Nilai Banyak Kejanggalan dalam Dokumen Analisis Lingkungan Geotermal Lembata, Warga Desak PT PLN Minta Petunjuk ‘Ina Kar’

Ina Kar diyakini sebagai penjaga ‘dapur alam,’ lokasi eksplorasi geotermal Atadei

Floresa.co – Menyebut cara hidup warga setempat “mirip” dengan suku Maori di Selandia Baru, ahli geotermal yang dihadirkan PT PLN mengatakan “penggunaan energi panas bumi adalah suatu keharusan.”

“Warga Atakore dan suku Maori sama-sama memanfaatkan ‘dapur alam’ untuk memasak,” kata M. Ali Ashat, ahli yang juga dosen teknologi geotermal di Institut Teknologi Bandung.

Karenanya, “eksplorasi dan eksploitasi geotermal tak akan melanggar adat istiadat setempat.”

Ucapan Ali disampaikan dalam sosialisasi di halaman Desa Atakore pada 24 Agustus, berselang dua hari dari kegiatan serupa sebelumnya di Desa Nubahaeraka.

Atakore dan Nubahaeraka tercakup dalam wilayah administratif Kecamatan Atadei, yang oleh pemerintah tengah digalakkan sebagai lokasi proyek geotermal.

Selain Ali, dalam sosialisasi itu PLN juga menghadirkan Gregorius Ladjar, warga Nubahaeraka yang bekerja sebagai ahli geotermal di Pusat Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Kamojang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Menanggapi para pembicara, Andreas Ledjap, seorang warga Atakore menyebut sosialisasi “terlalu kilat bagi warga untuk mendapat gambaran utuh terkait proyek geotermal.”

Gambaran utuh yang disebutkannya termasuk teknik pengeboran, kajian yang relevan, mitigasi kebencanaan serta mekanisme pembebasan lahan.

Andre, sapaannya, berpendapat sekali sosialisasi mestinya bisa berlangsung seharian penuh. 

Sosialisasi di Atakore pada 24 Agustus berlangsung sembilan jam, yang bermula pada pukul 11.30 Wita.

Selain itu, sosialisasi digelar “tanpa ada koordinasi dengan komunitas setempat,” hal yang membuat Andre beranggapan “PLN hendak mengelabui warga.”

Banyak Pertanyaan Belum Terjawab

Andre menilai PT PLN “tidak transparan,” lantaran selama ini “tak melibatkan warga Atakore.”

Sosialisasi pun dilakukan tanpa lebih dulu berdiskusi dengan warga, katanya, proses yang menurut Andre membuat dirinya bertanya-tanya akan keterbukaan PT PLN.

Ketiadaan pelibatan warga, kata Andre, memicu “banyak kekeliruan” dalam dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup [UKL-UPL].

Ia mencatat sekitar 20 pertanyaan terkait kekeliruan dalam dokumen tersebut, “yang sebagian besar belum dijawab PLN.”

Sejumlah pertanyaan Andre terkait pendanaan, risikonya bagi lingkungan serta ruang hidup warga Atakore.

Alih-alih menjawab, PT PLN hanya menyebut “mereka akan membentuk forum diskusi dengan warga.”

Dua hari sebelumnya dalam sosialisasi di Nubahaeraka, Romo Firminus Doi Koban, Koordinator Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Keuskupan Larantuka–yang wilayah pelayanannya termasuk Flores Timur dan Lembata, menyebut UKL-UPL itu “memuat banyak kejanggalan.”

“Istilah rumah adat dan bahasa yang dipakai dalam dokumen tersebut merujuk pada komunitas Kedang,” kata Firminus.

“Padahal proyek ini berlangsung di Atadei, yang akar budayanya berbeda dengan Kedang,” katanya.

Wilayah pegunungan Kedang berada di utara Lembata, sementara Atadei di bagian tenggara.

Selain itu, “nama-nama warga yang dikutip dalam dokumen UKL-UPL juga diambil dari internet, tanpa validasi ke komunitas setempat.”

Ia menyebutkan “warga yang disebutkan dalam dokumen tersebut bahkan tinggal di Kedang dan Desa Lamalera, selatan Lembata.”

Studi Banding Bikin Kecewa

Andre bukan sekali ini mengkritik langkah PT PLN di tanah kelahirannya.

Turut menjadi peserta studi banding ke PLTP Kamojang pada 16-20 Juli, ia menyebut PLN “mengabaikan permintaan warga.”

Dalam studi banding, perwakilan warga meminta PLN menghadirkan ahli geotermal independen ke Atadei. 

Ahli independen, kata Andre, “akan dapat menjelaskan gambaran utuh dan berimbang mengenai proyek geotermal.”

Penjelasan yang berimbang “membantu warga tak serta-merta terbuai dengan janji-janji manis PT PLN.”

Selain perwakilan warga, studi banding ke Kamojang juga diikuti sejumlah kepala desa, camat Atadei, anggota DPRD Lembata dan Penjabat Bupati Lembata, Paskalis Ola Tapobali.

Andre menyebut kegiatan itu “tidak tepat disebut studi banding, belajar dan tukar pengetahuan.”

Sebaliknya selama studi banding, “yang kami dapat hanya materi rencana induk PLTP Kamojang beserta manfaatnya.”

Berkukuh Tak Lepaskan Tanah

Warga yang hadir dalam sosialisasi tersebut menyatakan sikap mereka terhadap rencana eksplorasi dan eksploitasi geotermal di Atadei.

Hengki Ledjap, berkukuh menolak menjual tanahnya yang berada di lokasi Ina Kar.

Menurut Hengki yang juga turut dalam studi banding ke PLTP Kamojang, hingga kini suku Ledjap selaku pemilik tanah di lokasi pengeboran belum mendapat petunjuk dari Ina Kar.

“Kami tidak akan jual tanah sebelum Ina Kar lewat suku Ledjap dan Puhun beri petunjuk,” katanya.

Ina Kar adalah sosok yang diyakini sebagai penjaga “dapur alam.”

Ia meminta semua suku yang terdampak pembangunan geotermal “untuk berkumpul dan berunding sebelum menentukan sikap.”

Tanggapan Hengki menyusul Kristo Puan Wawin, pengacara asal Watuwawer yang mendesak PT PLN “menyampaikan informasi secara berimbang.”

Kristo mengaku “meragukan sosialisasi” yang menurutnya “manipulatif.”

Sementara Kristo Huar, warga lainnya, meminta PT PLN tak mengerahkan aparat guna menekan warga yang menolak geotermal Atadei. 

Ucapannya berkaca pada warga Poco Leok, Manggarai yang berkali-kali mendapat intimidasi dari aparat keamanan.

Ruang hidup warga Poco Leok terdampak proyek perluasan PLTP Ulumbu Unit 5-6, dengan target pembukaan titik pengeboran baru di wilayah yang termasuk lahan mereka.

Pada Oktober 2023, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan lembaga Gereja Katolik mengadukan Polres Manggarai ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia [Komnas HAM] terkait dugaan kriminalisasi terhadap warga Poco Leok yang diperiksa karena menolak proyek geotermal.

Pada Maret 2024, warga dari sebelas gendang atau kampung adat di Poco Leok meminta dukungan Komnas HAM dalam perjuangan mereka melawan upaya paksa pemerintah dan perusahaan meloloskan proyek geotermal di wilayah itu.

Kristo Huar berharap, pola seperti di Poco Leok tidak terjadi di Lembata.

“Polisi dan TNI jangan mengintimidasi kami demi meloloskan proyek ini,” katanya.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA