Mengapa Izin Korporasi yang Ancam Konservasi Tidak Dicabut? Warga Pertanyakan Rencana Pemerintah Tutup TN Komodo untuk Pemulihan Kawasan

Ada lima perusahaan yang mendapat izin usaha dalam kawasan taman nasional, yang sebagian pemiliknya amat dekat dengan kekuasaan, termasuk dengan Presiden Joko Widodo

Floresa.co – Warga adat dan pelaku wisata yang menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata mempertanyakan logika pemerintah yang berencana menutup kawasan Taman Nsional [TN] Komodo tahun depan dengan alasan pemulihan.

Menurut Ata Modo, komunitas warga adat yang mendiami Pulau Komodo, langkah ini kontras dengan pemberian izin untuk sejumlah perusahaan dengan luas konsesi ratusan hektare di beberapa pulau, yang mereka sebut mengancam konservasi.

Karena itu, kata Kinan, salah satu pemuda Ata Modo, rencana penutupan kawasan TN Komodo itu “justru kontradiktif.”

Kok penutupan sementara kawasan, tetapi izin usaha untuk perusahaan masih berjalan,” katanya kepada Floresa pada 24 Juli.

Ketimbang menutup kawasan tersebut, pemerintah seharusnya mencabut izin perusahaan karena “merusak asas konservasi yang dibuat oleh negara sendiri,” kata Kinan.

Pemberian izin bagi perusahaan di kawasan taman nasional, kata dia, menunjukkan pemerintah sendiri yang “mencederai aturan konservasi.”

“Kalau seandainya kawasan ini ditutup, tetapi izin perusahaan tidak dicabut, orang Komodo akan menuntut hak yang sama,” lanjutnya.

Hak yang ia maksud merujuk pada perluasan ruang hidup warga Ata Modo yang hanya 17 hektare, sementara perusahan-perusahan mendapat konsesi ratusan hektare.

TN Komodo, dengan luas 173.300 hektare, yang berada di sebelah barat Pulau Flores mencakup tiga pulau besar – Komodo, Rinca dan Padar. Kawasan ini, habitat bagi 3.000 komodo, menjadi salah satu destinasi wisata yang ramai dikunjungi, bersamaan dengan pengembangan Labuan Bajo sebagai kawasan strategis pariwisata nasional.

Tahun lalu, wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo mencapai 423.847, dua kali lipat dari target 260 ribu. Jumlah itu naik dari 170.352 orang pada 2022.

Di tengah lonjakan ini, menurut Hendrikus Siga, Kepala Balai Taman Nasional Komodo [BTNK] – otoritas di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] -, penutupan perlu karena sumber daya alam di dalam kawasan perlu “beristirahat dan memulihkan diri.” 

Ia menjelaskan, pihaknya sedang melakukan kajian sebelum menerapkan kebijakan tersebut pada pertengahan tahun depan.

Penutupan, kata Hendrikus pada 15 Juli, kemungkinan dilakukan dalam dua skema, yakni penutupan total atau pada hari tertentu saja, bergantung pada “kebutuhan pengelolaan dan respons masyarakat”.

Ali Mudin, warga adat lainnya yang berbicara kepada Floresa menduga rencana tersebut bukan untuk pemulihan, melainkan strategi meloloskan proyek pembangunan di dalam kawasan.

Dugaannya mengacu pada informasi dari rekan-rekannya soal rencana salah satu perusahaan membangun resor di Pulau Padar bagian utara.

Koordinator Aliansi Masyarakat Ata Modo itu berkata, jika penutupan kawasan itu berkaitan erat dengan proyek tersebut, pemerintah dan perusahaan tampaknya ingin kapal-kapal pengangkut material lebih leluasa melakukan bongkar muat.

“Karena Padar utara itu lintasan kapal-kapal wisata yang datang dan pulang dari Labuan Bajo ke Padar selatan, tempat jalur trekking yang elok itu,” katanya.

Ia juga mengatakan jika saja proyek di Pulau Padar lolos, “perusahaan lain yang sudah mengantongi izin yang sama akan menyusul menggerogoti kawasan TK Komodo.”

Floresa sudah beberapa mendatangi Kantor BTNK sejak pekan lalu, mengonfirmasi kabar aktivitas perusahaan ini. Namun, staf di BTNK memberitahu bahwa pimpinan mereka sedang tidak di tempat dan mereka tidak bisa memberi informasi soal ini.

Izin Konsensi di Kawasan TN Komodo

Sejauh ini terdapat lima lima perusahaan swasta yang mengantongi izin usaha wisata di TN Komodo, lewat skema Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Wisata Alam [IUPJWA] dan Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam [IUPSWA].

PT Komodo Wildlife Ecotourism yang mendapat IUPSWA melalui SK.796/Menhut-II/2014 memiliki konsesi seluas 274,81 hektare di Pulau Padar dan 154,6 hektare di Pulau Komodo. Nama Reza Herwindo, putra mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, tercatat sebagai komisaris utama.

Sementara PT Segara Komodo Lestari memiliki konsesi seluas 22,1 hektare di Pulau Rinca. Perusahaan ini sempat mulai melakukan pembangunan pada 2018, namun berhenti setelah diprotes kelompok sipil.

Mulanya, pemilik perusahan ini adalah David Makes, Ketua Tim Percepatan Pengembangan Ekowisata pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Ia merupakan adik dari Yozua Makes, pemilik Grup Plataran yang menguasai berbagai bisnis pariwisata, termasuk di Labuan Bajo. Pada 2022, Yozua Makes mengakuisisi PT Segara Komodo Lestari 

Grup Plataran dikenal dekat dengan Presiden Joko Widodo. Dalam sejumlah kunjungan ke Labuan Bajo, presiden menginap di resor Grup Plataran dan mengunjungi TN Komodo dengan memakai fasilitas perusahaan ini. 

Yozua Makes (kiri) dari Grup Plataran yang memiliki konsesi bisnis di TN Komodo. Ia sedang berbicara dengan Presiden Joko Widodo di dalam kapal phinisi milik Plataran dalam pelayaran di perairan Labuan Bajo. (Tangkapan layar dari YouTube Kementerian Sekretariat Negara RI)

Perusahaan lainnya yang mengantongi IUPSWA adalah PT Synergindo Niagatama yang memiliki konsesi seluas 15,32 hektare di Pulau Tatawa. 

Mochamad Sonny Inayatkhan tercatat sebagai pemegang saham mayoritas perusahaan yang terkoneksi dengan konglomerasi sawit dan minyak goreng Wilmar International tersebut. 

Dua perusahaan lainnya, yakni PT Pantar Liae Bersaudara dan PT Nusa Digital Creative mengantongi IUPJWA masing-masing pada 24 dan 26 April 2024. 

Keduanya menggantikan PT Flobamor, Badan Usaha Milik Daerah Provinsi NTT yang hengkang dari pengelolaan jasa pemandu wisata alam setelah beroperasi sejak 2022 karena mengklaim merugi.

PT Nusa Digital Creative yang disahkan pada 16 November 2023 dipimpin oleh Varel Tristan Ayub Laiskodat. Ia merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta angkatan tahun 2017. 

Nama lain pada perusahaan tersebut adalah Lieliyana Octavia,  sebagai komisaris. Ia merupakan caleg Partai Nasdem untuk DPRD Kota Kupang pada pemilu Februari dan tidak terpilih.

Sementara pada PT Pantar Liae Bersaudara yang disahkan pada 11 Juli 2023 tercatat nama Nikson Pandu, yang juga tercatat sebagai Ketua Ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu NTT dan David Manno – keduanya sebagai komisaris.

Nama Nikson dan David tampak ada dalam satu organisasi lain, yakni Ikatan Persaudaraan Flobamora yang berbasis di Kupang, di mana David menjadi Penasehat III dan Nikson sebagai Bendahara I. 

Sedangkan direktur utama sekaligus pemegang saham terbanyak adalah Maryanto Kore Mega, yang sebelumnya menjadi staf PT Flobamor.

Lumpuhkan Ekonomi Sektor Wisata

Selain dikritik warga Ata Modo, pelaku wisata  juga menyayangkan rencana penutupan kawasan yang tiba-tiba diumumkan pada pertengahan tahun.

Yovie Jehabut, Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia Kabupaten Manggarai menilai penutupan memang kewenangan KLHK dan “tidak masalah selama kajiannya sudah komprehensif.”

Namun, berkaca pada agenda konservasi yang dilakukan sebelumnya, langkah ini perlu dikritisi karena “KLHK sering sekali menganggap bahwa urusan konservasi itu adalah urusan kewenangan, bukan urusan kesadaran dan ilmu pengetahuan.”

Ia menyebut contoh soal “pembangunan infrastruktur besar-besaran di Pulau Rinca” pada 2020 yang dikritik banyak pihak terkait dampaknya untuk habitat Komodo. Pembangunan yang dimaksud Yovie adalah proyek elevated deck dari beton yang dikonsepkan seperti Jurassic Park.

Jurassic Park di Pulau Rinca, TN Komodo. (Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR)

Kala itu, katanya kepada Floresa, pihak pemerintah, terutama KLHK “tidak bicara tekanan pada habitat Komodo.”

Ia juga menanggapi pernyataan Kepala BTNK, Hendrikus bahwa kebijakan itu akan diambil setelah melakukan kajian.

“Kajian yang dimaksud lembaga tersebut adalah mengkaji reaksi publik,” kata Yovie, “publik disuruh menanggapi apa yg sebenarnya memang sudah tidak beres sejak dari idenya.”

Sementara itu, Getrudis Naus dari Asosiasi Perjalanan Wisata di Manggarai Barat berkata, rencana ini  berpotensi melumpuhkan pariwisata Labuan Bajo yang saat ini menjadi sumber ekonomi utama bagi para pelaku wisata.

“Saya minta pihak otoritas tidak seenaknya melakukan penutupan,” katanya.

Ia menjelaskan sudah ada wisatawan yang telah memesan paket wisata ke kawasan itu pada tahun depan, hal yang seharusnya dipertimbangkan oleh pemerintah sebelum mengambil kebijakan.

Kinan menambahkan rencana penutupan tersebut berdampak sangat besar terhadap sektor ekonomi warga Ata Modo, yang pada beberapa dekade terakhir telah beralih menjadi pelaku wisata usai mengalami pembatasan akses terhadap lapangan pekerjaan di sektor pertanian dan kelautan.

“Itu bukan pilihan terbaik karena ada dua ribu jiwa masyarakat di Pulau Komodo yang bergantung di sektor pariwisata,” katanya, menambahkan “ini adalah pembunuhan secara halus oleh BTNK.”

Di samping merugikan secara ekonomi, Ali Mudin tetap menyoroti ironi kebijakan yang memberi karpet merah pada korporasi, sementara komunitasnya diposisikan untuk menerima begitu saja kebijakan pemerintah.

“Akankah tanah leluhur ini, yang tadinya dirampas negara dari tangan warga atas nama konservasi, penguasaannya akan diberikan kepada investor?” katanya.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA