Warga Tak Menolak Kemajuan, Tetapi Menjaga Masa Depan; Catatan untuk Gubernur NTT

Energi yang sejati bukan hanya soal listrik, tetapi juga tentang kehidupan yang tetap layak dihuni dan diwariskan

Oleh: Rikard Rahmat

Ambisi pemerintah untuk mewujudkan kemandirian energi di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya melalui eksploitasi potensi geotermal di Flores, sedang berada dalam sorotan tajam. 

Dalam sebuah pernyataan pada 18 Juli yang beredar luas di media sosial, Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena menyatakan dukungannya terhadap pemanfaatan geotermal sebagai solusi masa depan energi daerah. 

Ia sekaligus menyayangkan penolakan terhadap geotermal dan menuding perlawanan warga dipengaruhi oleh mereka yang berada di balik layar.

Cara pandang tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah melihat proyek geotermal sebagai solusi tunggal dan menganggap kritik, juga protes warga, sebagai bentuk hambatan terhadap pembangunan. 

Apakah persoalannya sesederhana itu?

Persoalan dalam upaya mewujudkan kemandirian energi ini sebetulnya tidak terletak pada tujuannya, melainkan pada cara. 

Ketika pembangunan mengabaikan suara warga dan menuding aspirasi mereka dipengaruhi orang lain, mengabaikan prinsip kehati-hatian ekologis dan dijalankan tanpa transparansi, maka ia patut dipertanyakan, dikritisi dan dikoreksi.

Bukan Penolakan Buta

Penolakan masyarakat yang mengemuka sebetulnya bukan bentuk penolakan buta terhadap pembangunan. 

Sebaliknya, hal itu adalah ekspresi dari warga yang sadar tentang pentingnya menjaga ruang hidup, yang menghendaki pembangunan yang transparan, partisipatif dan bertanggung jawab. 

Masyarakat telah menyampaikan kekhawatiran mereka secara terbuka, mulai dari risiko kerusakan lingkungan, dampak terhadap sumber air hingga ketidakjelasan teknis dan ekonomi proyek yang telah berjalan puluhan tahun tanpa hasil yang layak. 

Sayangnya, kekhawatiran ini justru direspons dengan sikap menyudutkan, bukan mendengarkan.

Yang menjadi ironi dalam dinamika ini adalah terjadinya asimetri informasi yang nyata antara perusahaan yang menjadi pelaku proyek dan warga terdampak. 

Masyarakat dipaksa mendukung proyek, tetapi tidak diberi akses yang setara terhadap data, peta risiko atau hasil kajian lingkungan hidup yang amat menentukan bagi masa depan mereka.

Proyek geotermal justru dilaksanakan dalam ruang-ruang gelap komunikasi, tanpa akuntabilitas dan nyaris tanpa evaluasi.

Dalam praktiknya, warga tidak hanya kehilangan akses terhadap informasi, tetapi juga kehilangan posisi tawar.

Yang lebih parah, ada proyek yang telah menunjukkan kerusakan nyata sebagaimana yang terjadi di Mataloko, Kabupaten Ngada, tanpa ada upaya untuk bercermin darinya. 

Sejumlah persoalan terkait proyek ini juga telah menjadi bagian dari temuan Satgas Geotermal yang dibentuk gubernur dan telah menyampaikan laporannya pada awal bulan ini.

Sumur bor yang dibuka sejak era 1990-an hingga kini masih meninggalkan jejak kerusakan lingkungan. Warga di sekitar area proyek melaporkan matinya sumber mata air, penurunan kualitas air tanah, menyebarnya penyakit dan perubahan kontur tanah yang memicu longsor di beberapa titik.

Tak hanya itu, kegagalan terbesar proyek yang kini dikerjakan kembali oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) itu tampak dalam semburan liar uap dan lumpur panas yang makin besar dan banyak di dekat rumah warga. 

Sejumlah soal ini membuat masyarakat meragukan efektivitas dan masa depan proyek ini. 

Anehnya, meski kerusakan telah terjadi, proyek ini tetap dibela habis-habisan, tanpa ada pertanggungjawaban yang memadai terhadap warga terdampak.

Pihak yang terbukti gagal dalam uji teknis dan menciptakan kerusakan ekologis seperti di Mataloko justru tetap diberi “karpet merah” oleh negara. 

Di sisi lain, masyarakat yang mencoba mempertahankan hak hidupnya, menolak proyek berdasarkan fakta dan pengalaman langsung, justru dikambinghitamkan sebagai biang kebuntuan dialog. 

Ini merupakan pembalikan logika yang tidak bisa diterima dalam sistem demokrasi dan negara hukum. 

Kritik dibungkam, sementara kegagalan dibiarkan berulang.

Dengarkan Suara Kritis

Pernyataan gubernur yang mempersoalkan keterlibatan pihak luar yang memberikan advokasi kepada masyarakat juga perlu dikritisi secara serius.

Masyarakat memiliki hak untuk membangun jejaring solidaritas, terutama ketika mereka berhadapan dengan institusi besar yang memiliki akses kuasa, dana dan alat kekerasan alias aparat negara. 

Undangan terhadap organisasi masyarakat sipil, akademisi atau jaringan keadilan ekologis bukanlah bentuk provokasi atau adu domba, melainkan cerminan kecerdasan kolektif warga. Mereka tahu bahwa memperjuangkan hak tidak bisa dilakukan sendirian.

Lebih dari itu, kekhawatiran masyarakat juga sejalan dengan sikap tegas Keuskupan Agung Ende, juga para uskup lainnya dari Regio Gerejawi Nusa Tenggara-Bali yang menolak proyek-proyek ini karena mempertimbangkan secara serius daya dukung ekologis (carrying capacity) Pulau Flores. 

Flores bukan pulau industri. Ia adalah rumah bagi ekosistem yang rentan, tempat hidup ribuan keluarga petani dan nelayan, serta kawasan dengan potensi air yang terbatas. 

Para uskup telah menegaskan bahwa memaksakan proyek energi besar seperti geotermal—yang butuh infrastruktur masif, teknologi bor berisiko tinggi serta membelah kawasan konservasi dan pemukiman—berarti melampaui batas kemampuan pulau untuk menanggung dampak ekologis dan sosialnya. 

Jika daya dukung ini dilanggar, yang terancam bukan hanya lingkungan, tetapi juga kehidupan generasi masa depan. Apalagi, jika mengikuti rencana pemerintah, puluhan titik akan disasar di seluruh Pulau Flores hingga Lembata. 

Sikap Gereja ini bukan sekadar suara moral, tapi berdasar pada kajian ekologis dan sosial yang serius.

Dalam pernyataan resmi, para uskup menegaskan bahwa pembangunan yang baik adalah pembangunan yang tunduk pada logika ciptaan: menjaga air, tanah, udara dan makhluk hidup. 

Pembangunan yang merusak, meskipun membawa listrik, tetaplah bentuk ketidakadilan ekologis. 

Dengan demikian, penolakan terhadap proyek geotermal bukan bentuk ketertutupan terhadap kemajuan, tapi justru panggilan untuk mempertahankan keseimbangan hidup yang sudah terbukti menopang warga Flores selama berabad-abad.

Dalam kasus di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, sikap ini sejalan dengan hasil kajian tim independen yang dibentuk pendana proyek Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW).

Tim itu justru merekomendasikan penghentian sementara proyek setelah menilai berbagai aspek risiko. Ada kekhawatiran serius atas dampak ekologi dan ketidakjelasan perencanaan proyek, termasuk ketidakpastian teknis dan potensi konflik sosial yang ditimbulkan. 

Ketika lembaga sekelas keuskupan dan tim KfW itu telah menyuarakan keberatan berdasarkan kajian serius, maka seharusnya ini menjadi alarm bagi pemerintah. 

Jika suara masyarakat dianggap bias, dengarkanlah dua lembaga itu—karena pertimbangan mereka bukan “kaleng-kaleng.”

Sayangnya, alih-alih menjadi bahan evaluasi, berbagai masukan ini justru dianggap sebagai penghambat kemajuan. 

Proyek tetap dipaksakan untuk jalan terus, dengan pendekatan yang cenderung memaksa dan minim refleksi. 

Padahal, proyek yang telah berlangsung bertahun-tahun ini belum menghasilkan solusi energi yang layak dan justru menunjukkan berbagai kegagalan teknis. 

Apakah ini masih bisa dibenarkan untuk memaklumi semua ini dengan dalih “jalan menuju kemandirian energi”?

Dialog Bukan Sekadar Seremonial

Gubernur NTT memang menyatakan bahwa dialog adalah jalan terbaik. Pernyataan itu yang disampaikan usai berkunjung ke Poco Leok pada 16 Juli adalah penting. Namun, pernyatan itu perlu diikuti dengan konsistensi sikap. 

Dialog bukan hanya seremonial, melainkan proses dua arah yang terbuka terhadap hasil—termasuk kemungkinan bahwa masyarakat memang menolak proyek ini karena alasan rasional dan objektif. 

Jika hasil dialog adalah penolakan, maka itu harus dihormati. Memaksakan proyek atas nama pembangunan, dengan mengabaikan keberatan yang sah, justru membunuh semangat dialog itu sendiri.

Pemerintah seharusnya tidak hanya membuka telinga, tetapi juga membuka hati dan pikiran. Jika masyarakat tidak dipercaya, maka percayalah pada lembaga yang telah menempuh kajian mendalam.

Jika pembangunan dimaknai hanya sebagai realisasi proyek, maka ia telah kehilangan jiwanya. 

Energi yang sejati bukan hanya soal listrik, tetapi juga tentang kehidupan yang tetap layak dihuni dan diwariskan.

Dalam konteks ini, warga yang menolak proyek ini tidak sedang menolak kemajuan—mereka sedang menjaga masa depan.

Rikard Rahmat berasal dari Lembor, Manggarai Barat, kini berdomisili di Jakarta

Editor: Anno Susabun

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING