Memperjuangkan Ruang Hidup Bersama: Apa yang Bisa Warga Flores Pelajari dari Perjuangan di Marinaleda, Spanyol?

Selain kepemimpinan merakyat, Marinaleda juga dibentuk oleh solidaritas yang kuat, komitmen perjuangan dan utopia

Judul buku: The Village Against the World; Judul terjemahan: Marinaleda, Eksperimen Kota Kecil Antikapitalis; Penulis: Dan Hancox; Penerjemah: Lita Soerjadinata; Jumlah halaman: x +216; Tahun terbit: 2023; Penerbit: Marjin Kiri


“Tak banyak informasi dalam brosur-brosur panduan perjalanan soal Marinaleda,” tulis Dan Hancox, “dan sedikit pula yang bisa diceritakan warga di Seville, kota besar terdekatnya.”

Beberapa warga yang ia temui dan ajak bicara di Seville hanya berucap, “Ah, ya, desa kecil komunis yang aneh. Utopia.”

Namun, tulis Hancox pada kolom opini The Guardian, tak seorang pun dari mereka yang pernah berkunjung, atau mengenal siapa pun yang pernah mengunjunginya–dan tak seorang pun bisa memberi tahu Hancox apakah Marinaleda benar-benar utopia. 

Satu informasi yang nyaris seragam disampaikan orang-orang di Seville adalah: Marinaleda dipimpin seorang laki-laki berjanggut yang karismatik sekaligus eksentrik. 

Nama pemimpin itu Juan Manuel Sánchez Gordillo.

Menentang Kemapanan Politisi

Gordillo terpilih sebagai wali kota pertama Marinaleda pada 1979, ketika ia berusia 30 tahun. Sejak saat itu ia terpilih terus hingga akhir jabatannya pada 2023. 

Kita mungkin segera membayangkan suatu kepemimpinan, seperti politisi-politisi kita di tanah air, meskipun tak semuanya, terperangkap dalam kasus korupsi dan nepotisme akut. Atau jenis politisi yang ‘berjarak dari kehidupan sosial’, terutama kemiskinan warganya.

Sebaliknya, Hancox lewat bukunya, The Village Against the World, mengisahkan bagaimana Gordillo menjadikan kekuasaan sebagai alat yang dengannya utopia-utopia terwujud. 

Ia menerobos segala kemapanan politisi yang korup, nepotis, dan feodalistik. 

Hancox menilai Gordillo memiliki karakter kepemimpinan yang merakyat. 

Dalam suatu wawancara pada 2013, Gordillo menyatakan kepemimpinannya terbentuk dari gabungan ajaran Yesus, Mahatma Gandhi [aktivis kemerdekaan India], Karl Marx [filsuf Jerman], Vladimir Lenin [tokoh komunis Rusia], dan Che Guevara [gerilyawan Argentina].

Perpaduan ajaran tersebut, menurut Hancox, “menjadikan Gordillo sebagai pemimpin yang revolusioner.”

Gordillo banyak membuat terobosan sepanjang kepemimpinannya. Termasuk internet gratis di rumah-rumah, komputer gratis di warnet serta taman dan kolam renang untuk nongkrong.

Selain itu, Gordillo juga mendorong pertanian makin maju dan berkembang, yang hasilnya bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat di Marinaleda. 

Kemiskinan di Mana-Mana

Sebagai bagian dari wilayah Andalusia, Marinaleda dulunya “suatu daerah yang sangat mengerikan,” tulis Hancox.

Kemiskinan, pengangguran, dan kesengsaraan masyarakat membuat kehidupan kota kecil itu mencekam. Terlebih selepas kematian diktator Spanyol, Francisco Franco pada 1975.

Pada musim semi 2013, tingkat pengangguran di Andalusia mencapai 36 persen. Angkanya bahkan mencapai 55 persen pada pekerja berusia 16 hingga 24 tahun. 

Seiring kenaikan tingkat pengangguran, lahan-lahan di Marinaleda semakin banyak yang tak terpakai. Saat itu lahan pertanian dimonopoli seorang bangsawan Inggris–yang mendorong keuntungan hanya masuk ke kantongnya.

Banyak orang terusir dari rumah mereka karena tak mampu membayar pajak rumah. 

Beberapa di antaranya bertahan di apartemen yang pajaknya belum juga lunas. Ketika petugas pajak datang, “mereka menjatuhkan diri dari jendela.”

Sebanyak 90 persen buruh harian hidup sebagai tunawisma, yang di Spanyol dikenal dengan sebutan jornaleros. Mereka harus mampu menghidupi diri dan keluarga mereka dengan hanya dua bulan bekerja dalam satu tahun.

Sebagai pemimpin, Gordilo paham betul bahwa pertanian harus dikembangkan.  Tak heran, ia beberapa kali melakukan aksi protes menentang penguasaan lahan sepihak. 

Seperti ia katakan, “kami percaya bahwa tanah seharusnya dimiliki oleh masyarakat yang menggarapnya, dan bukan di tangan kaum bangsawan yang tidak pernah menyentuhnya.”

Ruang Hidup Bersama

Buku yang diterjemahkan menjadi Marinaleda: Eksperimen Kota Kecil Antikapitalis, turut menggugat kita untuk berpikir tentang hidup bersama tanpa kesengsaraan, pengangguran, dan kemiskinan. 

Selain gaya kepemimpinan Gordillo, setidaknya tiga hal turut membentuk kehidupan bersama Marinaleda.

Pertama, solidaritas warga. Ini berkaitan dengan sikap bersama, yang lahir dari rasa senasib dan sepenanggungan atas kondisi dan situasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang mereka alami. Tingkat pengangguran tinggi, ditambah ketiadaan lahan pertanian bagi rumah tangga, telah membentuk kemiskinan di seluruh wilayah Spanyol, termasuk Marinaleda. 

Selain karena faktor minimnya lapangan kerja yang tersedia, kemiskinan diperparah masuknya industri konstruksi dan bisnis wisata yang tak menguntungkan masyarakat lokal. 

Ekspansi kapitalisme, yang mewujud dalam berbagai dimensi ekonomi, sosial, budaya di Marinaleda telah membentuk sikap bersama itu makin kuat. Ini yang membuat berbagai perjuangan warga menuntut hak-hak seperti lahan pertanian makin mendominasi lewat aksi-aksi pendudukan langsung tanah dan lahan milik tuan tanah.

Salah satu bentuk solidaritas itu ditunjukan dalam salah satu aksi “pada musim panas 1980 yang amat menyengat, ketika kota kecil itu menggelar “aksi mogok makan melawan kelaparan” yang membuat mereka mendapat pengakuan nasional bahkan global.”

Tidak hanya itu, “aksi mogok makan berlanjut pada tahun 1981, ketika sebanyak 315 pekerja melakukan aksi mogok makan. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa kota itu diubah oleh aksi mogok makan.”

Kedua, komitmen perjuangan. Tak mungkin ada perjuangan tanpa komitmen, sebab ia akan membawa pada ‘penundukan’ oleh yang kuat atas yang lemah. Inilah yang membuat warga Marinaleda terus berkomitmen untuk berjuang membangun suatu kota, dengan tidak ada pengangguran, kemiskinan, dan penderitaan di antara mereka. 

Salah satunya ketika Gordillo bersama anggota serikat dagang komunis melakukan serangkaian penjarahan pasar swalayan.

“Pada 2012, dimulai serangkaian aksi dengan menduduki lahan militer, penyitaan sebuah istana milik keluarga bangsawan, dan melakukan arak-arakan untuk menghimpun dukungan dari walikota lain untuk tidak membayar utang-utang mereka,” tulis Hancox.

Aksi ini memperlihatkan perjuangan warga Marinaleda membentuk hidup mereka yang lebih baik. 

Komitmen mereka untuk mendorong berbagai perubahan, terutama yang berbasis kepemilikan bersama, yang di dalamnya bisa dinikmati oleh semua orang dari berbagai lapisan, seperti perumahan yang layak, lahan pertanian, dan berbagai hal lainnya, tentu saja memotivasi perjuangan itu makin solid dan tetap punya komitmen yang teguh. 

Ketiga, utopia tentang Marinaleda. Gordillo dalam wawancaranya dengan Hancox mengatakan, “utopia bukan lamunan, itu adalah impian paling mulia yang pernah diimpikan orang. Impian yang melalui perjuangan dapat dan harus berubah menjadi kenyataan.”

Utopia itu dibangun lewat narasi pembebasan, seperti lahan tani untuk para buruh yang menganggur di Marinaleda, reforma agraria dan redistribusi lahan, dan tanah untuk penggarap. Untuk mencapainya, mereka melakukan serangkaian aksi menuntut hak hidup yang layak lewat aksi penjarahan, pendudukan lahan, dan mogok makan. 

Gordillo pernah mengatakan, “pangan adalah hak, bukan bisnis; bahwa pertanian seharusnya tidak disertakan dalam World Trade Organization atau Organisasi Perdagangan Dunia; bahwa sumber daya alam seharusnya dimanfaatkan oleh masyarakat yang menggarapnya, dan yang memakainya.”

Apa yang Bisa Dilakukan di Flores?

Kisah perjuangan, perlawanan, solidaritas warga, dan kepemimpinan yang hidup di kota kecil Marinaleda tentu bisa dijadikan pelajaran berharga untuk Pulau Flores. 

Lantas, dalam konteks apa Flores mengambil pelajaran dari kisah-kisah di Marinaleda? 

Memang tak semua hal di Marinaleda bisa kita terapkan di Flores. Saya mengamati masih ada sejumlah kelompok yang beranggapan kritik terhadap pemerintah adalah bentuk sikap menolak untuk maju dan berkembang. Cara pandang ini amat subur di Flores. 

Selain itu, perasaan hidup senasib dan sepenanggungan tentu tak bisa dipaksakan. Kita harus mengakui keberagaman kehidupan secara ekonomi, sosial dan budaya di Flores. 

Yang bisa dilakukan ialah suatu perjuangan bersama; oleh mereka yang hidupnya belum juga sejahtera, melibatkan petani-petani di Flores untuk ambil bagian dalam aksi-aksi menuntut hak-hak mereka seperti perbaikan harga komoditi pertanian, distribusi lahan pertanian, subsidi pupuk, hunian layak.

Seperti perjuangan petani di Marinaleda menuntut lahan pertanian, petani di Flores bisa mengupayakan perjuangan serupa. 

Konteks ekonomi politik agraria yang rumit di Flores, ditambah kebijakan pemagaran masyarakat dari tanah mereka, seperti di Poco Leok dalam melawan proyek geotermal, tentu memerlukan perjuangan untuk menegaskan hak kedaulatan atas tanah. 

Perjuangan itu butuh dukungan dari elemen masyarakat sipil, sehingga hak-hak petani terjawab. 

Kepemimpinan ala Gordillo dibutuhkan di Flores, untuk membangun suatu tatanan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang mementingkan warga Flores. 

Kepemimpinan jenis ini bisa diusahakan dengan memberi dukungan politik penuh bagi mereka yang punya keberpihakan jelas untuk membangun ‘Marinaleda baru versi Flores’. 

Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila adalah alumnus Universitas Merdeka Malang pada program studi Administrasi Publik. Berasal dari Manggarai Timur, NTT, saat ini berdomisili di Jakarta.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kami bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.