Pemuda di Lembata Bentuk Forum Merespons Polemik Geotermal, Fokus pada Konsolidasi dan Diseminasi Pengetahuan Soal Dampak Proyek

Mereka menuntut PT PLN menjelaskan secara rinci soal dampak proyek, guna menjawab keresahan warga

Floresa.co – Pemuda di Kabupaten Lembata, NTT berinisiatif membentuk sebuah forum komunikasi merespon polemik proyek geotermal Atadei.

Forum Komunikasi Pemuda Atakore itu yang telah dideklarasikan pada 10 September fokus pada konsolidasi gerakan dan upaya diseminasi pengetahuan tentang dampak proyek yang kini masuk tahap “identifikasi lahan dan tumbuhan.”

Aprilius Roby. A. Dolet Huar, salah satu anggota forum berkata, pembentukannya atas inisiasi pemuda dan warga Desa Atakore, Kecamatan Atadei, yang menjadi lokasi proyek itu.

Warga Atakore di perantauan juga menjadi bagian dari forum itu yang akan “rutin memantau perkembangan kegiatan PT PLN di Desa Atakore.”

Roby menjelaskan, pembentukan forum menanggapi seruan bersama yang terus digaungkan warga Atakore dan para pemuda yang tinggal di perantauan untuk menolak proyek geotermal.. 

“Pembentukan forum ini bertujuan menampung semua aspirasi warga Atakore, juga mereka yang berada di luar Pulau Lembata,” katanya kepada Floresa.

Forum ini bersifat formal dan memiliki struktur, “mencakup penasihat yang berperan membantu para pemuda dengan memberi masukan terhadap kegiatan mereka,” katanya.

Anggota forum telah melakukan aktivitas pertama pada 11 September, berupa pemasangan baliho penolakan proyek di jalan masuk menuju Kampung Watuwawer, Desa Atakore dan area rumah warga.

Dalam baliho berukuran 2×3 meter itu, mereka menulis: STOP Kegiatan PLTP; Stop tipu-tipu, Stop Janji-Janji Palsu, Stop Propaganda di masyarakat.

Sementara dalam orasi, salah satu anggota forum itu menyatakan “menginginkan Desa Atakore tetap indah dan nyaman,” menolaknya menjadi lokasi proyek “di atas puing-puing kerusakan.”

Kegiatan ini, “diketahui warga Atakore dan didukung kepala Desa Atakore, Yoakim Wati Ladjar,” kata Roby. 

Kepala desa, katanya, hanya berpesan agar “aktivitas itu tidak menimbulkan konflik dan keributan.”

Roby mengingatkan PT PLN mesti mendengarkan “aspirasi warga Desa Atakore yang disepakati pada seminar budaya pada 9 Agustus dan sosialisasi pada 24 Agustus.”

Warga, katanya, meminta PT PLN untuk menjelaskan rinci dan secara runut “dampak langsung dari aktivitas geotermal.”

“Pada penjelasan kali lalu, belum semua terjawab oleh dua ahli yang didatangkan saat sosialisasi pada 24 Agustus,” katanya.

Dua ahli itu adalah M. Ali Ashat, dosen teknologi geotermal di Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat dan dan Gregorius Ladjar yang bekerja sebagai ahli geotermal di Pusat Listrik Panas Bumi (PLTP) Kamojang, Jawa Barat.

Roby misalnya menyinggung 20 pertanyaan yang diajukan Andreas Baha Ledjap, salah satu pemuda Atakore saat sosialisasi pada 24 Agustus tentang isi dokumen lingkungan proyek itu. Sejumlah pertanyaan Andre termasuk terkait pendanaan, risikonya bagi lingkungan serta ruang hidup warga Atakore.

“Pihak PT PLN mengabaikan pertanyaan-pertanyaan inti,” kata Roby, sehingga belum sepenuhnya “menjawab keresahan warga Atakore.”

“Kami berharap PT PLN membuka ruang untuk diskusi,” katanya. 

Ia juga menjelaskan, Forum Komunikasi Pemuda Atakore akan menggelar diskusi yang diawali pertemuan internal bulan ini guna “mendengarkan dan menampung aspirasi warga.”

“Waktunya baru ditentukan bersama anggota forum yang lain,” kata Roby kepada Floresa.

Pemasangan baliho penolakan geotermal oleh Forum Komunikasi Pemuda Atakore pada 11 September 2024. (Forum Komunikasi Pemuda Atakore)

Rencana Stuba

Selain diskusi dan advokasi, para pemuda Atakore berencana melakukan studi banding atau stuba di proyek geotermal bermasalah di Pulau Flores.

Mereka hendak ke lokasi proyek di Mataloko, Kabupaten Ngada dan PLTP Ulumbu di Kabupaten Manggarai.

Roby berkata, mereka berniat menjumpai warga dan menyaksikan dari dekat persoalan-persoalan mereka serta “menggali informasi perihal tata kelola geotermal di kedua lokasi tersebut.”

Stuba yang diikuti perwakilan pemuda dan orang tua dari Desa Atakore, kata Andreas Ledjab, “bertujuan mengetahui dampak buruk dari aktivitas geotermal.”

“Waktu dan keberangkatannya ditentukan setelah dilakukan pertemuan bersama,” kata Andre.

Andre menambahkan, kegiatan ini adalah juga upaya mencari informasi yang utuh tentang proyek geotermal, setelah mereka mereka mendengar klaim-klaim PT PLN.

Pada 16-20 Juli PT PLN juga telah memfasilitasi warga dan anggota DPRD Lembata untuk stuba di PLTP Kamojang, Jawa Barat. 

Namun, peserta stuba, termasuk Andre juga menginginkan agar mereka bisa mengunjungi lokasi proyek yang bermasalah, seperti di Mataloko.

Pemerintah mulai menargetkan proyek geotermal Atadei melalui Surat Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi Nomor 1580/06/DJB/2008.

Pada 30 Desember 2008, Kementerian ESDM lalu menetapkan Wilayah Kerja Panas Bumi [WKP] dalam Keputusan Nomor 2966/K/30/MEM/2008. 

Pengerjaan proyek itu terus digenjot menyusul langkah pemerintah yang berupaya memaksimalkan potensi geotermal di Flores hingga Lembata. Hal itu tampak dalam penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017.

PT PLN telah mendapat izin prinsip dari Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur pada 27 November 2020, di mana luas lahan yang menjadi lokasi proyek 31.200 hektare, mencakup tiga desa di Kecamatan Atadei yaitu Desa Atakore, Desa Nubahaeraka dan Desa Ile Kimok.

Proyek ini menargetkan energi listrik dengan kapasitas 10 MW yang direncanakan mulai beroperasi pada 2027.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pulau Flores, Lembata dan Alor memiliki potensi panas bumi 902 Megawatt atau 65% dari potensi panas bumi di NTT. Potensi tersebut tersebar di 16 titik.

Selain di Atadei, polemik geotermal juga mencuat di sejumlah lokasi di Flores.

Di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, warga terus melakukan perlawanan, sementara PT PLN terus berupaya menggolkan proyek itu. Proyek Poco Leok merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu.

Polemik lainnya terjadi di Wae Sano, Manggarai Barat. Penolakan warga membuat Bank Dunia membatalkan pendanaan proyek itu, yang kini dialihkan ke pemerintah Indonesia.

Sementara di Mataloko, Kabupaten Ngada, proyek geotermal yang mulai dikerjakan pada 1998 berulang kali gagal, menyisakan berbagai lubang bekas pengeboran yang mengeluarkan lumpur panas dan merusak kebun-kebun warga.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA