Gubernur NTT Usul Buka Unit Pelaksana Teknis dan SMK Energi Baru Terbarukan; Bagaimana Respons Warga Lingkar Proyek Geotermal?

Laka Lena mengusulkan dua program itu ke Kementerian ESDM yang diklaim bagian dari agenda menuju kemandirian energi baru dan terbarukan di NTT

Floresa.co Warga di Pulau Flores dan Lembata merespons kritis rencana Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena yang demi meloloskan proyek geotermal mengusulkan pembangunan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang fokus pada energi baru terbarukan.

Ia mengklaim hal itu bertujuan memperkuat dan memperdalam sosialisasi tentang pentingnya kemandirian energi baru terbarukan di NTT.

Antonius “Tony” Anu, warga Desa Radabata, Kecamatan Golewa Kabupaten Ngada berkata, rencana itu “hanya akal-akalan,” bagian dari strategi untuk meloloskan proyek geotermal di tengah resistensi warga.

“Sejak tahun 2000-an awal saat proyek masuk di Mataloko, warga dijanjikan hal serupa. Bunyi janji itu, anak-anak mereka akan mendapat beasiswa untuk belajar khusus ilmu geologi,” kata Tony kepada Floresa pada 29 Juli.

Anak-anak Kampung Turetogo, Desa Wogo, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada berdiri di dekat sebuah lubang yang terus menyemburkan lumpur dan uap panas. Lubang yang berada di lahan warga itu muncul setelah kegagalan pengeboran PLTP Mataloko. Dulunya berupa sawah, lahan ini tidak lagi dimanfaatkan. (Dokumentasi Floresa)

Andreas Baha Ledjap, ketua Forum Komunikasi Pemuda Atakore di Lembata, berkata, usulan itu “memperlihatkan nafsu Laka Lena meloloskan proyek geotermal Atadei di tengah semakin masifnya penolakan warga dan gereja.”

“Kelihatan sekali orang kementerian dan pemerintah provinsi memiliki pemikiran yang sama bahwa masyarakat di Flores belum paham apa itu geotermal dan dampaknya. Mereka salah jika menilai demikian,” kata Andre kepada Floresa pada 29 Juli.

Laka Lena menyampaikan usulannya kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat bertemu dengan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Eniya Listiani Dewi di Jakarta pada 28 Juli.

“Kita ingin masyarakat kita dididik sejak muda untuk paham kemandirian energi, energi hijau dan transformasi energi yang sedang dilakukan oleh hampir semua negara di dunia,” ujarnya seperti dilansir dalam keterangan pers Kementerian ESDM.

Eniya menyambut usulan Laka Lena dengan menyebut, “ini ide yang brilian dari seorang kepala daerah.”

Ia mengklaim akan bekerja sama dengan para pengembang energi baru terbarukan yang beroperasi di Flores “untuk terlibat aktif dalam proses sosialisasi dan edukasi publik tentang pentingnya kemandirian energi ini.”

“Untuk memprioritaskan program ini, Kementerian ESDM akan melibatkan pusat strategi kebijakan,” kata Eniya.

Direktur Panas Bumi Energi Baru Terbarukan, Gigih Udi Utomo menambahkan, “program sosialisasi dan edukasi energi baru terbarukan di Flores akan melibatkan tiga universitas, yaitu Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia.” 

“Usulan Gubernur NTT sejalan dengan tagline kami: Dari Flores, untuk Flores. Pada gilirannya nanti, putera-puteri daerah yang telah terampil dan terdidik bisa mengisi pos-pos penting pada proyek pengembangan energi baru terbarukan di NTT,” katanya.

Andre dari Lembata berkata, gagasan itu menyerupai rekomendasi tim Satgas Geotermal bentukan Laka Lena yang menyederhanakan penolakan warga karena dianggap tidak paham dengan energi baru dan terbarukan atau karena dianggap butuh diberikan sesuatu.

“Satgas misalnya menyatakan pihak yang kontra harus didekati dan diberikan dana Corporate Social Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan.”

Selain itu, kata dia, perusahaan juga “menjanjikan berbagai macam beasiswa yang menggiurkan.”

“Kami menduga rencana ini sebagai upaya sogok dan pembohongan publik untuk mengelabui warga penolak,” katanya.

Ia berkata, warga tidak menolak energi baru terbarukan, tetapi yang “menghormati dan menghargai ruang hidup kami dengan segala adat dan budaya kami yang sudah ada sejak dahulu kala.” 

“Saat ini warga NTT membutuhkan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan dengan bersumber dari pemanfaatan energi matahari, arus atau ombak laut dan udara atau angin. Energi baru terbarukan ini mudah diperoleh dan dikembangkan di NTT,” kata Andre.

Karena itu, kata dia, “pemerintahan Laka Lena jangan ngotot untuk mengoperasikan proyek geotermal.”

Senada dengan Andre, Tony dari Mataloko menyebut “kemandirian energi harus berangkat dari kemandirian warga sendiri dan tidak boleh mengabaikan lingkungan.”

Warga yang menolak yang didominasi umat Katolik, kata dia, “percaya ruang hidup, budaya, dan masa depan tidak bisa saling terpisahkan.”

“Kami meyakini hidup, budaya dan masa depan sebagai satu kesatuan yang utuh. Penolakan kami jelas, karena berangkat dari kegelisahan tentang ancaman hilangnya ruang hidup kami,” katanya.

Karena itu, Tony berharap sebagai orang Katolik yang juga dibesarkan dari organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia , “Laka Lena mestinya lebih bijak mendengar masukan dari para pimpinan gereja dan umat.”

Romo Reginald Piperno, Ketua Komisi Justice Peace and Integrity of Creation atau JPIC Keuskupan Agung Ende berkata, ia tak menampik bahwa  Flores dan Lembata ditetapkan sebagai daerah energi terbarukan, namun “khusus untuk geotermal bukanlah solusi yang tepat.”

“Penolakan geotermal di Flores tidak boleh direduksi karena keterbatasan pengetahuan dan kegagalan teknologi,” jelasnya. 

Romo Reginald Piperno, Ketua JPIC Keuskupan Agung Ende. (Dokumentasi Pribadi)

Ia berkata, penolakan muncul karena “kehadiran proyek ini justru telah merusak bahkan menghancurkan tatanan sosial dan budaya masyarakat lokal,” seperti halnya yang telah terjadi di Mataloko.

“Gubernur tidak boleh melihat persoalan geotermal Flores dan Lembata secara sederhana. Satu jam berada di lokasi, tidak bisa digeneralisasi bahwa proyek itu baik-baik saja,” kata Romo Perno kepada Floresa pada 29 Juli, menyinggung soal kunjungan Laka Lena ke beberapa titik proyek bulan ini.

Ia menyebut, “Flores dan Lembata adalah pulau kecil dengan topografinya yang berbukit-bukit dan menyisakan sedikit lahan untuk pertanian dan pemukiman penduduk.” 

“Lokasi geotermal ini berada di lahan pertanian yang subur, sementara masyarakat Flores dan Lembata mayoritasnya petani, bukan pegawai pertambangan.” 

“Lahan petani yang subur itu justru dapat menghidupi, hingga menyekolahkan anak sampai sarjana,” tambahnya.

Ia berkata, “pertanian menjadi salah satu unsur yang membentuk budaya di mana terdapat upacara adat yang selalu dihubungkan dengan hasil panen dan syukuran.”

“Jika proyek geotermal dipaksakan, bisa dipastikan merusak dan menghilangkan ritus-ritus budaya yang selama ini dijaga dan dijunjung tinggi,” kata Rom Perno. 

Romo Firminus Dai Koban, Imam Keuskupan Larantuka yang gencar bersama warga Desa Atakore menolak proyek geotermal di Atadei menyebut rencana Laka Lena “melampaui nalar waras.”

“Wajar kalau banyak yang menolak gagasan itu, sebab konsep energi baru terbarukan semata-semata tentang geotermal yang daya rusaknya telah diketahui warga,” katanya.

Romo Firminus Dai Koban, imam Katolik Keuskupan Larantuka saat diwawancarai Floresa pada 25 Juli 2025. (Dokumentasi Floresa)

Ia berkata, membuka sekolah dan jurusan yang fokus membahas energi baru terbarukan bukanlah solusi mengatasi persoalan penolakan proyek geotermal,” katanya.

Mestinya, kata dia, mahasiswa bisa pergi magang di negara-negara maju. 

“Tujuannya, bisa buat mesin, kincir angin, mesin tenaga surya dan mesin pertanian untuk petani miskin yang saat ini menggunakan fasilitas apa adanya,” kata Romo Firmin.

Ia menambahkan, dengan berbagai strategi meloloskan proyek geotermal di Flores dan Lembata, kesannya peran Laka Lena sebagai kepala daerah hanya untuk melayani kekuasan yang lebih tinggi.

“Ia seperti sedang diperalat untuk menjajah NTT,” tambahnya.

Pemerintah pusat menargetkan pembangunan proyek geotermal di sejumlah titik di daratan Flores dan Lembata.

Salah satunya berlokasi di Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata. Penetapan proyek itu berdasarkan keputusan Kementerian ESDM Nomor 2966/K/30/MEM/2008 dan dikerjakan PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN).

Izin prinsipnya oleh dari Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur terbit pada 27 November 2020 dengan luas lahan mencapai 31.200 hektare, mencakup tiga desa-Atakore, Nubahaeraka dan Ile Kimok. 

Ditargetkan menghasilkan 10 megawatt, pembangkit listrik direncanakan mulai beroperasi pada 2027.

Sementara PLTP Mataloko yang dibangun di atas lahan 210.700 meter persegi dan menargetkan energi listrik sebesar 2×10 megawatt.

Lokasinya berada di Kecamatan Golewa, sekitar 15 kilometer arah timur dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada.

Selain itu, lokasi proyek lainnya adalah di Nage, Kabupaten Ngada; Poco Leok, Kabupaten Manggarai dan Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat.

Editor: Petrus Dabu

Solidaritas untuk Kawan Kami, Mikael Jonaldi

Jonal, salah satu jurnalis Floresa, sedang butuh biaya untuk operasi jantung. Kami mengharapkan solidaritas kawan-kawan untuk ikut membantu Jonal

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA