Geotermal di Flores dan Ilusi Otonomi Daerah

Alih-alih bertindak otonom, para bupati malah bekerja mengamankan oligarki ekonomi dan hanya manggut pada kehendak pemerintah pusat

Oleh: Eduardo Edwin Ramda

Gemuruh resistensi terhadap ekspansi proyek geotermal di Flores makin hari makin kencang. 

Demonstrasi serempak di beberapa kota kabupaten pada 5 Juni yang melibatkan warga dan para pemimpin Gereja Katolik adalah cerminan bahwa penolakan ini adalah aspirasi publik yang riil. 

Unjuk rasa itu digelar di Ruteng, Ende, Nagekeo dan Bajawa. Warga dari lingkar lokasi proyek turun ke jalan bersama para pastor, suster, mahasiswa dan aktivis. 

Namun, pemerintah tampak tidak bergeming dan bersikap acuh terhadap gerakan perlawanan ini. 

Di Manggarai misalnya Bupati Herybertus GL Nabit mengabaikan tuntutan warga mencabut izin lokasi proyek di Poco Leok. Sementara Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena nyatanya mengeluarkan sikap mendukung kendati sebelumnya sempat memberi harapan bahwa ia berpihak pada aspirasi warga.

Di sisi lain, tidak ada gejala pemerintah pusat berubah sikap untuk melakukan evaluasi atau menghentikan proyek-proyek ini, yang beberapa di antaranya sempat masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) era Presiden Joko Widodo.

Hal ini tentu menjadi ironi. Tekanan dan aspirasi publik tidak memberikan efek hantam yang bisa menyadarkan para pengambil kebijakan. 

Kepala daerah tampak tak berdaya. Otonomi Daerah hanya di atas kertas karena model kepemimpinan robotik yang nir-empati. 

Para kepala daerah hanya bisa manggut pada alunan melodi orkestrasi sumbang dari pemerintah pusat di Jakarta.

Soal Keberpihakan

Memang, bukan rahasia lagi bahwa kewenangan kepala daerah semakin diamputasi melalui UU Cipta Kerja dan corak kepemimpinan sentralistik rezim hari ini. 

Hal ini menempatkan daerah dalam posisi yang tak berdaya tatkala berhadapan dengan kepentingan pusat. 

Kepala daerah tunduk atas dasar batasan kewenangan pusat-daerah dan tersandera kewajiban menjalankan proyek yang diatur dari pusat. 

Sebetulnya kepala daerah bisa mengambil sikap yang tegas apabila proyek-proyek tersebut bertentangan dengan kepentingan dan situasi daerah. 

Toh, regulasi yang tertulis saja bisa diubah sebagaimana aturan kepesertaan Pilpres 2024 yang merevisi batas usia minimum kandidat demi meloloskan Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi yang jadi tandem Prabowo.

Untuk bertindak beda, hanya butuh keberanian dan keberpihakan. Hal itu sebetulnya sudah dipraktekkan oleh beberapa kepala daerah di Indonesia.

Kita bisa merujuk pada beberapa contoh berikut. 

Wakil Gubernur Papua Selatan Paskalis Imadawa misalnya secara pribadi menyatakan menolak PSN di daerahnya yang akan membuka dua juta hektar lahan di Merauke untuk proyek perkebunan. Ia menolak proyek itu karena mengetahui ancamannya terhadap masyarakat adat. 

Contoh lainnya adalah Bupati Nabire Mesak Magai yang menyatakan menolak eksplorasi tambang di Blok Wabu. Wilayah tambang emas itu masuk dalam kategori PSN.

Dari tanah Jawa, Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin pernah melakukan penolakan tambang emas di daerahnya. 

Bahkan, penolakan bupati muda ini didukung oleh masyarakat secara daring dan luring. Aliansi Rakyat Trenggalek membuat petisi di situs Change.org untuk mendukung sikapnya. Hingga 10 Juni 2025, petisi itu  telah diteken oleh 23.230 orang.

Rentetan kisah ini mengajarkan kita bahwa perlu keberanian kepala daerah ketika yang dipertaruhkan dalam proyek-proyek pembangunan adalah keselamatan lingkungan dan kehidupan warga mereka.

Sikap tegas terhadap proyek eksploratif-destruktif ini berkaitan dengan kemauan untuk berpihak pada pertimbangan ekologis. 

Kepemimpinan berwawasan ekologis adalah faktor X yang kini jarang dimiliki oleh kepala daerah, termasuk di tanah Nusa Bunga.

Di balik selimut otonomi daerah, para bupati bak raja-raja kecil yang berlindung dan menjadi agen pusat. 

Kerangka otonomi daerah yang semi sentralistik menyihir pemerintah daerah secara paksa. Alih-alih menjadi pelindung kepentingan warga, mereka justru berubah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan pusat. 

Dalam logika ini, loyalitas politik lebih diutamakan ketimbang keberpihakan dan upaya pencapaian ultimate goal otonomi daerah, yakni kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah hanya pola koordinatif di atas kertas, sisanya bergantung arahan pusat. 

Pemimpin daerah yang seharusnya menggunakan kekuasaan untuk berpihak pada rakyat justru sibuk mengamankan hajatan pusat. 

Gerakan perlawanan rakyat pun diadu dengan kelompok rakyat lainnya. Hal ini bisa kita saksikan di Ruteng saat aksi unjuk rasa warga Poco Leok pada 5 Juni. Bupati malah mengerahkan massa tandingan untuk menghadang warganya. 

Pola yang sama terjadi di tempat lain di negeri ini, ketika ketika Menteri ESDM Bahlil Lahadalia datang untuk mengecek tambang nikel di Raja Ampat yang jadi sorotan beberapa waktu terakhir. 

Rombongan menteri disambut sejumlah warga yang pro tambang. Hal ini turut diperkuat oleh klaim Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam bahwa warganya menghendaki adanya aktivitas pertambangan. 

Realitas ini tidak hanya menafikan suara-suara kritis dari warga yang menolak tambang, tetapi juga menciptakan kesan seolah masyarakat terbelah secara ekstrem.

Ini menunjukkan pola yang mengindikasikan adanya habitus penguasa yang menular hingga ke level birokrasi lokal. Habitus dalam konteks ini merujuk pada kecenderungan internal yang terbentuk melalui pengalaman berkuasa: membiasakan diri mengendalikan wacana, memanipulasi representasi publik dan menekan oposisi dengan cara-cara yang tidak selalu represif secara langsung.

Pola-pola seperti ini memperlihatkan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja secara vertikal, tetapi juga menyebar secara kultural—membentuk cara berpikir dan bertindak para pejabat di daerah yang lebih memilih loyalitas politik ketimbang perlindungan terhadap hak-hak warga.

Pejabat daerah malah bekerja mengamankan oligarki ekonomi. Mereka hanya menyebar litani janji manis saat kampanye, nyatanya tak bisa diandalkan. 

Gubernur beserta sejumlah kepala daerah bersuara kompak bak anggota paduan suara yang bernyanyi sumbang. 

Begitulah karakter penyanyi sumbang, akan terus bernyanyi tanpa peduli titah pendengar untuk berhenti dan diam.

Pertobatan Ekologis

Gelombang resistensi terhadap geotermal di Flores turut mengundang kaum berjubah untuk turun dari altar. 

Pandangan terbuka Uskup Agung Ende Mgr Paulus Budi Kleden hingga aksi nyata para imam yang aktif dalam gerakan perlawanan adalah manifestasi kegusaran atas ancaman destruksi ekologis terhadap umat mereka dan lingkungan sekitar. Seruan moral kepada pemerintah agar segera melakukan pertobatan ekologis terus didaraskan.

Karakter ontologis Gereja Katolik yang mengupayakan keselamatan di bumi-selain di akhirat- diperlihatkan dengan tekanan damai nan menggigit dalam ruang publik. 

Gereja melawan agenda transisi energi pemerintah pusat secara terbuka, sebab ada resiko destruktif di depan mata. 

Hal itu tampak dalam seruan para uskup lewat pernyataan pada Maret lalu saat mereka mempertanyakan arah pembangunan di Flores dan Lembata: “apakah sungguh membangun masa depan yang lebih baik atau justru merusaknya?”

Arus dukungan berbagai elemen juga semakin membesar dan simpati solidaritas dari luar Flores mulai berdatangan.

Bumi Flores yang dihuni mayoritas umat Katolik tentu tidak asing dengan apa yang kerap dipekikkan Paus Fransiskus soal pertobatan ekologis. 

Penerusnya Paus Leo XIV turut menyatakan bahwa hubungan manusia dengan alam harus saling menghormati, bukan tiranik. 

Jika melihat dinamika hari ini, sulit rasanya meyakini bahwa pesan yang disampaikan secara global ini mendarat mulus dalam benak para pemimpin lokal.

Sikap Seharusnya

Otonomi daerah memberikan ruang seluas-luasnya bagi daerah untuk bersikap tegas dan pro ekologi. 

Dalam kerangka ini misalnya, alih-alih memaksakan geotermal, bisa saja Pemprov NTT merumuskan sikap dengan memilih  bentuk transisi energi yang ramah lingkungan, bukan yang ekstraktif.

Sikap tersebut dapat dimanifestasikan dalam dokumen Rencana Umum Energi Daerah (RUED). 

Apalagi, dokumen RUED NTT 2019-2050 mencatat bahwa pada tahun 2015, energi angin berpotensi menghasilkan listrik sebesar 10.188 megawatt, jauh lebih besar dibandingkan panas bumi 629 megawatt. 

Pemanfaatan jenis energi angin ini masih minim (0,03%) dibandingkan panas bumi (1,99%). 

Strategi kebijakan energi NTT dalam dokumen itu menegaskan adanya agenda untuk melakukan eksplorasi pemanfaatan energi baru dan terbarukan “secara masif dengan cara-cara yang baik dan benar.” 

Masalahnya, pemerintah menerjemahkannya dengan melakukan pengembangan secara masif dan mengabaikan prinsip baik dan benar, sembari meminggirkan prinsip deliberatif (mendengarkan aspirasi publik) dan berkelanjutan.

Inilah dosa ekologis-teknokratiknya. Pemerintah tampak secara sengaja mengejar pembangunan geotermal dengan dalih PSN dan abai terhadap fakta RUED yang menegaskan banyak sumber energi bersih lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk menerangi Nusa Bunga. 

Jika bicara pertobatan, langkah konkret yang bisa dilakukan dalam waktu dekat adalah melakukan riset bersama lembaga kredibel dan netral untuk menggali potensi sumber energi lainnya. 

Jika Pemprov NTT konsisten dengan RUED, semestinya daerah ini fokus mengembangkan pemanfaatan energi terbarukan dari sumber lainnya, tak harus memaksakan geotermal.

RUED merupakan instrumen pemerintah daerah untuk “mengatur rumahnya sendiri” dan sejatinya pemerintah daerah memiliki landasan yang jelas untuk beralih dari geotermal. 

Kini, bola panas berada di pemerintah, apakah akan berdiri bersama rakyat dan gereja atau akan tenggelam dalam nyanyian proyek strategis yang diorkestrasikan pusat ? 

Pemerintah berhak memilih dimana ia akan berdiri, dan rakyat punya hak untuk mengusik dan mengutuk praktik pelacuran ekologis di bumi Nusa Bunga.

Eduardo Edwin Ramda adalah Analis Kebijakan di Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Ketua Bidang Riset dan Kebijakan Publik Pengurus Pusat Pemuda Katolik

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING