Warga dan Organisasi Keagamaan di Flores Unjuk Rasa Desak Pemerintah Hentikan Proyek Geotermal Mataloko yang Berulang Kali Gagal

Mereka mengangkat fakta kerusakan lingkungan dan kerugian warga oleh proyek yang sudah dimulai pada dekade 1990-an itu 

Floresa co – Warga dan sejumlah organisasi keagamaan di Flores, NTT menggelar aksi unjuk rasa pada 12 Maret, mendesak pemerintah menghentikan pengerjaan kembali proyek geotermal Mataloko di Kabupaten Ngada yang berulang kali gagal sejak dimulai lebih dari dua dekade silam.

Selain digelar di kantor bupati dan DPRD Ngada, aksi protes serupa juga berlangsung di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta.

Ratusan massa yang ikut dalam aksi di Ngada tergabung dalam Aliansi Terlibat Bersama Korban Geotermal Flores [ALTER KGF].

Aliansi itu mencakup warga Mataloko dan beberapa organisasi keagamaan, termasuk Forum Pemuda Peduli Lingkungan Hidup Paroki Roh Kudus Mataloko dan Forum Peduli Keutuhan Lingkungan Terdampak Geotermal Paroki Santo Yoseph Laja. Mereka merupakan umat Katolik yang tinggal di sekitar lokasi proyek.

Selain itu, organisasi advokasi Gereja Katolik dari Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Keuskupan Agung Ende [Justice Peace and the Integrity of Creation/JPIC KAE], JPIC SVD Ende, JPIC SVD Ruteng dan JPIC-OFM juga ikut bergabung dalam aliansi.

Massa lainnya berasal dari Badan Eksekutif Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif [IFTK] Ledalero, kampus berbasis di Maumere yang mayoritas mahasiswanya merupakan calon imam Katolik.

Aksi unjuk rasa bermula dari Gereja Paroki Roh Kudus Mataloko, bagian dari Kecamatan Golewa yang merupakan lokasi proyek geotermal, lalu bergerak menuju Kantor DPRD yang berjarak sekitar 16 km ke arah barat.

Ketua ALTER KGF, Pater Felix Baghi, SVD, yang berbicara kepada Floresa pada 12 Maret berkata, unjuk rasa itu bertujuan untuk menyerahkan surat pernyataan penolakan proyek geotermal kepada DPRD dan Bupati Ngada, Raymundus Bena. 

“Lima surat penolakan dari lima elemen masyarakat telah diserahkan kepada DPRD dan bupati,” katanya.

Felix yang juga dosen di IFTK Ledalero berkata, ”penolakan ini mengacu pada fakta lapangan yang menunjukkan dampak negatif proyek tersebut.”

“Kerusakan alam, pencemaran udara dan air, penurunan hasil komoditi, ketidakadilan, konflik horizontal, dan keresahan masyarakat bukan sekadar isu, tetapi fakta yang nyata,” katanya.

Dalam proyek skala besar seperti geotermal, jelas dia, sosialisasi dan kerja kolektif merupakan hal penting untuk menjamin keadilan bagi warga lingkar proyek.

“Kita perlu memastikan bahwa suara masyarakat kecil tidak diabaikan dalam setiap kebijakan pembangunan,” tegasnya.

Soroti Dampak Lingkungan dan Sosial

Dalam salinan surat yang diperoleh Floresa, ALTER KGF mendesak Bupati Raymundus dan DPRD Ngada membatalkan pembangunan kembali sekaligus perluasan proyek geotermal Mataloko yang kini sedang dalam tahap pengerjaan konstruksi. 

Dalam surat bernomor 001/12/03/025-AlterKGF itu, aliansi menyebut proyek tersebut telah merambah ke lahan pertanian masyarakat adat seluas 996,2 hektare.

Lahan itu merupakan sumber penghidupan utama bagi warga, sehingga khawatir proyek ini akan mengancam keberlanjutan hidup mereka.

“Pemerintah Kabupaten Ngada harus lebih kritis dalam menentukan prioritas kebutuhan hidup masyarakat,” tulis ALTER KGF.

Mereka juga menilai proyek geotermal bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat mengenai kedaulatan pangan. 

Alih fungsi lahan pertanian untuk proyek tersebut, menurut aliansi, akan mengancam ketahanan pangan masyarakat, mengingat tanah yang digunakan merupakan lahan produktif.

“Seharusnya lahan pertanian dipelihara dan ditingkatkan untuk memproduksi tanaman pangan demi kebutuhan nasional, bukan malah diberikan untuk proyek geotermal yang merusak lingkungan, termasuk hasil pertanian,” kata aliansi, menyebut terdapat ribuan hektare lahan warga yang terancam proyek.

“Kami mau hidup di mana dan makan apa? Apakah lebih penting proyek geotermal atau kehidupan kami? Kami harus mati karena hilangnya tanah kami, sementara orang lain hidup di atasnya?” kata mereka.

Hal lainnya yang disoroti aliansi dalam surat itu adalah dampak geotermal yang mencemari air bersih dan merusak atap rumah warga.

Mereka juga menyesalkan dampak sosial yang ditimbulkan, seperti konflik agraria dan konflik sosial, termasuk ancaman kehilangan komunitas masyarakat adat dan tempat-tempat ritual mereka.

“Proyek ini mengabaikan prinsip-prinsip tujuan negara yang diamanatkan dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945,” kata aliansi.

Maria Anjelina Mogi, wakil kelompok perempuan Mataloko berkata, aksi unjuk rasa tersebut adalah “bentuk protes warga karena sudah mengalami langsung dampak buruk geotermal.”

Maria, yang berbicara kepada Floresa pada 12 Maret menegaskan, mereka menolak Keputusan Menteri ESDM pada 2017 yang menetapkan Flores sebagai Pulau Geotermal.

“Keputusan itu diambil tanpa keterlibatan penuh masyarakat lokal yang terdampak langsung dan tanpa mempertimbangkan hak masyarakat yang hidup di dalamnya,” ujarnya.

Menurutnya, keputusan itu harus dikaji ulang dengan mempertimbangkan keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah pembangunan di wilayah mereka sendiri.

Maria juga meminta Bupati Ngada segera mencabut SK penetapan lokasi proyek geotermal Mataloko “jika pemerintah daerah benar-benar berpihak pada rakyat.”

“Kami mendesak bupati dan DPRD Ngada untuk tidak mengizinkan aktivitas apapun di lapangan sebelum ada kajian yang lebih transparan dan akuntabel,” katanya.

“Sejak proyek ini dimulai, masyarakat tidak pernah benar-benar merasakan manfaatnya, justru lebih banyak mengalami kerugian, baik secara sosial, ekonomi, maupun lingkungan.” 

Alih-alih membawa kesejahteraan, kata Maria, proyek tersebut justru menimbulkan keresahan dan ketidakpastian di tengah masyarakat.

Selain itu, ia juga menyoroti kegagalan proyek geotermal Mataloko sejak dirintis pada 1998.

“Sejak tahun 2000, sudah dilakukan tujuh kali pengeboran sumur, tetapi semuanya berakhir mangkrak dan tidak pernah dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat,” katanya.

Ia mempertanyakan kegagalan berulang proyek tersebut, menduga “ada kepentingan tersembunyi karena pengeboran terus-menerus dilakukan hingga saat ini.”

Wilayah Mataloko “tidak boleh menjadi sekadar ajang uji coba yang terus dilakukan tanpa evaluasi dan kejelasan mengenai dampaknya bagi masyarakat.”

“Jika suara masyarakat terus diabaikan, kami tidak akan tinggal diam. Kami siap mengambil langkah lebih lanjut untuk mempertahankan hak kami atas tanah dan ruang hidup yang layak,” tegas Maria.

Massa aksi membawa spanduk bertuliskan “Terlibat Bersama Korban Geotermal” dalam aksi unjuk rasa tolak geotermal Mataloko di Kabupaten Ngada pada 12 Maret 2025. (Dokumentasi Floresa).

“Gereja dan Lembaga Pendidikan Harus Terlibat”

Sementara itu, Ketua BEM IFTK Ledalero, Thomas Vilkanova Kharisma Syahputra berkata, pilihan sikap mereka untuk ikut dalam aksi itu berangkat dari kepedulian untuk “tidak menghendaki pembangunan yang membawa bencana bagi kemanusiaan dan lingkungan.”

Syahputra berkata, ia dan 14 mahasiswa lainnya dari kampus itu hadir untuk berdiri bersama masyarakat korban yang sedang berjuang demi ruang hidup mereka.

“Kami menyesalkan sikap pemerintah yang ngotot melanjutkan proyek ini meskipun sudah terbukti gagal berkali-kali,” katanya kepada Floresa.

Ia menyebut sikap pemerintah yang seharusnya berpihak pada rakyat justru berpaling kepada korporasi dan investor dan mengorbankan masyarakat kecil. 

“Ini pilihan yang tidak arif. Apapun alasannya, pembangunan tidak boleh memunculkan penderitaan bagi masyarakat,” jelasnya.

Syahputra juga menyoroti pentingnya keterlibatan Gereja dan lembaga pendidikan di Flores “untuk mengambil sikap yang jelas dalam polemik ini.”

“Gereja dan lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi mesti berdiri bersama masyarakat kecil dan berada di barisan depan untuk menyerukan penolakan,” ungkapnya.

Ia berkata, Konsili Vatikan II telah menegaskan bahwa Gereja harus menjadi bagian dari duka dan kecemasan dunia. 

Karena itu, “Gereja harus hadir dan berpihak kepada mereka yang tertindas, termasuk masyarakat yang terdampak proyek geotermal.”

Lembaga akademik, tambahnya, juga memiliki tanggung jawab sosial untuk mengadvokasi persoalan yang ada di tengah masyarakat.

“Tapi, sebagaimana kita tahu bersama, sikap Gereja dan lembaga pendidikan masih ada yang abu-abu. Ada yang memang tegas menolak, tapi ada juga yang tidak bersuara. Mudah-mudahan aksi hari ini menggerakkan mereka yang masih diam untuk bersuara,” ujarnya.

Ia menambahkan, “kami dari BEM IFTK Ledalero akan terus mengawal persoalan ini sampai tuntas.” 

“Semakin ngotot pemerintah dan perusahaan melanjutkan proyek ini, semakin keras kami melawan” kata Syahputra.

Apa Kata Bupati Ngada?

Dalam sesi dialog dengan pengunjuk rasa, Bupati Raymundus berkata, “masukan dari masyarakat menjadi bahan referensi bagi pemerintah,” termasuk baginya dan Wakil Bupati, Bernadinus Dhey Ngebu.

“Namun, untuk menentukan sikap secara komprehensif, kami membutuhkan waktu,” katanya yang berjanji “tidak akan berlama-lama” mengambil tindakan terkait persoalan itu. 

Ia mengklaim “sudah mendengar berbagai masukan, termasuk hal-hal baru yang sebelumnya belum saya ketahui.”

“Ada beberapa temuan yang perlu kami konfirmasi kembali,” lanjutnya.

Dalam proses konfirmasi itu, katanya, “kami tidak bisa bekerja sendiri dan kolaborasi menjadi hal yang penting.”

Salah satunya, kata dia, pihaknya “kemungkinan besar akan bertemu dengan Uskup Agung Ende, Msgr. Paulus Budi Kleden untuk mendiskusikan persoalan ini lebih lanjut” pada Sabtu mendatang, 15 Maret.

Ia juga berkata pihaknya menghargai setiap masukan dan kritik terkait kebijakan proyek geotermal yang merupakan “persoalan besar yang perlu kita hadapi bersama.” 

Kendati demikian, Raymundus mengingatkan adanya “kepentingan-kepentingan yang lebih besar di balik ini semua.”

“Kita tidak tahu bagaimana keputusan di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten.”

“Jika hari ini saya dipaksa untuk mengambil sikap, saya rasa saya belum bisa melakukannya,” tambah Raymundus, yang sekaligus meminta massa aksi untuk “bersama-sama melakukan pengecekan langsung di lapangan.”

“Setelah itu, hasilnya akan kami sampaikan kepada tim yang berwenang.”

Ia juga mengingatkan, setiap kegiatan pembangunan pasti memiliki tahapan-tahapan yang harus dilalui. 

“Pertanyaannya adalah, apakah tahapan tersebut berjalan secara transparan, adil, dan merata? Inilah yang menjadi persoalan utama yang perlu kita cermati bersama,” katanya.

Gagal Berulang dan Dibangun Kembali

Proyek geotermal Mataloko yang kini tengah dikerjakan oleh BUMN PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional yang menargetkan energi listrik sebesar 2×10 Megawatt.

Proyek tersebut, yang berlokasi di Kecamatan Golewa, sekitar 15 kilometer arah timur dari Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada gagal berulang, yang berujung kemunculan lumpur dan uap panas di kebun milik warga sejak 2006.

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan PT PLN mengakui kegagalan itu, menyebut dua sumur pengeboran awal “tidak memenuhi syarat sebagai pemasok uap PLTP Mataloko yang menargetkan pasokan uap sekitar 40 ton/jam untuk kapasitas listrik 2,5 MW.”

Arifin Kana, Pelaksana Harian PLTP Mataloko berkata “kondisi uap yang tidak sesuai maka sumur MT-1 ditutup kembali oleh pihak pengebor.”

Sementara Rina Wahyuningsih dan Kastiman Sitorus,  peneliti dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut sumur MTL-01 dan MT-1 di proyek itu ditutup dengan semen “karena adanya semburan liar uap panas dan gas.”

Kerusakan tersebut, kemudian diperbaiki, yang membuat PLTP Mataloko bisa beroperasi pada 2010. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena pada tahun berikutnya terjadi kerusakan pada sistem pembangkit

Pada 2013 hingga 2015, PLTP kemudian kembali beroperasi, sebelum kemudian tidak berfungsi lagi karena uap berkapasitas 5 Megawatt tidak dapat menggerakkan turbin.

Setelah kegagalan itu, pada 2019, pengerjaannya dimulai kembali. Namun, target operasi dari proyek di lokasi yang menyimpan potensi panas bumi 60 Megawatt cadangan terduga tersebut dihentikan pada tahun berikutnya karena kembali memunculkan belerang.

Laporan Floresa pada 15 Desember 2023 mengungkap cerita kegetiran warga di sekitar lokasi tersebut, yang telah merasakan dampak, seperti rusaknya lahan pertanian, keroposnya atap rumah dan munculnya penyakit. Dampak lainnya adalah rasa takut munculnya lubang-lubang semburan lumpur bercampur uap panas di pemukiman mereka.

Pada Desember 2024, sebagaimana dilaporkan Floresa, muncul lagi semburan baru di lahan sekitar proyek Mataloko, yang membuat warga kian takut.

Aksi Protes Pertama untuk Proyek Mataloko

Dalam catatan Floresa, unjuk rasa pada 12 Maret merupakan aksi protes pertama kali terhadap proyek geotermal Mataloko.

Penolakan terhadap proyek ini, yang melibatkan berbagai elemen di wilayah Ngada, menguat setelah pada Januari, Uskup Agung Ende, Paulus Budi Kleden menyatakan penolakan terbuka terhadap proyek geotermal di wilayah kegembalaannya.

Sikap itu, kata dia, muncul setelah mendatangi lokasi proyek di Mataloko dan Sokoria, lokasi proyek lainnya di Kabupaten Ende.

Pada 9 Maret, JPIC-SVD Ende juga telah mengirim surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia memintanya mencabut izin proyek Mataloko dan Sokoria.

Selama aksi protes pada 12 Maret, Keuskupan Agung Ende menyiarkan secara langsung via kanal media sosialnya.

Mataloko dan Sokoria hanyalah dua di antara sejumlah proyek geotermal di Flores. Proyek lainnya yang juga hendak dikerjakan adalah di Poco Leok, Kabupaten Manggarai; Wae Sano, Kabupaten Manggarai Barat dan Atadei di Kabupaten Lembata, pulau kecil sebelah timur Flores.

Menurut Kementerian ESDM, Flores memiliki potensi geotermal sebesar 902 Megawatt atau 65 persen dari total potensi di Provinsi NTT. Pemerintah telah mengidentifikasi 16 lokasi proyek di pulau tersebut di tengah meningkatnya penolakan dari masyarakat setempat.

Kendati Keuskupan Agung Ende dan sejumlah lembaga Gereja Katolik lainnya sudah mengambil sikap tegas menolak proyek-proyek ini, sikap berbeda ditunjukkan Uskup Ruteng, Siprianus Hormat.

Ia telah menyatakan dukungannya terhadap proyek geotermal di Wae Sano, lewat surat yang dikirimkan kepada presiden pada 2020.

Siprianus juga belum menyatakan sikap resmi terkait proyek di Poco Leok, termasuk ketika berulang kali umatnya menjadi sasaran tindakan represif aparat keamanan karena menentang proyek itu.

Namun, dalam sebuah wawancara dengan Radio Veritas Asia pada Juni 2024, Siprianus menyatakan dukungan terhadap proyek geotermal, meyakininya sebagai energi bersih yang ramah lingkungan, dan mengklaimnya sejalan dengan Ensiklik Laudato Si dari Paus Fransiskus.

Karena itu, kata dia, Keuskupan Ruteng mencoba memediasi pertentangan antara warga dan pemerintah, tetapi “banyak kelompok datang dan pergi melakukan propaganda tentang dampak negatif geotermal”, tanpa menjelaskan kelompok yang dimaksud.

Kendati tegas menyatakan dukungan, ia juga berkata, manajemen proyek geotermal seharusnya aman dan tidak merusak alam, serta menghargai budaya masyarakat setempat.

Laporan dikerjakan oleh Arivin Dangkar dan Anno Susabun

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA