindahan siswa seringkali meninggalkan luka psikologis yang dalam dan stigma yang bertahan lama.
Ibu Lina, salah satu orang tua siswa yang anaknya dipindahkan ke sekolah lain karena alasan kedisiplinan menceritakan pengalaman pilu yang dialami anaknya. Dengan suara yang terdengar sedih, ia menggambarkan bagaimana anaknya yang sebelumnya dikenal sebagai sosok yang ceria dan percaya diri berubah menjadi pendiam dan kerap terlihat murung.
Perasaan bahwa dirinya dianggap sebagai “anak nakal” yang telah ditolak oleh sekolah maupun teman-temannya terus menghantui pikiran sang anak.
Kasus-kasus seperti ini secara jelas menunjukkan bagaimana kebijakan sekolah yang tampaknya bersifat administratif belaka ternyata memberikan dampak emosional yang mendalam terhadap perkembangan kepribadian dan konsep diri seorang anak.
Yang lebih memprihatinkan, tidak jarang keputusan untuk memindahkan atau membuat siswa mengulang kelas justru menjadi alat yang memperlebar kesenjangan pendidikan yang sudah ada.
Sebuah kasus yang terjadi di Bekasi menguak realitas pahit di mana seorang siswa dari keluarga kurang mampu terpaksa dipindahkan ke sekolah yang lebih jauh dan berkualitas lebih rendah setelah orang tuanya tidak mampu memenuhi permintaan “sumbangan sukarela” yang jumlahnya cukup besar.
Sementara itu, siswa dari keluarga yang lebih mapan seringkali memiliki akses ke sumber daya tambahan seperti bimbingan belajar privat atau dukungan keluarga yang memungkinkan mereka menghindari kebijakan mengulang kelas.
Fenomena ini secara tepat digambarkan oleh Fábrega sebagai “inequality machine” dalam sistem pendidikan – sebuah sistem yang seharusnya berfungsi sebagai mesin mobilitas sosial justru seringkali menjadi alat yang memperkuat dan mereproduksi ketimpangan yang sudah ada.
Butterfly effect menemukan relevansi yang nyata dalam konteks ini. Seorang siswa yang dikeluarkan dari sistem pendidikan formal memiliki risiko mengalami learning loss yang permanen, yang pada gilirannya akan sangat membatasi peluangnya di pasar kerja masa depan yang semakin menuntut keterampilan-keterampilan kompleks.
Padahal, Kurikulum Merdeka dengan pendekatan deep learning-nya justru dirancang khusus untuk mengembangkan kompetensi-kompetensi abad 21 tersebut melalui tiga pilar utama: pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) yang kontekstual, refleksi kritis terhadap proses belajar serta penilaian autentik melalui portofolio yang menangkap perkembangan holistik peserta didik.
Rekomendasi Strategis untuk Sistem Evaluasi yang Relevan
Berdasarkan analisis terhadap berbagai perspektif di atas, berikut adalah beberapa tawaran rekomendasi strategis untuk menciptakan sistem evaluasi yang lebih adil, manusiawi dan relevan dengan kebutuhan abad 21.
Pertama, perlu reformasi kebijakan evaluasi secara nasional yang komprehensif. Sistem mengulang kelas konvensional harus diganti dengan program remedial yang berbasis pada prinsip-prinsip deep learning, di mana siswa yang mengalami kesulitan belajar mendapatkan pendampingan intensif dan pembelajaran yang disesuaikan (differentiated instruction).
Indikator-indikator kecakapan hidup seperti kolaborasi, kreativitas dan pemecahan masalah harus diintegrasikan dalam sistem evaluasi, sementara kebijakan pemindahan siswa harus melalui proses konseling yang mendalam dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait.
Kedua, penguatan kapasitas pendidik harus menjadi prioritas utama. Guru-guru membutuhkan pelatihan intensif tentang teknik asesmen formatif dan pembelajaran diferensiasi yang sesuai dengan semangat Kurikulum Merdeka.
Pembentukan komunitas praktik (community of practice) di tingkat sekolah maupun wilayah dapat menjadi wadah untuk berbagi inovasi dan praktik terbaik dalam evaluasi pembelajaran. Yang tidak kalah penting adalah beban administratif guru harus dikurangi secara signifikan agar mereka dapat fokus pada pengembangan pembelajaran yang berkualitas.
Ketiga, keterlibatan semua pemangku kepentingan (multi-stakeholder engagement) mutlak diperlukan. Implementasi Kurikulum Merdeka terintegrasi deep learning dan sistem evaluasi baru harus menjangkau orang tua melalui parenting workshop dan media yang mudah diakses.
Kemitraan strategis dengan dunia kerja perlu dibangun untuk memastikan keselarasan antara kompetensi yang dikembangkan di sekolah dengan kebutuhan yang nyata. Salah satu hal penting adalah siswa sebagai subjek pembelajaran yang otonom harus dilibatkan secara aktif dalam proses evaluasi.
Keempat, penelitian dan pengembangan sistem evaluasi harus dilakukan secara berkelanjutan. Studi longitudinal tentang dampak berbagai model evaluasi perlu digalakkan untuk memberikan landasan empiris yang kuat bagi pengambilan kebijakan. Pengembangan model-model learning recovery yang berbasis bukti (evidence-based) dan sesuai dengan konteks Indonesia harus menjadi prioritas dalam agenda penelitian pendidikan nasional.
Seperti dikatakan Fábrega dengan penuh keyakinan, “pendidikan seharusnya mempersiapkan anak-anak untuk permainan kehidupan yang sebenarnya, bukan sekadar permainan sekolah yang semu.” Di tengah ancaman resesi global dan disrupsi teknologi yang semakin cepat, Indonesia tidak bisa lagi membuang-buang potensi sumber daya manusianya melalui kebijakan pendidikan yang kontraproduktif.
Setiap kepakan sayap kupu-kupu kebijakan pendidikan hari ini akan menentukan apakah kita akan menuai badai keterpurukan atau justru menikmati angin segar kemajuan di masa depan.
Tahun ajaran baru ini harus menjadi momentum bagi kita semua untuk memilih jalan alternatif yang lebih adil bagi semua. Seperti halnya imajinasi Fábrega tidak bermaksud menyuruh kita ‘membakar’ kurikulum, namun hanya ingin kita berhenti sejenak, melihat anak-anak di depan kita dan bertanya: “apakah mereka masih menikmati proses belajar atau hanya sedang bertahan?”
Di dunia yang makin cepat dan penuh algoritma, yang akan bertahan bukan yang paling cerdas, tetapi yang paling ingin tahu. Fabrega mengingatkan bahwa “Tugas pendidikan bukan mencetak anak-anak yang seragam dan ‘selesai’, tetapi anak-anak yang lentur, yang tahu cara bertanya, berpikir, dan tetap ingin belajar, bahkan saat jawaban belum tersedia. Pendidikan terbaik adalah menyiapkan anak untuk dunia yang tak pasti.”
Elisabeth Irma Novianti Davidi adalah dosen Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Unika St. Paulus Ruteng, kini tengah menempuh studi doktoral di Universitas Negeri Yogyakarta
Editor: Anno Susabun