Tolak Penyedotan Air untuk Proyek Geotermal Mataloko, Umat Katolik di Flores Gelar Ritual Adat dan Aksi 1.000 Lilin di Bantaran Sungai

Warga berencana memagari sungai itu beberapa waktu ke depan

Floresa.co – Umat Katolik Keuskupan Agung Ende, Flores menggelar ritual adat dan aksi 1.000 lilin di bantaran sebuah sungai, bagian dari protes dan sikap penolakan terhadap rencana penyedotan air untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko.

Ratusan umat yang berasal dari Paroki St. Yoseph Laja di Kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada berkumpul di bantaran Sungai Tiwu Bala pada 27 Juli, sambil mendaraskan doa-doa secara adat dan Agama Katolik dengan lilin bernyala di tangan masing-masing.

Mengangkat tema “Kami Muzi Pu’u Go’o Wae”— bahasa daerah Ngada yang berarti “Kami Hidup Dari Air”, warga menegaskan bahwa air bukan hanya sekadar barang konsumsi, tetapi juga sumber dan jantung kehidupan.

Aksi simbolik tersebut diawali dengan Perayaan Ekaristi atau Misa di Gereja St. Yoseph Laja yang dipimpin Pater Felix Baghi, SVD. Lima imam lain mendampinginya termasuk utusan dari Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) dan Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Ende.

Selanjutnya, umat melakukan perarakan menuju bantaran sungai dan Jembatan Tiwu Bala, lokasi yang menjadi titik utama penolakan terhadap rencana penyedotan air tersebut. 

Di tempat itu, dilangsungkan doa bersama untuk memohon perlindungan Tuhan atas alam dan sumber air yang menjadi penopang hidup masyarakat sekitar.

Mereka melakukan ritual adat Leba Manu dan Ru’u, yang secara umum menegaskan keterikatan masyarakat adat Laja dengan alam dan tanah leluhur mereka. 

Pater Felix menjelaskan, Leba Manu atau penyembelihan seekor ayam di tepian sungai merupakan simbol menolak musibah, yakni ungkapan perlawanan terhadap segala bentuk kejahatan yang mengotori kesucian air dan alam yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta.

Dalam bahasa Ngada, Pencipta atau Wujud Tertinggi disebut Dewa Zeta Nitu Zale.

Upacara itu, tambahnya, mencerminkan penyerahan penuh dan sakral atas keutuhan semesta kepada yang berhak memilikinya yaitu Tuhan dan para leluhur.

Umat Paroki St. Yoseph Laja saat menggelar aksi 1.000 lilin pada 27 Juli 2025. (Dokumentasi Floresa)

Sumber Air untuk Rumah Tangga dan Sawah Tercemar

Dalam siaran pers warga yang diterima Floresa, mereka menyatakan air dari Tiwu Bala merupakan “penjaga identitas dan martabat kami sebagai masyarakat adat.” 

“Air ini menjaga kebun, sawah dan ladang kami selama beratus-ratus tahun,” kata mereka. 

Karena itu, warga menilai rencana penyedotan air tersebut untuk proyek geotermal adalah tindakan eksploitatif yang “melukai hidup dan mencederai hak kami.”

Mereka juga menyatakan, “Tiwu Bala bukan hanya mata air, melainkan sumber utama pengairan untuk lebih dari 400 hektare sawah di Kecamatan Golewa Selatan.”

“Karena itu, merampas air Sungai Tiwu Bala demi proyek energi berarti merampok hajat hidup orang banyak dan memperluas kerusakan ekologis,” kata mereka.

Reksino Wago, pemuda asal Desa Sadha, Kecamatan Golewa Selatan, yang menjadi pusat Paroki St. Yoseph Laja berkata, proyek geotermal Mataloko sejak awal dilakukan tanpa keterbukaan pada publik.

Sementara PLTP Mataloko terletak di Kecamatan Golewa, Desa Sadha berjarak sekitar tujuh kilometer di sebelah selatan – arah menuju pesisir pantai selatan Pulau Flores.

Kendati tak pernah mendapatkan informasi resmi dari pemerintah dan PT PLN yang mengelola proyek tersebut, Reksino berkata, warga di wilayahnya menduga mata air di Laja akan dijadikan sumber air baru untuk PLTP.

Dugaan itu menyeruak usai mereka melihat pemasangan pipa-pipa besar berwarna oranye sejak akhir tahun lalu, hal yang menurutnya langsung memicu penurunan kualitas air. 

Mikael Keo, warga lainnya dari Desa Sadha berkata, air dari mata air yang sebelumnya bisa langsung diminum kini tampak keruh dan berbau belerang.

Bahkan, kata Mikael, endapan lumpur berwarna coklat masih terlihat di dalam wadah setelah air dimasak. 

“Beberapa bak mandi menjadi berlumpur,” katanya, menyebut hal itu belum pernah terjadi sebelumnya. 

Ia melanjutkan, selain untuk rumah tangga dan pertanian, air dari Tiwu Bala “juga bagian dari ritus adat dan kehidupan spiritual.”

Romo Reginald Piperno, Ketua Komisi JPIC Keuskupan Agung Ende menyayangkan dampak proyek terhadap warga.

“Proyek sedang dikerjakan saja, sumber air untuk persawahan sudah mulai menurun dan sudah terjadi konflik sosial karena perebutan air sawah,” katanya.

Ia juga mengkritisi ketidaksesuaian antara dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan pelaksanaan proyek di lapangan.

Dalam dokumen AMDAL yang dikeluarkan pada 2021, kata Romo Piperno, air untuk proyek geotermal Mataloko disebut bersumber dari “Mata Iya di Mataloko, bukan di Tiwu Bala Mataloko.”

Bukan Hanya Penyedotan Air, Tetapi Juga Proyek Geotermal

Warga menyatakan, sikap penolakan mereka tidak hanya terkait penyedotan air Tiwu Bala, tetapi juga proyek geotermal yang kini tengah dikerjakan.

“Sejarah kegagalan proyek PLTP Mataloko membuktikan bahwa proyek geotermal yang dirancang tanpa keterlibatan masyarakat bisa berujung pada kerugian lingkungan, konflik sosial dan trauma kolektif,” kata warga. 

Pater Felix yang juga merupakan dosen di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Kabupaten Sikka menyatakan, aksi 1.000 lilin bermakna “penyeberangan dari gelap ke terang, dari kematian ke kehidupan dan pembebasan.” 

Kepada Floresa, Felix menjelaskan bahwa warga tetap menyatakan diri sebagai “pejuang’ untuk “melawan tindakan perampasan ruang hidup”. 

“Air itu sangat vital dan penting bagi persawahan mereka di seluruh wilayah Golewa Selatan,” kata Koordinator Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores (Alter-BKGF) itu.

Romo Piperno dari JPIC berkata, aksi ini juga sebagai “bentuk kekecewaan warga atas pemerintah dan DPRD Ngada” yang hingga kini tidak menunjukkan respons positif terhadap keluhan-keluhan warga.

Padahal, kata dia, warga dari lingkar proyek di Mataloko, termasuk dari wilayah Paroki Laja sudah dua kali menggelar aksi protes di Bajawa, ibukota Kabupaten Ngada.

Anak-anak dari Desa Wogo sedang mengamati beberapa lubang lumpur dan uap panas di lokasi pertanian, sekitar 300 meter di belakang Kampung Turetogo. Lubang seperti ini bermunculan dalam beberapa tahun terakhir di lahan-lahan pertanian warga. (Dokumentasi Floresa)

Dalam aksi pertama pada 12 Maret, yang juga diikuti sejumlah organisasi keagamaan, warga mendesak pemerintah menghentikan pengerjaan kembali proyek geotermal Mataloko yang berulang kali gagal sejak dimulai lebih dari dua dekade silam.

Tuntutan yang sama juga muncul saat aksi kedua yang bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni. Selain di Kabupaten Ngada, aksi pada hari itu juga dilakukan warga penolak geotermal di Ende, Nagekeo dan Manggarai. 

Romo Piperno berkata, respons pemerintah dan DPRD “hanya janji yang tidak pernah terwujud”, sehingga warga merasa “diberi harapan palsu.”

Rangkaian aksi simbolik di bantaran Sungai Tiwu Bala ditutup dengan diskusi dan dialog bersama di Aula Paroki yang dipandu oleh Pater Felix dan Romo Piperno. 

Dalam diskusi itu, warga berencana akan “memagari Sungai Tiwu Bala” dalam bebeerapa waktu ke depan. 

Proyek geotermal Mataloko telah digagas sejak 1998 namun beberapa kali pengerjaan ulang hingga yang terakhir pada 2019 dihentikan karena kembali memunculkan belerang.

Tak hanya gagal menghasilkan listrik, proyek di lokasi yang disebut menyimpan potensi panas bumi hingga 60 megawatt itu juga merusak lahan pertanian warga, menyebabkan relokasi rumah hingga penyebaran penyakit kulit dan infeksi saluran pernapasan akut.

Pantauan Floresa di lapangan, lubang semburan lumpur dan uap panas yang muncul di lahan pertanian warga Desa Wogo sejak 2006 hingga kini bertambah banyak.

Editor: Anno Susabun

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA